Mohon tunggu...
Anton Bele
Anton Bele Mohon Tunggu... Dosen - PENULIS

Dosen Tamu, pengampu Mata Kuliah Filsafat di Program Pasca-sarjana Interdisiplin Studi Pembangunan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Guna dari Sudut Filsafat

1 Agustus 2020   22:14 Diperbarui: 1 Agustus 2020   22:25 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Guna apa engkau di sini. Tidak ada guna engkau ada di  sini. Kau punya hidup tidak ada guna sedikit pun. Ini penolakan seseorang terhadap seseorang. Ini alat ada guna untuk saya.

Binatang peliharaan ada guna untuk kita manusia. Manusia dilihat sebagai manusia yang ada guna untuk kepentingan manusia lain. Itu sama seperti pemilik barang  yang dilihat sebagai sekedar alat yang ada guna untuk digunakan sesuka hati pemiliknya.

Manusia bukan milik sesama manusia. Jadi adanya manusia karena ada guna untuk sesama manusia itu tidak benar. Manusia ada bukan karena ada guna baru ada.

Kalau manusia dilihat dari ada guna atau tidak, maka derajat manusia diturunkan sama seperti binatang atau lebih rendah lagi, sebagai alat, benda mati, seperti parang yang mempunyai guna  untuk memotong atau pisau untuk menikam. 

Guna tidak bisa diartikan sebagai manfaat yang berlaku bagi manusia sehingga manusia ada karena ada guna untuk manusia lain. PENCIPTA pun tidak menciptakan manusia karena ada guna untuk DIRINYA.

Manusia ada bersama manusia lain bukan karena ada guna, tetapi ada karena kehendak PENCIPTA Yang menciptakan bagi DIRINYA rekan penerus ciptaan yang sama dalam karya (NAFSU), cita (NALAR), rasa (NALURI), citra (NURANI). (4N, Kwadran Bele, 2011). Manusia bertanya pada diri, apa gunanya saya hidup? Kalau saya sudah tua, masih ada guna atau tidak?

Siapa mau gunakan tenaga anak kecil untuk pekerjaan berat di pabrik? Tenaga perempuan tidak ada guna untuk angkat barang-barang berat di pelabuhan. Manusia dianggap ada arti sejauh masih ada guna untuk manusia lain.

Manusia dilihat dari guna tidaknya bagi apa saja, pekerjaan atau jabatan apa pun merupakan satu pandangan yang sangat keliru karena atas dasar pandangan inilah berbagai kejahatan kemanusiaan bisa muncul.

Negara gunakan tenaga-tenaga kuat dan terlatih untuk menjadi tentara guna mempertahankan negara. Otak orang ini sangat encer, dia ini manusia serba-guna. Lagi-lagi manusia dilihat dari segi gunanya, bukan adanya. Saya ada belum tentu berguna.

Ada guna atau tidak, ditentukan oleh diri manusia untuk dirinya dan oleh manusia untuk manusia lain. Sudut pandang manusia atas dasar guna dan tidak ada guna inilah yang melahirkan anggapan manusia normal dan abnormal atau cacat, manusia sehat dan sakit, manusia tua dan muda, manusia kuat dan lemah.

Manusia tidak boleh dinilai atau digolongkan atas dasar besar kecilnya guna manusia itu untuk ini dan itu. Manusia ada bersama sesama dalam DIA untuk hidup sesuai keadaannya, bukan hidup untuk ini dan itu yang ditegaskan dengan kata 'guna'. 

Ada bahaya manusia kehilangan martabatnya karena dia tidak ada guna lagi. Guna itu menjadi ukuran untuk keberadaan manusia. Ini tidak benar. Manusia menggunakan alam untuk hidup. Dan tidak boleh manusia menggunakan manusia lain untuk hidup. 

Saling memperalat antara sesama manusia muncul karena manusia mengganggap sesama manusia hanya pada tingkat 'guna' bukan tingkat 'ada'. Tidak boleh suami dan isteri saling menggunakan untuk kepentingan diri masing-masing. Tidak boleh orang tua menggunakan anak-anak untuk jadi hiburan atau tenaga penolong.

Adanya diri manusia pada usia tertentu, posisi tertentu, jabatan tertentu, tidak boleh dilihat sebagai manusia yang lebih berguna atau kurang berguna. Posisi apa saja adalah panggilan untuk ada yang terlepas dari ada guna atau tidak. Dia ada pada keadaan itu dan ada bersama dalam keadaan masing-masing menjadi panorama hidup yang memancarkan kebesaran DIA, PENCIPTA kita.

Masing-masing kita kembangkan adanya kita itu dari segi ke-mitra-an dengan PENCIPTA dalam menata ciptaan, bukan untuk saling meng-guna-kan demi tujuan yang merendahkan martabat manusia itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun