Sebagai orang Jawa, Sudewo tak menjalankan kepemimpinannya dengan falsafah Jawa ini hingga semua jadi berantakan.  Kini walau hanya  untuk menyampaikan permintaan maaf dan menjelaskan kepada pendemo tentang pembatalan kenaikan PBB, massa langsung melemparinya dengan botol air mineral. Rakyat yang dulu memilihnya kini sudah tidak menghormatinya lagi. Media massa menstream dan online sudah menyiapkan amunisi apabila Sudewo keras kepala tetap mempertahankan jabatannya.
Kekawatiran Dari Pati Ke Seluruh Negeri
Tak mengherankan jika beberapa kalangan mengkawatirkan, jika demo besar-besaran di Kabupaten Pati ini menjalar ke seluruh negeri. Pasalnya, massa yang bergerak di beberapa kota mempunyai akar yang sama yaitu kenaikan pajak. Ironisnya  para kepala daerah yang menjadi raja-raja kecil di kabupaten/kota justru tidak mempunyai empati yang tinggi terhadap kesulitan yang dialami oleh rakyatnya sendiri.Â
Gejala keberatan masyarakat terhadap kenaikan pajak sebenarnya sudah mulai muncul sejak 2022. Tampak jelas ketika muncul hastag #stopbayar pajak yang lantas di komentari Menteri Keuangan Sri Mulyani :
"Mereka yang menyampaikan hashtag enggak bayar pajak ya berarti Anda tidak ingin tinggal di Indonesia atau tidak ingin lihat Indonesia bagus, gitu aja. Jadi tidak perlu ditanggapi"Â (Antara,19 Juli 2022)
Suara-suara ini sebenarnya merupaakan indikasi awal dari suara rakyat yang menangkap gejala kenaikan pajak di Indonesia. Ketika ini terjadi di masyarakat menengah ke bawah, maka mulailah suara itu semakin bergaung semakin keras. Apalagi disampaikan oleh pejabat yang tak mempunyai empati.
Guru besar kajian Asia  Universitas Melbourne  , Vedi R Hafid yang mengungkapkan meski sistemnya desentralisaasi, ternyata di Indonesia justru memunculkan raja-raja kecil di daerah yang dalam membuat kebijakan dan gaya kepemimpiannya mereplikasi pemerintah pusat (Kompas TV,14 Agustus 2025). Jadi ini adalah kesalahan sistemik yang saling kait mengkait antara pusat dan daerah. Maka sangat logis jika berbagai kalangan mengimbau agar pemerintah pusat mengawasi kebijakan pemerintah daerah yang tidak pro rakyat.
Wahyu Media Askar dari Celios mengungkapkan hal yang sama. Pemangkasan anggaran dari pusat membuat daerah tidak mempunyai uang. Menurutnya sistem perpajakan kita sangat regresif dan tidak adil. Negara telah gagal mengumpulkan pajak dari orang kaya dan super kaya.
Tak dapat dipungkiri bahwa kenaikan pajak yang tak masuk akal adalah penyulut demo di beberapa daerah seperti Jombang, Banyuwangi, dan Cirebon. Pemerintah terkesan terburu-buru meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang cepat agar citra di hadapan masyarakat baik. Sayangnya, bukannya tajam ke atas malah tajam kepada kalangan akar rumput. Beberapa contoh bisa kita lihat di  beberapa kasus :
"Pensiunan yang sudah lansia tiba-tiba di tagih PBB-nya dari 6,2 juta rupiah naik menjadi 62 juta rupiah. Kekecewaaan juga ditunjukkan warga Jombang yang membayar pajak dengan uang koin receh dalam galon gara-gara PBB-nya naik dari 400 ribu rupiah menjadi 1,2 juta rupiah. Belum lagi seorang buruh jahit di Pekalongan tiba-tiba dikejutkan dengan tagihan pajak sebesar 2,9 miliar rupiah karena identitasnya dipakai oleh sang bos untuk mengelabui petugas pajak."
Gara-gara banyaknya kepala daerah yang buru-buru menaikan PBB, maka trend kesalahan yang sering terjadi adalah  : salah sasaran, salah tagihan, dan salah ngomong di kalangan pejabat. Tentu ini akan mempunyai  akibat fatal. Ibarat siapa menebar angin, akan menuai badai, jika kebijakan fiskal ini tetap dilanjutkan, tentu setiap pejabat sudah tahu risikonya.