Mohon tunggu...
Benito Rio AviantoMr.
Benito Rio AviantoMr. Mohon Tunggu... Dosen MK Statistika, Ekonomi indonesia, Metodologi Penelitian, & Metode Penelitian Kuantitatif, dan Sesundaan

Ayo capai Indonesia Emas 2045

Selanjutnya

Tutup

Financial

Menakar Keadilan Pajak di Era Digital: Indonesia dan Dunia Hadapi Tantangan Pajak OTT

7 Oktober 2025   09:21 Diperbarui: 7 Oktober 2025   08:25 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Menakar Keadilan Pajak di Era Digital: Indonesia dan Dunia Hadapi Tantangan Pajak OTT

Oleh: Benito Rio Avianto

Analis Kebijakan Ahli Madya

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

Digitalisasi global telah mengubah wajah ekonomi dunia, melahirkan raksasa-raksasa teknologi lintas batas seperti Google, Meta, Netflix, hingga TikTok. Namun, di balik derasnya arus ekonomi digital, muncul satu dilema besar: di mana nilai ekonomi digital seharusnya dikenai pajak?

Pertanyaan inilah yang tengah dijawab oleh berbagai negara melalui penerapan pajak ekonomi digital (digital services tax, DST) dan instrumen serupa seperti VAT digital, withholding tax (WHT), dan significant economic presence (SEP). Laporan global KPMG (Juni 2025) menunjukkan lebih dari 60 negara kini telah menerapkan atau mempersiapkan bentuk pajak OTT (over-the-top) untuk menutup celah keadilan pajak lintas batas

1. Lanskap Global: Pajak Digital Makin Meluas

Negara-negara seperti Prancis, Italia, Inggris, dan Spanyol termasuk pelopor DST dengan tarif berkisar 2--3 persen atas pendapatan dari iklan digital, penjualan data pengguna, dan intermediasi daring. Prancis, misalnya, telah mengenakan DST 3 persen sejak 2019 atas pendapatan iklan berbasis data pengguna dan layanan platform digital yang beroperasi di wilayahnya, Italia memberlakukan pajak serupa dengan cakupan luas: iklan digital, marketplace, dan transaksi data pengguna, Inggris mengatur pajak 2 persen untuk media sosial, mesin pencari, dan pasar daring dengan pendapatan lebih dari 25 juta poundsterling dari pengguna di Inggris.

Di kawasan Asia, India, Indonesia, dan Vietnam menjadi pionir. India lebih agresif dengan digital permanent establishment (PE) dan equalisation levy, meski kemudian direvisi seiring kebijakan BEPS OECD. Indonesia, melalui PMK No. 48/2020, menetapkan pajak penghasilan atas entitas digital asing yang memiliki kehadiran ekonomi signifikan (digital PE), menjadi salah satu bentuk pengakuan atas hak pemajakan nasional terhadap ekonomi digital global

.

2. Tren Asia Tenggara: Dari Kepatuhan hingga Proteksi Ekonomi

Beberapa negara ASEAN bergerak dalam koridor yang sama namun dengan variasi pendekatan: Filipina baru saja memberlakukan VAT atas layanan digital lintas batas per Juli 2025, dengan kewajiban registrasi bagi penyedia asing dan pemotongan pajak 12 persen oleh pengguna domestik. Malaysia sudah lebih dahulu mengenakan WHT (withholding tax) untuk transaksi e-commerce sejak 2019, menjadikannya pionir regional dalam menegakkan kedaulatan fiskal digital. Vietnam mengatur pajak retensi bagi penyedia asing melalui skema WHT variabel, sedangkan Thailand masih dalam tahap konsultasi kebijakan DST 5 persen. Indonesia sendiri memilih jalan moderat dengan digital PE, bukan DST langsung. Artinya, penentuan hak pajak tergantung pada "kehadiran ekonomi signifikan" di pasar domestik. Model ini dinilai lebih konsisten dengan upaya OECD dalam skema BEPS Pillar One dan Pillar Two, yang bertujuan membagi hak pemajakan secara adil antarnegara tempat nilai ekonomi diciptakan.

Kenya dan Nigeria, dua negara Afrika, menjadi contoh negara berkembang yang mengenakan Significant Economic Presence (SEP) dengan tarif efektif 6--30 persen atas laba digital non-residen.

3. OECD dan Tekanan Multilateral

OECD melalui inisiatif Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) mencoba menciptakan konsensus global melalui Pillar One (alokasi laba lintas yurisdiksi) dan Pillar Two (pajak minimum global 15%). Namun, banyak negara---terutama berkembang---menganggap implementasinya lambat dan terlalu menguntungkan korporasi multinasional. Karenanya, beberapa negara seperti Kanada tetap melangkah sendiri. Kanada menetapkan DST 3 persen sejak Juni 2024, dan bahkan menambahkan "streaming tax" 5 persen untuk mendukung industri penyiaran lokal. Langkah ini memicu sengketa dengan Amerika Serikat, yang menilai kebijakan tersebut diskriminatif terhadap perusahaan teknologi asal AS.

4. Perbandingan Model dan Dampaknya

Negara

Jenis Pajak

Tarif

Basis Pajak

Status 2025

Prancis

DST

3%

Iklan digital, penjualan data, intermediasi

Aktif sejak 2019

Italia

DST

3%

Marketplace, iklan, data pengguna

Aktif sejak 2020

Kanada

DST + Streaming Tax

3% + 5%

Platform digital, konten streaming

Aktif 2024

Indonesia

Digital PE

Berdasarkan laba signifikan

Layanan OTT asing

Aktif 2020

Malaysia

WHT e-Commerce

Variabel

Transaksi digital lintas batas

Aktif 2019

Filipina

VAT Digital

12%

Layanan digital B2C & B2B

Aktif 2025

Kenya

SEP + WHT

30% + 15%

Pendapatan OTT non-residen

Aktif 2024

5. Implikasi bagi Indonesia

Bagi Indonesia, keberadaan pajak OTT bukan sekadar instrumen fiskal, melainkan strategi kedaulatan ekonomi digital. Tantangannya ada dua: Kapasitas pengawasan dan kepatuhan: belum semua platform asing memiliki entitas tetap di Indonesia, sehingga pengawasan transaksi digital lintas negara menjadi sulit. Keseimbangan investasi dan kedaulatan fiskal: pajak digital yang terlalu agresif bisa menurunkan minat investasi di sektor teknologi, terutama startup dan konten kreator lokal yang bergantung pada platform global.

Namun, jika dikelola secara hati-hati, kebijakan ini bisa memperkuat basis pajak nasional, menciptakan level playing field antara pemain lokal dan global, serta mendorong transparansi data ekonomi digital.

6. Arah ke Depan

Di tengah tarik-menarik antara kepentingan nasional dan konsensus global, arah kebijakan ideal bagi Indonesia adalah: Mengadopsi pendekatan hybrid: mengombinasikan digital PE (basis BEPS) dengan mekanisme VAT digital dan pelaporan transaksi lintas batas. Memperkuat kerja sama ASEAN agar kawasan memiliki keseragaman tarif dan aturan pelaporan, sehingga tidak menjadi surga arbitrase pajak. Menyiapkan kapasitas administrasi digital (AI-driven tax compliance system) untuk mengawasi transaksi lintas platform secara real-time.

Pajak digital bukan sekadar pungutan atas keuntungan platform OTT, tetapi simbol kedaulatan fiskal di era tanpa batas. Dunia sedang berlari menuju sistem perpajakan baru yang menempatkan nilai data, interaksi, dan perhatian manusia sebagai sumber ekonomi. Bagi Indonesia, momentum ini adalah peluang untuk memastikan bahwa setiap klik, tonton, dan transaksi digital ikut menyumbang bagi pembangunan negeri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun