lagu “Garam dan Madu” yang viral di TikTok membuka ruang baru bagi musik lokal untuk unjuk gigi di tengah dominasi musik global. Di tengah arus tren TikTok yang biasanya dipenuhi lagu-lagu K-pop, pop Barat, atau remix internasional, kehadiran genre baru bernama HipDut perpaduan antara hip-hop dan dangdut menjadi angin segar. Lagu ini menarik perhatian luas, terutama di kalangan pengguna muda Indonesia, dan menunjukkan bahwa musik lokal punya daya saing dan tempat di dunia digital.
Jika dilihat melalui teori hegemoni Antonio Gramsci, budaya populer seperti musik tidak hanya sekadar hiburan, tapi juga bisa menjadi alat untuk menantang kekuasaan simbolik. Dalam konteks ini, HipDut menjadi bentuk perlawanan halus terhadap dominasi selera musik luar negeri yang sering dianggap lebih “berkelas” dibanding musik lokal. Kreator seperti Naykilla dan para pendukungnya di TikTok memperlihatkan bahwa musik seperti dangdut bisa tampil modern, trendi, dan disukai generasi muda. Perubahan ini juga berkaitan erat dengan soal identitas. Di TikTok, musik “Garam dan Madu” menjadi simbol bagi anak-anak muda terutama dari daerah atau kelas sosial menengah ke bawah untuk menampilkan siapa mereka. Musik yang dulu dipandang kampungan kini justru menjadi sarana ekspresi yang membanggakan. Sosok Naykilla pun turut memperkuat representasi baru perempuan yang berani, percaya diri, dan punya pengaruh kuat di media sosial.
Lebih dari sekadar musik, tren ini juga menunjukkan bagaimana wacana tentang dangdut mulai bergeser. Lewat TikTok dan pemberitaan media seperti IndoPop, muncul narasi baru bahwa dangdut tak lagi dipandang sebelah mata. Dangdut modern, lewat kemasan HipDut, kini mulai dilihat sebagai sesuatu yang keren dan layak diakui. Ini menandakan bahwa kekuasaan tidak hanya hadir melalui kekerasan atau kontrol langsung, tapi juga melalui pembentukan cara berpikir dan persepsi lewat media. Budaya memang tidak pernah tunggal. Selalu ada tarik-menarik makna di dalamnya. Dalam kasus HipDut, ada dua makna yang bertabrakan: yang satu menganggap dangdut kuno dan kampungan, sementara yang lain melihat potensi dangdut sebagai bagian dari gaya hidup modern. Viral-nya lagu “Garam dan Madu” menjadi bukti bahwa media sosial kini menjadi arena di mana makna budaya diperdebatkan, dinegosiasikan, dan diciptakan ulang.
HipDut juga bisa dilihat sebagai bentuk subkultur baru. Mengutip teori Dick Hebdige, subkultur adalah ekspresi dari kelompok yang menciptakan gaya sendiri sebagai bentuk perlawanan terhadap arus utama. Anak-anak muda yang mempopulerkan HipDut menciptakan tren sendiri bukan sekadar ikut arus budaya luar, tapi membuat sesuatu yang mencerminkan identitas mereka sendiri. Gerakan ini tidak hanya membongkar batas antara budaya tinggi dan rendah, tapi juga menunjukkan bahwa budaya lokal bisa menjadi sarana emansipasi dan perubahan sosial. Aksi viral seperti joget khas kepala dan lirik dangdut yang dibawakan dengan gaya kekinian menjadi simbol keberanian generasi muda Indonesia untuk menunjukkan jati diri. Di tengah gempuran budaya global, mereka memilih untuk tampil dengan suara sendiri dan itu adalah bentuk perlawanan yang sangat relevan di era digital saat ini.
Dosen Pengampu: Dr. Merry Fridha Tri Palupi, M.Si.
Mata Kuliah/ Kelas: Media And Cultural Studies (H)
Nama/ NBI: Intan Novita Dwi.S. (1152200398)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI