Mohon tunggu...
Bekti Sawiji
Bekti Sawiji Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis musiman.

Menaruh minat terhadap cerita digital (digital storytelling), cara baru bercerita menggunakan teknologi modern. Memiliki website: www.ceritadigital.com yang memuat cerita digital bidang sosial dan pendidikan hasil workshop dan hasil karya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Melafalkan Al-Fateka Dimaafkan?

10 Oktober 2018   13:26 Diperbarui: 10 Oktober 2018   13:47 1672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggapan terhadap artikel berjudul MENJAWAB SOAL KESALAHAN MAKNA "AL-FATEKA" oleh Ust. Dr. Miftah el-Banjary, 

Dosen Ilmu Semantik Arab

Sudah membaca tulisan Dr. Miftah el-Banjary yang berjudul: Menjawab Soal Kesalahan makna "AL-FATEKA"?. Saya akan memberikan critical review (telaah kritis) terhadap poin-poin yang disampaikan Ustadz Miftah dan itu akan saya sampaikan di bagian tengah hingga akhir tulisan saya ini. Walaupun ini telaah kritis, pada dasarnya saya sependapat dengan mayoritas pendapat Ustadz Miftah dalam tulisan tersebut.

Di bagian awal saya akan membahas sedikit tentang beredarnya video cuplikan Presiden Jokowi yang salah melafalkan kata al-fatihah (al fatikhah?) Saya minta maaf sebelumnya karena saya sendiri kurang tahu bagaimana transliterasi dari kata tersebut, tetapi untuk kali ini saya ikut Ustasdz Miftah: al-fatihah. 

Sebenarnya saya tidak pernah tertarik menanggapi posting-posting apapun yang bermuatan politis, memojokkan pihak-pihak tertentu, dalam konteks kekinian isu pemilihan presiden (pilpres) 2019. 

Saling serang dan hujat antar pendukung calon presiden pun terjadi begitu riuh rendah khususnya di dunia maya sejak sekian lama. Bahkan bukan hanya menjelang pilpres 2019, melainkan sudah dimulai sejak pilpres 2014 karena kebetulan calon presidennya sama. 

Saya katakan isu AL-FATEKA ini politis walaupun Dr. Miftah murni membahas kesalahan AL-FATEKA dari segi bahasa, bukan politik. Kenapa saya katakan demikian, ada dua alasan saya. Pertama sulit untuk tidak mengatakan isu ini bukan politis sebab subyek yang di bahas adalah orang nomor satu di negeri ini, Presiden Jokowi, yang juga seorang incumbent. 

Sangat berbeda bila isu ini terjadi ketika Presiden Jokowi tidak mencalonkan diri lagi sebagai Calon Presiden pada pilpres 2019. Kedua, isu ini sangat memojokkan Presiden Jokowi karena dia "salah" melafalkan Al-fatihah sebagai AL-FATEKA.

Awalnya, di grup Whatsapp (WA) saya mendapatkan posting cuplikan video Presiden Jokowi memimpin do'a untuk korban bencana alam di Palu, Sigi, dan Donggala. Kalau video yang ditampilkan adalah video lengkap, atau setidaknya satu fragmen dimana kita dapat memahami satu atau dua gagasan utuh, tidak akan menjadi masalah buat saya. 

Nah, masalahnya video ini dipotong sedemikian rupa sehingga yang tampil adalah bagian Presiden Jokowi yang salah melafalkan   Al-fatikhah (maaf saya sendiri kurang paham bagaimana transliterasi yang benar). Maka kesan pertama penonton cuplikan video itu adalah presiden jokowi tidak bisa membaca Alquran. Saya sempat balas chat tersebut di grup.

 Saya menanyakan apa maksud membagikan cuplikan video itu, mengejek atau gimana. Sampai saya menulis ini, chat saya tersebut belum tertanggapi.

Baru keesokannya muncul postingan menarik yang membahas tentang isu "AL-FATEKA" ini. Saya langsung tertarik dan membaca sampai tuntas dan tak cukup itu, saya membacanya berulang-ulang, senang. 

Tulisan bagus berjudul Menjawab Soal Kesalahan makna "AL-FATEKA" tersebut memberikan pencerahan kepada pembaca agar kita juga instrospeksi terhadap bacaan Alquran kita karena selain membahas fonologi dan semantik kata tersebut, Ustadz Miftah juga mengajak kita untuk belajar. Namun demikian ada telaah kritis saya terhadap beberapa bagian tulisan tersebut.

Ustadz Miftah mengatakan bahwa soal aksen kita tidak boleh saling menghujat dan hina. Oleh karena itu, menurut saya kita wajib meluruskan siapapun termasuk Presiden Jokowi cara melafalkan bunyi yang salah dengan cara yang baik dan santun. 

Penggalan video itu sengaja disebar justru untuk mempertontonkan kelemahan seseorang yang hal itu sebenarnya bisa menimpa siapa saja, termasuk kita orang muslim, bahkan imam-imam di masjid sekalipun! Janganlah kita nyinyir dan mengejek-ejek beliau karena beliau juga saudara sesama muslim. Tidak bermaksud membela sang Presiden, bunyi FATEKA yang diucapkan mungkin lebih baik dari bunyi yang dihasilkan oleh saudara kita yang lain di lingkungan sekitar kita. Jujur saja, masih banyak orang disekitar kita melafalkan PATEKA. Nah. 

Barangkali kita perlu sesekali datang ke ahli Alquran untuk menguji bacaan Al-fatihah kita. Bisakah kita sekali baca langsung benar? Di YouTube, Ustadz Abdul Somad menceritakan pengalamannya belajar membaca surat Al-fatihah di Mesir. Beliau baru bisa beranjak ke surat Al-Baqarah setelah belajar membaca Al-fatihah selama 3 Bulan! 

Di kesempatan lain di YouTube (maaf saya masih mencari ulang video tersebut karena ada ratusan video yang tidak pernah saya download) Ustadz Somad juga mengatakan bahwa bacaan yang salah ada yang bersifat ma'fu atau bisa dimaafkan. Bunyi Tsa, misalnya, sering di baca dengan sa. Mengapa? Karena sistem bunyi ini tidak ada dalam bahasa kita. Bahkan dengan jenaka Ustadz Somad mencontohkan kalimat lucu. Beliau mengatakan, " Tidak akan ada bunyi Tsaya Tsuka Utstadz Tsomad" dan lansung diikuti tawa penonton.

Di bagian berikutnya Ustadz Miftah mengatakan bahwa bahasa Arab merupakan bahasa yang paling kaya makna dan paling sensitif terhadap pergeseran makna. Saya rasa, bukan hanya Bahasa Arab yang kaya makna dan sensitif terhadap pergeseran makna. Tengok saja bahasa kita sendiri (Bahasa Indonesia atau Bahasa Daerah lainnya). Ia malah lebih unik lagi.

 Betapa tidak, kita memiliki yang namanya homograf, tulisan sama bacaan dan maknanya berbeda misalnya pada kata "APEL" yang bisa dibaca berbeda dimana pertama kata tersebut dilafalkan APEL (seperti dalam PENA) yang artinya upacara, megunjungi pacar dll (lihat KBBI) dan yang kedua dilafalkan APEL (seperti dalam TEGAR) yang artinya pohon atau buah apel. 

Nah, itu baru tulisan sama saja sudah beda artinya apalagi kalau ada kekeliruan huruf dan bunyi lainnya. Tanpa bermaksud primordial, saya ingin contohkan Bahasa Jawa. Bahasa jawa memiliki kata seperti "TUTUK" dan "THUTHUK". Kedua kata ini sangat berbeda arti maupun cara pelafalannya. "TUTUK" berarti sampai sedangkan "THUTHUK" berarti pukul pakai alat.

 Bacaan/pelafalan ke dua kata ini berbeda sekali tetapi terdengar mirip bagi orang yang tidak mengenal Bahasa Jawa. Orang yang baru belajar Bahasa Jawa akan mengucapkan kedua kata itu saling tertukar, atau bahkan hanya bisa melafalkan "TUTUK" saja dengan baik sementara dia mungkin kesulitan melafalkan "THUTHUK". Mengapa demikian? Karena setiap bahasa memiliki sistem bunyi yang unik. Ada bunyi bunyi tertentu tidak dimiliki oleh bahasa lain. Ketiadaan sistem bunyi inilah yang menjadi biang kesulitan atau kesalahan seseorang dalam belajar melafalkan kata.

Bahasa Inggris pun demikian. Ia memiliki beberapa sistem bunyi yang tidak dimiliki oleh Bahasa Indonesia. Sebut saja kata Thank You, Shop, dan church. Bunyi dari kata-kata tersebut tidak terdapat dalam Bahasa Indonesia. Lebih sering kita mendengar orang mengatakan tengkyu, sop, dan cec. Tidak demikian, tidak semudah itu. Untuk mendalami cara melafalkan kata kata tersebut, kita perlu belajar simbol fonetis.

Gambar 1. Simbol Fonetik (http://www.esl-lounge.com/student/extra/phonetic-chart.php)

Simbol fonetis tidak sama dengan huruf. Perbedaannya adalah satu simbol mewakili satu bunyi sedangkan satu huruf bisa mewakili lebih dari satu bunyi. Contoh mudahnya adala huruf "e" dalam Bahasa Indonesia. "e" dapat dibunyikan berbeda seperti pada kata "erat", "ide" dan "elok".

Menutup pembahasannya Ustadz Miftah menegaskan sekali lagi bahwa aksen lokal sah dalam bahasa lain tetapi tidak dalam Bahasa Arab. Nah pernyataan ini juga yang ingin saya kritisi. Menurut saya bukan hanya Bahasa Arab saja yang demikian. Bahasa lain di dunia ini juga akan mengalami perubahan makna jika ada perubahan struktur dan pelafalan kata tersebut. Hanya tingkat kekeliruan itu perlu adanya tingkat toleransi.

Jadi, menurut saya kekeliruan pelafalan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi mengucapkan AL-FATIHAH menjadi AL-FATEKA, masih dalam taraf wajar dan dimaafkan dalam konteks orang yang belum fasih berbahasa arab/membaca Alquran. Namun demikian, tidak berhenti di situ. Harus ada yang siap memberitahukan kepada presiden terkait masalah ini guna meluruskan cara pelafalan kata tersebut dengan benar. Dari segi politik, insiden ini menjadi hal yang merugikan bagi pihak petahana. Tetapi tidak elok juga bila lawan menjadikan ini sebagai salah satu kampanye negatif karena sangat naif rasanya bila Alquran dijadikan komoditas politik. Wallahu a'lam bishawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun