Mohon tunggu...
radbenitos
radbenitos Mohon Tunggu... Tutor - Nasionalis peranakan Batak-Jawa

Kawan anti nekolim. Dekmar. Kolom filsafat adalah kenyamanan bagi orang-orang woles maupun jalan ninja bagi clan Uchiha dan penggali sejarah ide.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengapa Seniman Terkesan Sinis terhadap Islamisme?

16 April 2021   06:26 Diperbarui: 16 April 2021   06:52 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Baru-baru ini kita dihebohkan dengan kabar pembatalan kajian bulan Ramadhan di sebuah instansi BUMN, yakni oleh komisaris PT Pelni yang menuduh bahwa kajian tersebut punya agenda terselubung. Sontak berita tersebut ditanggapi oleh Fadli Zon sebagai "Islamophobia di lingkungan BUMN". Penulis sendiri menanggapi kabar tersebut di laman facebook-nya bahwa kemungkinan secara organisasi (BUMN), proposal pengajuan kajian Ramadhan menyalahi aturan organisasi. Meski demikian, penulis pun memberi catatan terhadap peristiwa itu untuk tidak terlalu mudah mengecap "radikal"---kata yang sering dipilih oleh pemerintah---pada seseorang yang belum terbukti ekstrimis.

Catatan kedua ialah islamophobia yang digunakan oleh Fadli Zon sebenarnya keliru. Penulis beranggapan bahwa Fadli Zon sama menggunakan istilah islamophobia sebagaimana Komisioner Tinggi HAM PBB menganggap bahwa islamophobia terkait dengan diskriminasi. Padahal dari kajian Berkeley's Islamophobia Research and Documentation Project (IRDP), islamophobia terkait dengan kondisi psikis dimana "politik islam(isme)" acap digunakan untuk menebar teror dan ancaman. Pengertian yang terakhir ini hampir tidak pernah ditanggapi serius oleh pemerintah bagaimana penanggulangan dan pendampingan psikologis di masyarakat.

Politik islam(isme)---penulis lebih memilih kata islamisme dalam politik sebagai pembeda identitas islam, yakni orang yang beragama islam---bukan barang baru dalam kancah politik di Indonesia. Lembaran ingatan kolektif bangsa Indonesia selalu resisten dengan islamisme, contohnya penolakan deklarasi NII sampai yang masih hangat sejak rezim Joko Widodo adalah pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Dalam kancah gerakan kebudayaan dan kesenian pun sama. Ingatan kita kembali mengulas eksistensi Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim Indonesia (LESBUMI), Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), dan ada juga Manikebu, yang mana komunitas-komunitas tersebut sama berperan mempengaruhi dan dipengaruhi nuansa politik nasional.

Jika mau kita perhatikan dengan saksama, selain lesbumi, komunitas-komunitas yang disebut sebelumnya merupakan pendulum dinamis yang saling berdialektika di masanya. Lesbumi sendiri kurang mendapat tempat bahkan untuk sekadar diajak ngobrol sejak dibentuk tahun 1954.

Mengapa Demikian?

Seni adalah ekspresi jiwa. Ketika ia bersedih, ia mengekspresikan tangis; ketika bergembira, ia kelak mengekspresikan tawa. Pekerja seni dan budayawan memahami hal naluri dan batin manusiawi ini dengan baik tanpa harus menghafal kaidah-kaidah islam(isme) atau pokok pembahasan Muktamar NU maupun fatwa MUI.

Cibiran-cibiran dan doktrin-doktrin oleh islamisme sendiri dianggap sudah usang dan seringkali jadi bahan tertawaan lokal bahkan entitas nasional, salah satunya, "Sesungguhnya orang yang paling keras siksaannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang-orang yang suka menggambar". Bagai disambar geledek, perintah ilahi itu kian dirasa menghambat jalannya revolusi (red: perubahan) bagi kalangan seniman terdidik.

Penulis meyakini bahwa hampir semua pekerja seni dan budaya Indonesia---masa modern sampai kekinian---mempelajari kesenian secara professional mulai dari sekolah kejuruan sampai institusi pendidikan tinggi. Kilas sejarah langgam angkatan dan gerakan kebudayaan pra 1965 seperti yang ditulis di atas sebelumnya pun pasti juga dibahas di salah satu kelas. Artinya mereka "terdoktrin" secara kesenian dan kebudayaan, bukan lagi---apa iya?---mengikuti kaidah Muktamar NU dan Fatwa MUI.

Di sisi lain, seniman dan budayawan memang kerap mengkritik masalah moralitas dan adab yang dilontarkan ustadz-ustadz kekinian pada para pekerja seni dan budaya. Penulis merasa akan meringkas bahasan ini secara singkat dan padat dalam perspektif filsafat-politik belaka.

Bahasan moralitas yang sering disentil oleh ustadz kekinian misalnya aurat. Penulis sebenarnya tidak yakin sampai mana batas yang disebut aurat dalam politik islamisme. Rambut yang tersingkap dari kerudung pun bisa dicecar habis-habisan, apalagi paha yang mentereng di setiap gerak lincah perempuan-perempuan grup idol, misalnya JKT48.

Penulis pernah beranggapan bahwa JKT48 hampir tidak berkesan dalam bidang kesenian, apalagi lagu-lagunya yang "impor" meski sudah dalam bentuk terjemahan sering menabrak gendang telinga. Mereka baru "terselamatkan" sejak kehadiran Fransisca Saraswati yang punya bakat tarik suara bersama tim kecil---entah apa sebutannya---yang bernama JKT48 Acoustic; bersama Nadila, Rona, dan Aurel.

Paha yang mentereng sebenarnya pun pernah jadi bahasan yang memenuhi dinamika politik kebudayaan di masa itu, yakni kritik Manikebu terhadap gejala fetisysme budaya. Bagi kalangan FPI dan gerombolan alumni tukang demo berjilid-jilid, fetisysme adalah anggapan kelainan seksual atau syahwat setanisme. Sedikit ada benarnya, namun, kritik dasar Manikebu terhadap fetisysme juga menyasar pada Keris yang masih diyakini memiliki kekuatan supernatural. Ingatkah kita sebuah foto dimana Soekarno memperlihatkan Keris kepada Che Guevara?

Lain dulu lain sekarang, masyarakat masa kini tentu tidak lagi membawa-bawa keris sebagai ajimat. Lalu bagaimana dengan paha yang mentereng? Bagi orang yang sadar dan terdidik, hal itu hanya sebuah cara untuk menarik massa kalangan lelaki-lelaki pekerja yang kurang hiburan semata, karena memang mereka yang menjadi segmen pasarnya; jadi maksud fetisysme tersebut ialah seni menarik massa. Seandainya Manikebu masih ada, suruh saja mereka mengeritik Thor yang identik dengan mjolnir (palu sakti) di semua serial Marvel Studio.

Kedua, adab. Islamisme acap menganggap jika patung adalah kesenian syirik---ini tentu berkaitan dengan adab. Zonk! Jika kita kembali ke artikel-artikel Bung Karno yang kerap mengeritik islam(isme) sontoloyo, masyarakat unta dan masyarakat kapal udara, adalah sama membahas adab atau peradaban. Rakyat Indonesia di masa kemerdekaan misalnya belum sama sekali mengenal pesawat sebagai tanda melajunya peradaban. Sama halnya ketika seseorang hanya didoktrin islam dan sangat amat taat hingga menjadi intoleran, bagaimana mungkin ia mengenal seni patung sebagai tanda peradaban. Padahal peradaban Indonesia di masa lampau (klasik) erat kaitannya dengan pekerjaan pemahat hingga sampai saat ini kita mengenal candi-candi sebagai pusat peradaban klasik.

Secara singkat dan padat, penulis memberi gambaran bahwa sinisme seniman terhadap islamisme memang ada sebagai realitas politik sejak dulu. Apalagi di masa sekarang ini, identitas islam politik yang masih mentah kerap dimainkan untuk mendulang suara. Barangkali ini tanda bahaya sekaligus retropeksi bagi pekerja politik-budaya nasional. Masih mungkinkah kita beromantika-dinamika-dialektika?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun