Mohon tunggu...
radbenitos
radbenitos Mohon Tunggu... Tutor - Nasionalis peranakan Batak-Jawa

Kawan anti nekolim. Dekmar. Kolom filsafat adalah kenyamanan bagi orang-orang woles maupun jalan ninja bagi clan Uchiha dan penggali sejarah ide.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Saatnya Jozeph Paul Zhang Berpikir

20 April 2021   01:05 Diperbarui: 18 April 2022   16:06 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Penistaan agama adalah perbincangan yang selalu ngetrend---selain petualangan mistis yang selalu on top trending topic youtube---di sebuah wilayah hukum bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masyarakat kekinian tentu ingat dengan kasus Basuki Tjahja Purnama (Ahok) yang tersandung pasal yang sama, atau dengan kata lain, Ahok melakukan perbuatan melawan hukum (Onrechtmatige Daad) karena pendapatnya terkait Al-Maidah. 

Ahok memang tidak menerangkan atau menjawab "pertanyaan awam" dengan penjelasan gagasan Rousseau dan Kantian, karena hal tersebut tidak mudah terjadi begitu saja; itu yang membuatnya terjeblos dalam situasi carut-marut berjilid-jilid.

Sekarang ada lagi Jozeph Paul Zhang, bedanya yang bersangkutan tidak berada di wilayah hukum NKRI---bersyariah?

JPZ diduga melakukan penistaan agama berdasar rekaman video yang sudah tersebar di jagat maya. Ada beberapa highlight yang bisa dikumpulkan terkait ucapan ybs melalui pemberitaan di beberapa media online yaitu dikurung di kabah, nabi cabul, keresahannya saat bulan ramadhan, dan mengaku nabi baru.

Tentu saja rakyat (di) Indonesia yang dikenal amat religius berkeberatan dengan penyampaian JPZ apalagi ybs terkesan menantang---ya iyalah, wong e di Jerman---berbeda dengan Ahok, maaf, yang hanya karena ke-tidak-berdaya-an-nya menerangkan ide-ide Rousseau, Kantian, sampai dengan Renan di depan masyarakat. Pantas saja republik ini memang doyan membicarakan agama ketimbang membicarakan pikiran.

Apakah memperbincangkan agama, salah? Meskipun tidak semudah yang dibayangkan, kita, bangsa Indonesia mewarisi hak konstitusional untuk menyampaikan pendapat (pikiran). Sama halnya dengan ustadz-ustadz kekinian yang sempat saya singgung di tulisan sebelumnya, "Mengapa Seniman Terkesan Sinis Terhadap Islamisme"; dan hak konstitusional tersebut diatur dalam UU turunan, tapi saya juga berkeyakinan bahwa tidak semua orang sanggup menghafalnya, betul?

Kita hanya mengetahui JPZ menyampaikan pikirannya melalui webinar bersama kawannya dengan nuansa canda tawa. Ada juga sebuah cuplikan di mana mereka saling mengingatkan adanya UU ITE. Artinya, JPZ menyampaikan hal itu dengan kesadaran penuh, apalagi dia sempat menantang; tepat di situ dia sudah berpikir bahwa mekanisme ekstradisi antar negara bukan sesuatu yang mudah.

Bicara soal pikiran, besar kemungkinan JPZ menyampaikan apa yang telah diketahuinya; sama seperti tradisi Arab, di mana pengetahuan bersumber dari metode hermeneutika nash atau dalil. Bisa dipastikan JPZ membaca Al-Qur'an maupun hadist untuk sampai pada kesimpulan---dengan berpikir rasional---yang disebut sebagai penistaan agama. Di sini saya harus memastikan bahwa saya bukan front pembela JPZ, namun saya tertarik membedah isi pikiran JPZ dari beberapa highlight yang telah disebutkan sebelumnya.

Pertama, kita mulai dengan narasi, "Muslim yang ada di Eropa ini, tahun pertama puasa, mereka takut sama Allah. Tahun kedua, puasanya separoh, nyoba Allah lihat apa enggak. Tahun ketiga, bablas... gak ada yang melihat. Allah nggak liat. Lho kenapa? Allah kan Maha Tahu? Enggak, Allah nya lagi dikurung di Ka'bah, kata mereka. Hehehe kurang ajar," begitu sekiranya narasi yang disampaikan JPZ dengan medok Jowo berdasarkan pengamatan empirisnya di daratan Eropa.

 Anggaplah kita tidak pernah tahu bagaimana pengalaman menjalankan ibadah puasa di Eropa, tapi yang jelas kita ketahui ialah tidak ada FPI---laskar Allah---sebagai pengatur ketaatan seseorang terhadap keimanannya. Itu sebabnya JPZ menyampaikan narasi tersebut terkesan sebagai dark jokes yang lumrah di Eropa yang sudah tertanam di ingatan JPZ.

Kedua, ungkapan nabi cabul memang terkesan menghina, persis ketika Buya Hamka dicemooh sebagai Kyai cabul karena karya novelnya yang berjudul "Tenggelamnya Kapal Van Der Wick". Saat itu, Buya Hamka menjawab pembelaannya melalui tulisan di Pedoman Masyarakat No. 4 tahun 1938. Pak Yai distempel cabul karena anggapan masyarakat tempoe doeloe bahwa seharusnya ulama tidak menulis novel cinta-cintaan---ya, hanya karena cinta-cintaan semata maka sama dengan cabul. Mungkin kita sebaiknya tidak perlu terlalu jauh menebak bagaimana JPZ mengenal, atau mendalami hermeneutika dalil atas nabi ke 25. Sisi yang menarik ialah cara kerja otak rasional dengan cara kerja otak ber-ke-yakin-an sulit untuk dibuat garis tegas; sederhananya, JPZ sendiri yang bisa menentukan apakah ia yakin dengan otaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun