Mohon tunggu...
Bekti Gojagie
Bekti Gojagie Mohon Tunggu... -

Pikiran sering lupa bahwa ada banyak ingatan dalam dirinya.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Elegi Jalan Protokol

8 Januari 2015   20:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:32 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhirnya saya memutuskan untuk ikut bingung setelah melihat dan mendengar banyaknya teman-teman dan kenalan yang mbingungi oleh sebab regulasi dan wacana terkait urusan transportasi yang membingungkan.

Kebingungan yang pertama adalah berkenaan dengan (uji coba) larangan sepeda motor untuk mengakses jalan Merdeka Barat - Thamrin, yang kabarnya akan disusul larangan untuk mengakses sejumlah jalan-jalan protokol lainnya, setidaknya 9 ruas jalan protokol di Jakarta.  Kebingungan yang kedua mak bedunduk muncul setelah terlontarnya wacana peniadakan tiket penerbangan murah. Alasannya adalah untuk mereduksi resiko kecelakaan dan sekaligus, untuk kasus yang pertama, mengurangi kepadatan lalu lintas.

Saya memutuskan untuk bingung sebab pada awalnya saya memang tidak bingung, wong saya juga tidak pernah naik sepeda motor melewati jalan Thamrin dan jalan-jalan protokol lainnya itu, dan paling mencari penerbangan murah setahun barang dua atau tiga kali saja.  Bodo amat. Tetapi justru ketidak-bingungan dan kebodo-amatan ini yang kemudian mengusik ketika bertemu dengan orang-orang yang bingung, kebingungan dan mbingungi.  Saya bertanya-tanya: Mengapa mereka bingung?  Mengapa banyak juga yang sama sekali tidak bingung? Mengapa bingung saya hanya sedikit? Apakah pemerintah tidak bingung telah membuat banyak rakyatnya bingung sementara yang tidak bingung ada yang lantas bingung - walau ada pula yang sama sekali tidak bingung - melihat banyak orang lain yang bingung?

Jika itu memang dimaksudkan untuk mereduksi resiko kecelakaan, mengapa bukan penegakkan hukum yang digeber?  Ketangkep basah naik trotoar tiga kali dicabut SIM-nya, misale.  Atau pasang CCTV di ruas-ruas jalan itu, jika pengendara motor zig-zagnya kebangeten dan overdosis, panggil utk diperingatken, dan kalau ngeyil cabu saja SIM-nya, misale lagi.  Tapi jika yang dimaksudkan adalah untuk mengurangi kemacetan, mengapa bukan mobil yang besar-besar dan isinya cuman satu atau dua orang saja yang dilarang lewat?  Mengapa tidak diberlakukan saja 3-in-1 seharian penuh? Atau kalau mau adil mengapa tidak diberlakukan saja road pricing?  Atau jatah giliran ganjil-genap?  Atau mengapa penjualan kendaraan tidak diatur disesuaikan dengan kapasitas jalan?  Misal saja, selama proses penambahan infrastruktur jalan  maka selama sekian tahun tidak ada penjualan kendaraan baru sama sekali?

Atau sekalian saja,  jalan-jalan strategis diprioritaskan untuk kendaraan umum, sepeda onthel dan pejalan kaki. Itu malah oke. Mobil dan motor sama-sama disediakan kantong-kantong parkir dengan rate yang diatur oleh pemerintah sehingga tidak terlalu mihil?  Tapi ya itu, transportasi publik harus bener-bener jos gandos. Kalau seperti sekarang ini.... transportasi publik masih memble, dan untuk tarif parkir pun diserahkan pada pengelola, lha merepotkan dan memiringkan kendil nasi para pengendara motor saja namanya. Tambah mbuang duit, tambah mbuang waktu, tambah njomplang kendile.

Kalau kek sekarang ini, paling-paling yang terjadi kemacetan berpindah. Para pemotor rame-rame nyari jalan alternatif.  Orang-orang yang biasanya masih bisa enak jalan kaki di sejumlah jalan-jalan alternatif gantian akan tergusur jatahe. Para pengendara mobil yang keluar dari garasi-garasi di ruas jalan-jalan itu juga akan ngelu boyokke.  Sementara orang-orang yang semula ngandangke mobilnya untuk dipake seperlunya saja kembali mengeluarkannya dari garasi, yang belum punya tapi punya kemampuan beli lantas akan beli mobil yang ngirit-ngirit bensine, yang tentunya akan diikuti oleh produsen untuk mbikin mobil-mobil baru yang ngirit bensine, misal saja Suzuki dengan Alto K10-nya, lalu Datsun Redi Go, atau malah-malah nanti berlompa seperti Honda yang di sono mulai ngeluarin seri N-one yang cuman 660 cc.

Atau embuh kalau maksudnya memang gitu, buat misahin jalur mobil dan motor sekaligus untuk mempercantik jalan-jalan protokol biar keliatan lumayan kinyis-kinyis.

Yang jelas banyak temen semangkin ngelu karena regulasi semacam ini. Perlu effort yang lebih keras lagi sekedar untuk rutinitas harian seperti menjemput bojo-nya yang kerja ditempat lain. Kudu muter-muter dulu. Kudu nyiapin duit tambahan buat bayar parkir.  Kudu siap bersabar untuk uyel-uyelan naik bus gratis yang patut dipertanyakan kapasitas angkutnya. Jangan-jangan nanti asal-asalan dan kembali menampilkan pemandangan bak etalase berjalan bandeng presto yang penuh dengan bejibun manusia yang sudah lama menunggu datangnya bus dan harus rela bergantungan berhimpit-himpitan.  Jika demikian terjadinya, ya berarti ada dua post tambahan pengeluaran lagi, yakni parkir dan ongkos kendaraan. Nggak jadi ngirit. Jatah uang yang disisihkan buat beli atau tukon susu bayi tergerogoti ongkos transportasi harian. Belum kalau kemudian, entah karena muter jalannya atau telat busnya sampe ke kantor lantas telat. Dimarahi. Atau dapat penilaian minus. Atau malah-malah potong gaji. Ciloko mencit namanya.

Akhirnya bagi rekan-rekan pemotor di Jakarta,  terutama yang tertib-tertib, yang dalam kerhariannya ngandalin sepeda motor demi mulai terwujudnya kesejahteraan keluarga,  bersabarlah. Ketika datang waktunya para pemimpin sepertinya sudah tidak ada lagi yang mendengar, doakanlah... kasihan, mungkin mereka tidak mengerti apa yang telah mereka perbuat...

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun