Mohon tunggu...
Benediktus Jonas
Benediktus Jonas Mohon Tunggu... Guru - GURU

Writing is a call to serve others and love God. Because everything I have comes from God

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Apa yang Salah dengan Manusia Saat Ini?

18 November 2018   23:42 Diperbarui: 21 November 2018   21:04 2693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO)

"Apa yang salah dengan masa kini? 

Belum pernah terjadi sebelumnya bentuk kehidupan yang tidak menghargai ekosistem yang sehat melebihi manusia zaman sekarang. Belum pernah terjadi sebelumnya satu spesies mengubah planet bumi dan mendominasi bumi dalam skala yang luas. Manusia sekarang ini sepertinya berpikir bahwa mereka adalah penguasa atas alam dan juga mungkin berpikir bahwa mereka adalah generasi terakhir di planet bumi ini."

Demikian dikatakan oleh pendiri EEIU (Eco-Ethcs International Union) Prof. Dr. Otto Kinne. Otto Kinne adalah seorang Jerman yang memberi perhatian khusus untuk menjaga keharmonisan dan ekosistem bumi ini. Bersama komunitasnya, ia selalu menyerukan kepada setiap orang di dunia ini agar tidak sombong atau tidak rakus mengeksploitasi alam ini.

Apa yang dilontarkan Otto Kinne di atas bertujuan menyadarkan manusia agar berhenti menjadi raja atas alam dan mulai menjadi sahabat yang saling melengkapi dan memelihara keutuhan ciptaan di bumi ini.

Kompas cetak edisi Sabtu, 17 November 2018, merilis berita tentang "Ekosistem Makin Tak Seimbang." Di katakan bahwa, "Pembangunan yang hanya bertumpuh pada kepentingan ekonomi telah merusak lingkungan. Dampaknya populasi hewan menurun, kehidupan manusia pun terancam."

Kita bahkan tidak bisa lagi mengharapkan pemulihan yang berjalan secara alami. Alam telah kehilangan kendali atas dirinya sendiri akibat ulah manusia yang terus mengurasnya secara membabibuta tanpa memperhatikan pemulihan yang serius dan efektif.

Laporan dari The living Planet Report 2018, yang dikeluarkan WWF Oktober lalu, menyebutkan dampak aktivitas manusia, membuat kondisi satwa liar, hutan, lautan, sungai, dan iklim semakin buruk (bdk. Kompas, 17/11/18).

Alih-alih meregenerasi dan meregulasi dirinya, alam terus bergolak, memuntahkan bencana demi bencana yang mengancam kehidupan manusia dan mahkluk hidup lainnya. Banjir, tanah longsor, yang kita alami selama ini hendaknya memantik kesadaran kita untuk bertindak menyelamatkan bumi ini dari kehancuran total.

Ekologi dan Mitologi

Akan tetapi kita harus mulai dari mana? Memang masalah kerusakan lingkungan adalah masalah yang kompleks. Tidak hanya terjadi karena faktor ekonomi, tetapi juga dari aspek hukum, teknologi dan kebijakan politik. Tanpa menafik kekompleksan itu, kiranya kita perlu menghidupkan kembali kearifan-kearifan mitologis yang kita miliki.

Hal ini perlu kita lakukan sebagai sebuah alternatif untuk mengimbangi bahkan kalau perlu mengcounter mentalitas dominatif, konsumtif, dan eksplitatif yang menjadi biang kerusakan lingkungan.

Bangsa kita kaya dengan beragam mitologi. Masing-masing daerah memiliki beragam mitos yang menjelaskan tentang asal usul alam semesta juga kedudukan manusia dalam alam semesta. Mitos-mitos itu tampil dalam bentuk cerita atau legenda, puisi, nyanyian, mantra dan doa.

Meskipun berbeda, semua mitologi itu mengatakan satu hal: manusia itu bagian utuh dari alam. Ia bukan subjek otonom. Ia memainkan peran penting dalam proses pelestarian alam. Maka sebagai bagian dari alam, kebahagiaan manusia tidak terlepas dari relasinya dengan alam semesta.

Jika manusia bersikap baik terhadap alam, maka kehidupannya akan selamat, makmur. Sebaliknya jika ia menciderai alam, maka hidupnya akan susah.

Jadi dalam paradigma mitologi, alam itu seperti sebuah komunitas sosial. Ia memiliki daya pertahanan diri terhadap setiap perlakuan negatif lingkungan sosial manusia yang menempatinya. Ia juga memiliki mekanisme pelayanan dan reward terhadap setiap perlakuan positif dari lingkungan sosial yang menempatinya.

Pentinganya alam bagi manusia melahirkan tuntutan etis agar manusia bersikap baik terhadap alam. Tuntutan itu tercetus dalam tabu-tabu. Dengan tahu-tabu itu masyarakat primitif mendasarkan prinsip moralitas tindakannya. Baik buruknya tindakan manusia ditentukan oleh ketaatan manusia dengan tabu-tabu tersebut.

Sehubungan dengan ini berbagai bencana alam, entah banjir, tanah longsor, tsunami, kelaparan, sering dilihat dalam hubungannya dengan perilaku moral terhadap alam. Dengan itu mitologi mencetuskan suatu etika yang tidak hanya berlaku bagi manusia itu sendiri tetapi juga alam semesta secara keseluruhan.

Fakta bahwa ada peristiwa alam yang terjadi di luar jangkauan manusia seperti adanya kelahiran, kematian, bencana, juga menghubungkan alam dengan yang gaib, ilahi. Oleh budaya-budaya tertentu alam dijadikan representasi kehadiran yang ilahi.

Sakralisasi alam ini tidak semata-mata berarti mitologi, melanggengkan penyembahan berhala. Ia pertama-tama hendak menyampaikan bahwa sebagai subjek, alam sebagaimana manusia, pun harus dihormati, bahkan dengan penghormatan kepada yang ilahi.

Apa yang mau dikatakan dari semua elaborasi ini adalah bahwa mitologi menyajikan pada kita sebuah alternatif lain dalam berelasi dengan alam. Bahwa alam bukan objek yang menjadi sasaran manipulasi, eksploitasi manusia. Alam adalah subjek yang mendapat perlakuan subjektif.

Alam bahkan menentukan keberlangsungan hidup manusia. Maka berprilaku baik terhadap alam adalah berprilaku baik terhadap manusia itu sendiri. Menyelamatkan alam berarti menyelamatkan masyarakat manusia yang hidup di dalamnya.

Dalam perspektif mitologi, alam tidak hanya memiliki nilai ekonomis untuk dikeruk demi memenuhi kebutuhan jasmani manusia. Alam juga memiliki nilai sakral yang memenuhi kebutuhan rohani manusia.

Sederhana saja, siapa yang tidak tergerak hatinya oleh keindahan alam? Banyak yang bersaksi bahwa mereka memiliki relasi yang mendalam dengan pencipta berkat kontemplasi penuh hormat dan cinta akan keindahan dan keajaiban alam.

Dimensi Ontologis Alam

Dewasa ini memang orang tidak lagi mendasarkan asal usul keberadaannya kepada alam. Namun dimensi ontologis-ekologis yang digagas oleh mitos penting dalam menegaskan nilai perlunya alam bagi keberlangsungan hidup manusia.

Bagi manusia alam mutlak perlu. Alam bukanlah realitas fisik yang berada di luar diri manusia. Ia adalah entitas keseluruhan yang menyentuh hidup manusia. Maka yang menjadi tolok ukur etika perbuatan manusia bukan hanya dengan sesama manusia, tetapi terlebih keharmonisan relasi manusia dengan alam.

Dengan ini mitologi sebenarnya menawarkan suatu etika kosmik. Etika yang tidak hanya berlaku bagi manusia, tetapi juga lingkungan alam seluruhnya. Etika macam inilah yang sebetulnya paling dibutuhkan manusia dalam mengelola hidupnya yang terancam musnah akibat kerusakan ekologi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun