Mohon tunggu...
Fransisca Dafrosa
Fransisca Dafrosa Mohon Tunggu... Pendidik, Penulis, dan Penggerak Literasi

Guru, penulis dan penggerak literasi yang percaya menulis adalah jejak sejarah diri sekaligus warisan nilai bagi generasi muda.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mobing Guru: Bagaimana Hal Ini Merusak Hubungan dengan Siswa?

10 Desember 2024   14:50 Diperbarui: 10 Desember 2024   14:50 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar olahan AI - dokpri

Pernahkah sahabat kompasiana bertanya-tanya, apa yang terjadi ketika seorang guru, sosok yang seharusnya menjadi panutan dan pendukung bagi siswa, justru menjadi korban mobing? 

Mobing, atau tindakan intimidasi dan pelecehan sistematis di tempat kerja, tak hanya menyisakan luka pada individu yang mengalaminya, tetapi juga menimbulkan dampak besar pada lingkungan di sekitarnya---termasuk pada siswa. Ketika seorang guru menghadapi tekanan emosional yang terus-menerus, bagaimana ini memengaruhi cara mereka mengajar, berinteraksi, dan mendidik siswa?

Mobing di Dunia Pendidikan: Fenomena yang Jarang Dibicarakan

Mobing di dunia pendidikan sering kali luput dari perhatian. Ketika mendengar istilah ini, kita mungkin lebih sering mengaitkannya dengan lingkungan korporat, namun kenyataannya, mobing juga terjadi di sekolah. Guru yang menjadi korban mobing bisa menghadapi berbagai bentuk intimidasi---mulai dari kritik berlebihan, pengucilan sosial, hingga sabotase tugas. Pelakunya bisa datang dari kolega, atasan, atau bahkan orang tua siswa.

Menurut sebuah penelitian, guru yang mengalami mobing cenderung menunjukkan gejala stres, depresi, dan kelelahan emosional. Tekanan ini secara langsung memengaruhi cara mereka berinteraksi dengan siswa.

Penurunan Empati: Ketika Beban Guru Terlalu Berat

Guru adalah jembatan penting dalam pembentukan karakter siswa. Namun, ketika seorang guru mengalami mobing, kemampuan mereka untuk memberikan perhatian penuh kepada siswa bisa menurun. Beban emosional yang berat membuat mereka sulit untuk tetap empati.

Bayangkan seorang guru yang sebelumnya dikenal sabar dan penuh perhatian tiba-tiba menjadi pendiam, mudah marah, atau tampak tidak peduli. Perubahan ini bukan karena mereka tidak peduli pada siswa, tetapi karena energi emosional mereka sudah terkuras oleh tekanan yang mereka alami. Ketidakmampuan untuk merespons kebutuhan emosional siswa ini, pada akhirnya, menciptakan jarak antara guru dan siswa.

Seorang siswa mungkin merasa diabaikan ketika guru yang biasanya hangat tiba-tiba berubah menjadi dingin. Sementara itu, guru merasa bersalah karena tidak bisa memberikan yang terbaik. Siklus ini dapat merusak hubungan yang seharusnya dibangun di atas kepercayaan dan kasih sayang.

Jarak Emosional: Penghalang yang Tidak Terlihat

Selain penurunan empati, mobing juga bisa menciptakan jarak emosional yang lebih besar antara guru dan siswa. Guru yang merasa tidak dihargai atau diintimidasi cenderung menarik diri secara emosional. Mereka mungkin menjadi lebih formal dan kaku dalam berinteraksi dengan siswa, bukan karena mereka tidak peduli, tetapi karena mereka berusaha melindungi diri dari tekanan tambahan.

Jarak emosional ini dapat terlihat dalam cara guru mengelola kelas. Misalnya, guru yang sebelumnya aktif berinteraksi dengan siswa mungkin memilih metode pengajaran yang lebih pasif, seperti memberikan tugas tanpa banyak diskusi. Hal ini membuat suasana kelas terasa dingin dan kurang hangat, yang pada akhirnya memengaruhi motivasi belajar siswa.

Manajemen Kelas yang Berubah: Dari Inspiratif Menjadi Otoritatif

Mobing juga dapat mengubah cara guru mengelola kelas. Guru yang mengalami tekanan emosional sering kali kehilangan kesabaran dan merasa sulit untuk menghadapi tantangan di dalam kelas. Ini bisa mengarah pada perubahan pendekatan dari yang inspiratif menjadi otoritatif.

Contohnya, guru yang sebelumnya mendorong siswa untuk berpikir kritis dan berdiskusi, mungkin mulai menerapkan aturan yang lebih kaku. Mereka bisa menjadi lebih tegas, bukan karena mereka ingin, tetapi karena mereka merasa tidak mampu menangani situasi lain yang lebih fleksibel. Pendekatan ini, meskipun efektif dalam jangka pendek, dapat merusak hubungan jangka panjang dengan siswa.

Siswa, terutama yang lebih muda, membutuhkan lingkungan belajar yang mendukung dan penuh kehangatan. Ketika suasana kelas berubah menjadi terlalu formal dan kaku, mereka mungkin merasa tidak nyaman untuk mengekspresikan diri atau bertanya. Ini dapat menghambat perkembangan intelektual dan emosional mereka.

Efek Domino pada Siswa

Hal yang lebih memprihatinkan adalah dampak mobing pada siswa tidak berhenti di sana. Ketika siswa merasakan perubahan sikap guru mereka, mereka mungkin mulai kehilangan rasa hormat atau kepercayaan. Ini dapat memengaruhi keterlibatan mereka di kelas, performa akademik, dan bahkan kesehatan mental mereka.

Selain itu, siswa juga dapat belajar perilaku negatif dari lingkungan tersebut. Jika mereka melihat bahwa mobing dianggap normal atau tidak ditangani dengan serius, mereka mungkin menganggap bahwa perilaku intimidasi dapat diterima. Hal ini dapat menciptakan siklus mobing yang terus berlanjut, tidak hanya di kalangan guru tetapi juga di antara siswa.

Solusi: Membangun Lingkungan Kerja yang Sehat

Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi masalah ini? Langkah pertama adalah menciptakan kesadaran tentang mobing di dunia pendidikan. Sekolah harus menjadi tempat yang aman, tidak hanya bagi siswa tetapi juga bagi guru.

Berikut beberapa langkah yang dapat diambil:

* Kebijakan Anti-Mobing yang Jelas: Sekolah perlu memiliki kebijakan yang tegas terhadap mobing, termasuk mekanisme pelaporan yang aman bagi guru yang menjadi korban.

* Dukungan Psikologis: Guru yang mengalami mobing perlu mendapatkan dukungan psikologis, baik melalui konseling individual maupun kelompok pendukung.

* Pelatihan untuk Semua Pihak: Kepala sekolah, guru, dan bahkan orang tua siswa perlu dilatih untuk mengenali tanda-tanda mobing dan bagaimana cara mengatasinya.

* Peningkatan Komunikasi: Lingkungan kerja yang sehat membutuhkan komunikasi yang terbuka dan saling menghormati di antara semua pihak.

* Penguatan Budaya Positif di Sekolah: Sekolah harus menekankan nilai-nilai seperti empati, saling menghormati, dan kerja sama, tidak hanya di antara siswa tetapi juga di antara guru.

Menjadi Guru yang Bahagia, Menjadi Guru yang Inspiratif

Guru adalah fondasi dari sistem pendidikan. Ketika ibu bapak guru merasa dihormati, didukung, dan bahagia, mereka dapat memberikan yang terbaik kepada siswa mereka. Sebaliknya, ketika mereka menjadi korban mobing, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh para guru sendiri, tetapi juga oleh siswa yang seharusnya mereka bimbing.

Jadi, mari kita bersama-sama menciptakan lingkungan sekolah yang lebih sehat dan mendukung, di mana guru dan siswa bisa berkembang bersama tanpa rasa takut atau tekanan. Karena, pada akhirnya, pendidikan yang baik dimulai dari hubungan yang baik---antara guru, siswa, dan seluruh komunitas sekolah.

Semoga bermanfaat

F. Dafrosa

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun