Fenomena ini bukan sekadar soal gaya-gayaan. Media sosial memberi pengaruh besar. FYP TikTok, reels Instagram, sampai iklan skincare membanjiri layar ponsel mereka setiap hari. Anak SMP pun jadi akrab dengan istilah skincare routine, no-makeup makeup look, atau bahkan review produk kosmetik yang biasanya ditonton oleh orang dewasa.
Tak hanya itu, figur publik yang mereka idolakan kerap menampilkan standar kecantikan tertentu: kulit mulus, bibir glossy, rambut rapi tanpa cela. Bagi anak-anak yang masih mencari jati diri, meniru menjadi jalan paling mudah untuk merasa diterima.
Fenomena yang Kian Nyata
Data UNICEF (2022) menyebut 62% remaja Indonesia usia 12-15 tahun sudah mencoba produk perawatan diri seperti lipbalm, parfum, atau bedak ringan. Bahkan, satu dari lima anak perempuan SMP mengaku membeli kosmetik karena terinspirasi konten kreator di TikTok dan Instagram.
Nielsen (2023) juga melaporkan belanja kosmetik remaja naik hampir 30% dalam lima tahun terakhir. Dorongan utamanya datang dari akses internet yang luas dan tren beauty influencer yang merajai media sosial.
Di kelas, guru kini sering mendapati siswi menyelipkan ipouch kecil berisi make up di antara buku pelajaran. Lip gloss, bedak tipis, hingga parfum botol mungil kerap muncul diam-diam di meja belajar. Fenomena ini semakin nyata di depan mata.
Mengapa Dandan Dianggap Wajar?
Ada alasan mengapa sebagian orang tua dan anak tidak mempermasalahkan kebiasaan berdandan sejak SMP.
- Ekspresi identitas. Masa SMP adalah fase mencari jati diri. Make up bisa memberi rasa percaya diri sekaligus menandai peralihan dari dunia anak-anak menuju remaja.
- Persiapan menuju dewasa. Sebagian orang tua berpikir lebih baik anak belajar berdandan sejak dini agar tahu batas, tahu cara merawat kulit, dan tidak "kaget" ketika dewasa.
- Tekanan sosial. Di beberapa kelompok pergaulan, tidak pakai lipbalm bisa dianggap "kurang gaul." Anak merasa perlu mengikuti standar kelompok agar tidak tersisih.
Dengan sudut pandang ini, berdandan diposisikan bukan sebagai penyimpangan, melainkan bagian dari pertumbuhan normal.
Risiko dan Kekhawatiran
Namun sisi lain dari fenomena ini tak bisa diabaikan.
- Kesehatan kulit. Kulit remaja SMP masih sensitif. Produk yang tidak sesuai bisa memicu jerawat, iritasi, bahkan kerusakan permanen.
- Ketergantungan pada penampilan. Jika sejak dini anak percaya kecantikan adalah kunci penerimaan sosial, maka body image mereka bisa rapuh.
- Aturan sekolah. Hampir semua SMP masih melarang make up. Tapi guru sering dilema: menegakkan aturan tegas, atau menjaga suasana kelas tetap kondusif.
- Nilai budaya. Dalam banyak keluarga Indonesia, anak SMP masih dianggap "usia anak-anak." Dandan sering dipandang sebagai kedewasaan dini yang terlalu cepat.
Di titik ini, debat pun muncul: apakah berdandan di SMP bentuk kebebasan berekspresi, atau alarm sosial yang sebaiknya kita waspadai?
Perdebatan Nilai, Norma, dan Zaman
Fenomena ini sesungguhnya berada di simpang tiga antara nilai keluarga, norma sekolah, dan arus zaman.
- Nilai keluarga. Orang tua menjadi penentu utama boleh tidaknya anak berdandan. Ada yang melarang ketat, ada pula yang longgar.
- Norma sekolah. Aturan resmi sekolah biasanya jelas: seragam rapi, tanpa make up. Tapi implementasinya sering tidak konsisten.
- Arus zaman. Generasi Z tumbuh dalam derasnya arus global. Tutorial make up viral bisa mereka ikuti hanya dalam hitungan menit.
Ketika tiga hal ini bertabrakan, anak sering kebingungan. Harus ikut orang tua, patuh pada guru, atau menyesuaikan diri dengan teman?