Mohon tunggu...
Bella Prasvi
Bella Prasvi Mohon Tunggu... Mahasiswa

Suka bermain game, membaca, dan mengetik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Di Era Digital, Kok Kita Masih Hampa?

17 Agustus 2025   20:36 Diperbarui: 17 Agustus 2025   20:36 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 (Sumber: https://radarmukomuk Foto)

Pendahuluan

Kita hidup di era yang katanya serba canggih, serba cepat, dan serba terkoneksi. Namun di balik itu, justru muncul satu fenomena yang makin hari makin nyata. Generasi muda, khususnya Gen Z merasa hampa. Ironis, bukan? Teknologi semakin maju, hiburan ada di ujung jari, akses informasi melimpah, tapi justru banyak dari kita merasa... kosong. Seperti ada yang kurang, tapi tak tahu apa. Di Artikel ini saya ingin mengajak pembaca untuk menyelami lebih dalam realita ini, bukan untuk menghakimi, tapi untuk mencoba memahami bersama-sama.

Saat Dunia Serba Online, Kenapa Kita Masih Merasa Kosong?

    Kita ada di era modern yang katanya punya teknologi super canggih, kecepatan informasi tinggi, dan koneksi ke mana-mana. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, kita nggak pernah lepas dari layar. Semua hal bisa diakses dalam hitungan detik mau nonton film, dengerin lagu, cari info, sampai ngobrol sama teman juga tinggal klik. 

Tapi ironisnya, di tengah semua kemudahan itu, banyak anak muda terutama Gen Z justru ngerasa hampa. Kosong. Seperti ada yang hilang, tapi nggak tahu apa. Fenomena ini bukan cuma perasaan sesaat atau drama belaka. Banyak riset dan ahli psikologi yang mengangkat hal serupa.


Gen Z  Hidup Bareng Teknologi, Tapi Kesepian?

   Gen Z itu generasi yang tumbuh bersama teknologi. Dari kecil udah kenal gadget, game online, dan media sosial. Beda sama generasi sebelumnya yang main petak umpet di lapangan, kita lebih banyak habisin waktu di dunia digital.

Masalahnya, eksistensi kita jadi tergantung banget sama dunia maya. Validasi datang dari like, comment, dan jumlah followers. Kita bikin konten, edit foto, tulis caption keren semua demi "diakui". Tapi kadang, kita jadi lupa siapa diri kita sebenarnya di balik semua itu. Bahkan menurut laporan dari Cigna Global tahun 2023, 73% Gen Z di dunia ngerasa kesepian, meskipun mereka paling sering online. Gimana bisa?

Kekosongan Psikologis Gejala atau Budaya?

    Rasa hampa ini bukan sekadar "baper" atau kurang bersyukur. Ini real. Dalam dunia psikologi, ini dikenal dengan istilah existential vacuum, sebuah kondisi ketika seseorang kehilangan rasa makna dalam hidupnya. Konsep ini dikemukakan oleh Viktor Frankl, seorang psikiater dan penyintas Holocaust. Kita jadi sibuk banget ngejar sesuatu entah itu prestasi, konten viral, atau approval dari orang lain tapi dalam hati tetap merasa kosong. Kayak hidup cuma ngegas, tapi nggak tahu arahnya ke mana.

Ketika tujuan berubah jadi angka, likes, followers, pencapaian instan, bukan lagi nilai, relasi, dan kebermaknaan. Budaya hustle dan produktivitas ekstrem memperparahnya. Kita sibuk, tapi tidak hadir. Sibuk, tapi kosong dan hampa.


Media Sosial  Pedang Bermata Dua

   Media sosial bisa jadi tempat aktualisasi diri, tapi juga bisa jadi jebakan. Saat algoritma memanjakan kita dengan konten yang kita suka, kita perlahan terjebak dalam filter bubble. Kita disuguhkan dunia yang tampak indah, sementara kenyataan hidup tidak semanis itu. Terjadi perbandingan sosial yang halus tapi menyakitkan. Kita mulai mempertanyakan diri sendiri "Kenapa aku nggak sekeren mereka?" Padahal yang kita lihat hanyalah highlight, bukan realita. Di balik feed aesthetic, banyak juga orang yang ngerasa capek, cemas, bahkan depresi. Termasuk... kita sendiri.


Koneksi Sosial yang Semu

  Penelitian menunjukkan bahwa meski Gen Z paling terhubung secara digital, mereka juga menjadi generasi paling kesepian. Ini paradoks. Percakapan berubah jadi sekadar chat singkat. Keintiman tergantikan oleh emoji. Banyak dari kita lupa cara membangun obrolan yang mendalam, lupa cara menangis di depan orang lain tanpa takut dianggap lemah. 

Meski kita gampang banget connect secara digital, ternyata koneksi emosional justru makin langka. Chat berubah jadi sekadar "haha" atau "wkwk". Curhat digantikan meme. Dan kadang, kita bahkan takut jujur sama perasaan sendiri karena takut dianggap 'lemah'.
Padahal manusia itu butuh lebih dari sekadar dilihat kita butuh didengar, dimengerti, dan dipeluk (secara harfiah atau emosional). Dan sayangnya, teknologi belum bisa kasih itu.


Kembali ke Akar Masalah Manusia Butuh Makna

  Solusi dari kekosongan bukanlah lebih banyak hiburan, melainkan lebih banyak kehadiran. Lebih banyak makna. Kita perlu berhenti sejenak.  Ngelawan rasa kosong itu bukan soal ngurangin screen time doang. 

Yang lebih penting adalah mencari makna dalam hubungan, aktivitas, dan diri sendiri. Coba tanya ke diri kita sendiri:
"Apa sih yang bikin hidup gue berharga?"
"Siapa yang benar-benar hadir buat gue?"
"Nilai apa yang pengen gue pegang teguh?"

Jawabannya mungkin nggak langsung ketemu, tapi proses nyarinya itu yang bikin hidup punya arah.


Penutup

Bukan berarti teknologi itu jahat. Nggak juga. Teknologi itu netral, yang nentuin dampaknya ya cara kita gunain. Yang penting adalah gimana kita tetap jadi manusia di tengah dunia digital ini. Jangan biarkan rasa kosong jadi identitas. Kita bukan cuma generasi yang jago bikin konten, tapi juga bisa jadi generasi yang tahu cara hadir buat orang lain dan buat diri sendiri.

Karena pada akhirnya, kita semua butuh makna. Dan kadang, makna itu nggak ditemukan di layar, tapi di pelukan hangat, tawa bareng teman, atau momen hening saat kita benar-benar jujur sama diri sendiri.

Yuk, berani jujur pada diri sendiri. Jangan biarkan kekosongan ini jadi identitas kita. Kita bukan sekadar generasi yang tahu cara bikin konten. Kita juga bisa jadi generasi yang tahu cara hadir, mendengarkan, mencinta, dan memberi makna. Karena pada akhirnya, manusia bukan hanya butuh layar, tapi butuh pelukan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun