Mohon tunggu...
Enjang Sumantri
Enjang Sumantri Mohon Tunggu... lainnya -

rakyat biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Talent Scouting Sebagai Upaya Menyiasati Biaya dan Suara di Partai Politik

26 April 2016   08:16 Diperbarui: 26 April 2016   08:32 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kebutuhan Biaya dan Suara

Ada dua hal penting yang dipertimbangkan oleh partai politik dalam merekrut 'kader-kader'nya atau tokoh yang akan diusung dalam semua ajang kompetisi politik di tingkat nasional dan daerah. Partai politik seringkali mengambil jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Pertama adalah kebutuhan partai akan biaya logistik dan operasional. Kedua adalah kebutuhan partai akan perolehan suara dalam kompetisi politik.

Untuk memenuhi kebutuhan yang pertama, partai biasanya merekrut pengusaha yang mau menalangi sebagian atau seluruh pengeluaran operasional dan logistik partai minimal selama periode penggalangan dan pengamanan suara. Yang kedua adalah partai merekrut sosok yang dianggap bisa menjadi vote getter, yang biasanya selebritis (bisa dunia hiburan, olahraga dan dunia lain selain politik)

Seberapa besar popularitas kader partai yang keliling kampung sambil menenteng mesin fogging di banding seorang pemain sinetron, pelawak, pembawa acara kuis, atau artis jebolan KDI dimata masyarakat?

Seberapa besar kemampuan kader partai dalam menggalang dana dibanding pengusaha, pengacara dan orang kaya lainnya ?

Persoalan-persoalan inilah yang menyulut kegalauan para petinggi partai yang kemudian menyediakan slot ‘calon jadi’ dan ‘nomor jadi’ bagi orang yang berduit dan terkenal. Syukur-syukur dua-duanya. Dalam situasi seperti ini partai hanya jadi bus yang siapapun bisa naik asal punya kemampuan membeli tiket. Pertimbangan ideologi, platform, bla-la-bla dan seterusnya hanyalah lawak-lawakan di depan media.

Ketergesaan untuk memenuhi kebutuhan biaya dan suara tersebut mengindikasi dua hal. pertama, partai-partai politik di Indonesia memang tidak memiliki kemauan dan kepercayaan diri yang cukup untuk menyelenggarakan penggalangan dana operasional secara sehat dan melibatkan partisipasi kader dan simpatisannya. Kedua, ada masalah dalam urusan pengkaderan sehingga partai tidak memiliki kader yang layak usung.

Kaderisasi dan Talent Scouting

Kaderisasi merupakan agenda berjenjang yang bermuara pada penyematan status kader pada sesorang anggota partai. Semua organisasi, termasuk partai politik, memiliki standar yang sama dalam menyematkan status seseorang yang bergabung dengan mereka. Anggota yang telah menjalani serangkaian agenda doktinisasi atau penanaman nilai-nilai organisasi berhak menyandang status kader. Status kader juga biasanya disematkan pada anggota yang telah memegang jabatan tertentu di internal partai.

Kenaikan status seseorang dari anggota ke kader memang tidak memiliki standar waktu yang pasti. Tergantung proses dan mekanisme yang di wajibkan organisasi atau partai politik terhadap anggota tersebut. Tetapi yang pasti seorang kader biasanya fasih berbicara tentang a sampai dengan z tentang partainya karena telah melewati masa-masa internalisasi di partai tersebut.

Talent Scouting adalah agenda partai politik untuk menyiapkan kader atau sosok yang dianggap mampu memenangkan partai. Talent scouting bisa dilaksanakan dengan melibatkan kader-kader dan tokoh-tokoh diluar partai untuk menjadi sosok yang di jaring, di saring dan kemudian di usung dalam kompetisi politik yang di ikuti partai. Istilah talent scouting dalam konteks tulisan ini kurang lebih merujuk kesana.

Penjaringan para bakal calon kepala daerah untuk diusung oleh partai politik dengan membuka pintu bagi orang-orang diluar partai untuk diusung dan dimenangkan oleh partai politik, adalah salah satu contoh talent scouting yang dilaksanakan oleh partai. Para kepala daerah dan banyak anggota DPR/DPRD di Indonesia sebagian besar adalah orang-orang yang bergabung dengan partai tertentu karena momen pileg dan pilkada lewat mekanisme talent scouting.

Jokowi, Ahok, Risma, Ridwan Kamil, Yoyok Sudibyo, Eko Patrio, Nico Siahaan, Anang Hermansyah, Rachel Maryam dan banyak nama-nama lain bukanlah asli orang partai yang lahir dari mekanisme pengakaderan yang terencana dengan baik dan matang. Mereka hanya produk dari talent scouting yang dilaksanakan partai dengan standar dan ukuran-ukuran yang biasanya tidak tentu dan tidak pasti. Kalo beruntung mereka ketemu sosok selevel Jokowi, Ahok, Risma, RK dan Yoyok. Kalo sial ya ketemu sosok Ojang, An**g dan lain-lain. Masyarakatlah yang ikutan apes kalo pilihannya sosok-sosok apes.

Karena mereka tidak lahir dari mekanisme pengkaderan partai, maka sah-sah saja jika suatu saat mereka memutus kontrak dan pindah ke partai lain karena kepentingan yang sudah tidak cocok. Yah agak mirip-mirip pemain sepakbola profesional. Lihat Ahok dari G ke G, Dede Yusuf dari PAN ke Demokrat dan banyak lagi. Mereka pindah karena kepentingannya yang sudah tidak ketemu dan berhak pindah karena tidak ada kewajiban menetap sampai akhir hayat di klausul kontrak.

Talent scouting menjadi jalan pintas bagi partai politik untuk menyelesaikan ketiadaan kader yang memenuhi aspek logistik dan aspek popularitas akibat macetnya agenda kaderisasi diinternal partai akan membawa implikasi panjang. Rasa frustasi dari para kader yang dipinggirkan dan kecewa yang kemudian memilih partai lain yang lebih menjanjikan kemungkinan mendapatkan nomor jadi.

Maka tak aneh setiap ada pendirian partai baru, tak sedikit orang yang berminat bergabung. Padahal orang-orang yang bergabung biasanya adalah orang yang kalah dalam persaingan dan kompetisi di internal partai sebelumnya. Inilah yang menyebabkan konflik dan pembentukan faksi di semua partai memiliki pola yang relatif sama. Belum lagi dengan penggalangan suara antar partai yang saling tumpang tindih di satu wilayah. Partai boleh baru, tetapi orang lama.

Kenyamanan, kemurahan dan kecepatan mengatasi persoalan ketiadaan kader dan biaya membuat partai politik kecanduan menggunakan pola ini dibanding menunggu kader-kader mereka memenuhi kriteria kemampuan finansial dan kriteria tingkat popularitas. Pola talent scouting yang menjaring orang diluar partai dianggap jalan cepat untuk membawa logistik, suara dan kekuasaan ke dalam partai.

Talent scouting bukan pilihan yang salah-salah amat, yang salah itu talent scouting di laksanakan secara serampangan dan sembarangan sehingga partai politik tak lebih dari tempat berkumpulnya orang berduit yang butuh mainan baru dan artis yang butuh panggung baru. Persis hari ini. 

Jika kita merasa cukup populer dan punya logistik tak perlu kita ikut capek mengurus partai politik, tunggu saja momen menjelang pileg dan pilkada pasti ada 'ruang' buat kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun