Namun faktanya, masih banyak kepala sekolah yang alergi terhadap kritik. Mereka lebih nyaman dikelilingi guru yang selalu mengangguk dan memuji, bukan yang berani menyampaikan pendapat berbeda. Akibatnya, rapat guru sering hanya menjadi ajang formalitas. Banyak ide bagus tenggelam sebelum sempat dibicarakan, karena guru memilih diam demi menjaga suasana "aman".
Saya pernah mengalami perbedaannya. Di sekolah berikutnya, kepala sekolah justru senang jika guru berdebat sehat. Rapat menjadi hidup. Kami saling menantang gagasan tanpa takut disalahpahami.
Dari situ saya belajar: penghargaan terhadap suara guru bukan formalitas, tapi fondasi kepemimpinan sejati.
Kepala sekolah yang mau mendengar akan menumbuhkan guru yang mau berjuang.
Sebaliknya, pemimpin yang hanya ingin dipuji akan mencetak guru yang pandai berpura-pura.
Saat Guru Mulai Malas Bicara
Beberapa tahun kemudian, saya bertemu lagi dengan rekan lama dari sekolah pertama. Ia bercerita, rapat kini berlangsung cepat. Tak ada debat, tak ada tanya-jawab. Semua sudah tahu alurnya: memuji, menyetujui, lalu bubar.
"Capek, kalau ngomong malah dicatat di hati," katanya sambil tersenyum getir.
Kalimat itu menampar saya. Ketika kepala sekolah tak mau mendengar, guru pun belajar untuk diam. Diam yang perlahan membunuh semangat kolektif. Diam yang membuat ide tak tumbuh dan inovasi berhenti.
Budaya ini lama-lama mengikis integritas. Guru tak lagi jujur tentang kesulitannya di kelas. Laporan dibuat rapi, tapi jauh dari kenyataan. Sugar coating akhirnya menjalar ke semua lini dari ruang rapat hingga lembar administrasi.
Menumbuhkan Keberanian untuk Jujur
Saya menulis ini sebagai refleksi pengalaman saat pertama kali menjadi guru. Dulu, saya juga memilih diam. Tapi waktu mengajarkan bahwa sekolah hanya akan tumbuh jika ada keberanian untuk jujur.
Keberanian untuk berkata, "Saya tidak setuju," tanpa takut dicap pembangkang.
Keberanian untuk mengakui kesalahan tanpa kehilangan harga diri.
Dan tentu saja, keberanian kepala sekolah untuk membuka telinga bagi suara guru.
Sugar coating memang terasa manis di permukaan. Tapi di baliknya, ada luka yang dalam.
Jika budaya ini terus dibiarkan, sekolah akan kehilangan rohnya: kejujuran, dialog, dan semangat belajar sejati.
Kini, ketika kita bicara tentang Merdeka Belajar, pertanyaannya bukan lagi sekadar tentang metode atau kurikulum.
Tapi: apakah kita sungguh merdeka untuk berbicara jujur di ruang rapat sekolah sendiri?