Mohon tunggu...
Benny Kalakoe
Benny Kalakoe Mohon Tunggu... profesional -

Hidup itu indah kalau dibagikan...La vida es bella cuando la compartes...Life is beautiful when you share it.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perusahaan Transnasional: Katalisator dan Transformator Pembangunan?

17 Oktober 2013   02:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:26 2837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sadar atau tidak, perusahaan  transnasional / multinasional sudah mengontrol hampir sebagian besar sektor-sektor strategis perekonomian dunia seperti energi, keuangan, telekomunikasi, kesehatan, pertanian, infrastruktur, air, industri senjata dan makanan. Dan harus diakui bahwa krisis keuangan yang kita hadapi sekarang ini bukannya melemahkan peran ekonomi dan pengaruh politik perusahaan-perusahaan besar tersebut. Justru sebaliknya mereka memperkuat negosiasi mereka dalam berbagai bidang seperti sumber daya alam, layanan publik, perumahan, energi dan makanan


Perlu disadari bahwa perusahaan-perusahaan transnasional / multinasional mengakumulasi keuntungan yang begitu besar melalui mekanisme ekstraksi dan kepemilikan atas modal atau kapital yang menjadi tulang punggung perekonomian dunia. Meningkatnya eksploitasi buruh dan devaluasi gaji, tekanan yang besar untuk memperoleh materi prima dan sumber daya alam, spekulasi finansial baik terhadap para pekerja maupun terhadap para penjual atau konsumen, membisniskan semua kegiatan kemanusiaan manusia dengan mengabsolutkan prioritas kapital terhadap semua layanan jasa,  semuanya bertujuan memperkaya jajaran pemilik dan direksi atau pemegang saham dari perusahaan-perusahaan besar tersebut untuk menjadi milioner.


Tidak mengherankan Amancio Ortega yang merupakan orang ketiga terkaya di dunia, yang memiliki INDITEX, memproduksi berbagai jenis baju dari pabrik tekstil dengan kondisi kerja yang paling jelek di Bangladesh, dan juga Argentina dan Brasil, tetapi menghasilkan keuntungan yang begitu besar bagi perusahaan. Dampak kemanusiaan yang dihadapi para pekerja saja tidak diperhatikan apalagi dampak sosial-lingkungan yang langsung mempengaruhi masyarakat di sekitar atau ekosistem dunia yang semakin rusak. Dalam bukunya “The New Imperialism”, David Harvey menyatakan bahwa untuk mendapat keuntungan yang lebih besar para pengusaha berusaha menekan biaya produksi sesedikit mungkin dan memperbesar akses ke pasar. Tidak mengherankan dalam beberapa tahun terakhir ini, berhadapan dengan kurangnya tingkat konsumsi masyarakat, semakin mahalnya energi dan turunnya rata-rata pendapatan di negara-negara maju, maka berbagai perusahaan multinasional berusaha mati-matian menurunkan biaya produksi dan meningkatkan akses pasar hampir ke berbagai pelosok dunia. Inilah yang menyebabkan berbagai sumber daya alam yang sebelumnya adalah milik umum, misalnya air, sekarang ini sudah diprivatisasikan dan masuk dalam logika bisnis kapital, industri nasional juga diswastakan, perkebunan-perkebunan rakyat diganti oleh perusahaan agro-industri. David Harvey menegaskan bahwa situasi ini menunjukkan bahwa perbudakan belum enyah dari muka bumi ini. Situasi ini menyebabkan konflik sosio-ekologi dan kekerasan HAM semakin meningkat hampir di seluruh dunia.



Menarik sekali untuk disimak bahwa hampir semua sekolah bisnis dan “think tanks” yang berhubungan dengan perusahaan-perusahaan multinasional, mengelaborasikan sebuah studi atau analisis “logika pintar”, yang menyatakan bahwa kehadiran perusahaan transnasional/multinasional bisa mewujudkan tujuan pembangunan yakni kesejahteraan masyarakat dan perusahaan-perusahaan tersebut bersedia melakukannya dengan harga apapun. Berhadapan dengan meningkatnya kemiskinan, ketidakadilan dalam distribusi hasil pembangunan, dan penolakan dari masyarakat atas kegiatan perusahaan-perusahaan transnasional / multinasional, para ahli perusahaan tersebut menempatkan perusahaan mereka sebagai sentral perekonomian dunia dengan menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan multinasional atau transnasional lebih dari sekedar pembuat masalah juga adalah solusi atas masalah tersebut. Singkatnya, perusahaan-perusahaan tersebut memiliki peran jauh lebih besar daripada pemerintah dan masyarakat sipil, jauh lebih siap untuk menjadi katalisator inovasi dan transformasi menuju sebuah dunia yang lebih berkesinambungan. Perusahaan-perusahaan tersebut meningkatkan legitimasi sosial mereka dan memposisikan dirinya sebagai aktor yang tak terhindarkan untuk “keluar dari krisis”, dengan menekankan pengaruh positif dari kegiatan-kegiatan perusahaan mereka seperti transfer teknologi, memperbaiki fasilitas umum, meningkatkan jumlah tenaga kerja, memberikan akses kepada perempuan untuk mendapat pekerjaan dan meningkatkan pendapatan masyarakat sebagai motor utama pembangunan.


Namun demikian, para peneliti pergerakan sosial dan LSM menolak “logika pintar” sekolah-sekolah bisnis dan perusahaan-perusahaan tersebut. Mereka menunjukkan realitas lain dari ekspansi global perusahaan-perusahaan transnasional / multinasional dalam beberapa pernyataan penting antara lain: pertama: perusahaan-perusahaan transnasional/multinasional tidak meningkatkan kuantitas maupun kualitas buruh; juga tidak memberikan bantuan atas fasilitas layanan sosial yang sering mereka dengungkan; secara praktis mereka tidak melakukan investasi untuk melindungi masyarakat ataupun lingkungan; dan akhirnya mereka tidak membawa kesejahteraan atau membangun masyarakat di mana mereka ada, seperti yang mereka janjikan saat mereka  melakukan bisnis, melakukan privatisasi atau reformasi neoliberal di tahun-tahun 1980-1990-an. Kedua; perusahaan-perusahaan transnasional / multinasional hanya berbicara tentang ekonomi. Jarang sekali bahkan ada perusahaan yang tidak berbicara tentang dampak sosial, politik, lingkungan dan kebudayaan dari kegiatan internasionalisasi atas bisnis yang dilakukan perusahaan-perusahaan tersebut. Ketiga: siapa yang diuntungkan oleh perusahaan transnasional atau multinasional tersebut? Yang diuntungkan bukan para buruh atau sebagian besar masyarakat, melainkan sekelompok kecil pemilik perusahaan.


Berbicara tentang realitas sepak terjang perusahaan-perusahaan transnasional atau multinasional, harus disadari bahwa dampak negatif dari kegiatan mereka telah menimbulkan resistensi dan penolakan yang begitu kuat dari masyarakat. Munculnya  “Tribunal Permanen Masyarakat” ( lihat di  www. enlazandoalternativas.org ;   tahun 2006 di Vienna, tahun 2008 di Lima, dan tahun 2010 di Madrid) mau menunjukkan bahwa “logika pintar” perusahaan-perusahaan tersebut justru tidak terbukti. Kita lihat beberapa bukti yang menunjukkan bahwa “logika pintar” tersebut tidak terwujud di Amerika Selatan. Justru kegiatan perusahaan-perusahaan tersebut harus dibayar mahal oleh alam , masyarakat dan pemerintah. Perusahaan pertambangan Goldcorn di Guatemala, perusahaan kertas Botnia di Uruguay, perusahaan minyak/energi Repsol di Argentina, Bolivia, Kolombia, Peru dan Ekuador, menguras habis sumber daya alam. Perusahaan Jerman Thyssen Krupp memberikan dampak lingkungan hidup yang begitu berbahaya atas konstruksi infrastruktur dan kompleks industri untuk ekspor besi di Rio de Janeiro. Begitu juga dengan proyek-proyek fasilitas umum yang diprivatisasikan / diswastanisasikan oleh Bank Santander dan BBVA di Brasil dan Peru, Proyek Agua de Barcelona di Meksiko, Proactiva-FCC dan Unión Fenosa di Kolombia, Guatemala dan Nicaragua semuanya merusak lingkungan hidup. Dampak negatif dari kegiatan perusahaan-perusahaan multinasional atau transnasional ini tidak bisa dilihat sebagai dampak yang biasa, melainkan sebuah dampak negatif yang tersistematisasi dalam sebuah praksis terpolakan. Karena itu perusahaan-perusahaan tersebut patut dibawa ke pengadilan internasional.
Dampak negatif dari kegiatan perusahaan transnasional atau multinasional dapat dilihat secara singkat dari data perusahaan-perusahaan multinasional spanyol yang berhasil ditemukan ( Lihat di www.omal.info).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun