Mohon tunggu...
wirdan bazilie
wirdan bazilie Mohon Tunggu... -

Menulis untuk mengisi waktu luang bisa dihubungi di @beanbazilie Insyaallah akan ada tulisan baru setiap hari Sabtu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Ibadah Kerinduan

21 Oktober 2017   10:12 Diperbarui: 21 Oktober 2017   10:39 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

            Hari hujan merintik-rintik menyapa pagi di kota kita. Mereka datang bersama parade awan kelabu yang rapat. Suasana gelap ini mengingatkanku pada matahari yang sering membangunkanmu dari mimpi-mimpi malam yang tak pernah usai, kilatan peristiwa yang begitu tanggung untuk dijadikan sebuah cerita yang utuh, yang dapat kau susun dan kau cetak menjadi novel best seller, seperti buku-buku dari penulis maistream di rakmu. Benar kan?

            Aku tahu, kau tentu akan langsung terjaga ketika gerimis ini membawa udara dingin dari langit seraya mulai membasahi kota kita dengan anggun. Sekarang beberapa tetesnya sedang mengetuk atap rumah mungilmu yang masih bertahan di antara ribuan gedung bertingkat, yang kaca-kaca jendelanya begitu angkuh. Tapi apa urusanmu kan? Kau tetap saja mendambakan sebuah kota yang ramah bagi iklim tropis.  Padahal, itu mustahil terjadi. Haha.

            Sudah menjadi keniscayaan jika kau tidak akan melewatkan  anugrah alam seperti ini. Walau kebanyakan manusia sering kali salah paham dengan menganggapnya sebagai mantra untuk kembali mengecup bunga tidur. Kau tetap mengaguminya lebih dari siapa pun yang kukenal.

            "Ini adalah sebuah ibadah," katamu suatu kali. Masih jelas di benakku; kau duduk di berandamu ini dengan secangkir kopi dan kretek buatan sendiri. Kau begitu rakus menghirup bau rumput yang bercampur dengan oksigen dalam udara kota kita. "Menikmati asap tembakau dan kopi hitam dalam tenangnya suasana hujan yang merintik, yang tak disertai dengan angin keras atau petir yang saling menyaut adalah caraku bersyukur kepada Tuhan." Ah, aku terkenang saat-saat kau menutup matamu dengan ikhlas.

"Kerinduan." Begitu katamu kala aku bertanya tentang apa yang kau rasakan. "Mereka membawa kerinduan dari tempat yang sangat jauh, yang tak bisa didengar, hanya bisa dirasakan dan nanti akan mewujud menjadi asap yang aku hembuskan." "Kata-kata itu terlalu sendu untuk lelaki sepertimu," balasku waktu itu. Tapi, kau membiarkan kita tenggelam dalam sepi yang memuakkan.

            Aku pernah berusaha mengerti tentang rindu itu sebenarnya, yang katamu datang dari tempat yang jauh. Tapi tak kutemukan sesuatu yang menakjubkan pun di sana. Apakah artinya aku tak pernah dirindukan seseorang? Atau aku yang tak pernah merindukan sesorang? Kau hanya menjawab entahlah. "Kau minum kopi, aku minum coklat panas, kau merokok, dan aku tidak. Apa ini sebabnya?" kejarku padamu. Katamu "Bukan, bukan itu, kita punya cara masing-masing untuk meresapi hujan." Percakan seperti itu pun akhirnya tak pernah muncul lagi. Aku menemui jalan buntu.

Kau tidak pernah meninggalkan rumah sampai gerimis seperti ini berakhir kan? Bahkan, kau rela untuk menukarnya dengan UAS yang menurutku lebih penting "Masih banyak kenangan untuk dikenang," sanggahmu. "Sebanyak apakah kenangan yang kau punya? Bahkan seingatku kau tak pernah menceritakan satu pun padaku." Aku sangat gusar waktu itu. Kamu hanya terseyum dan menjawab "Kenangan ada tidak untuk diceritakan. Hanya untuk dikenang, cukup, itu saja." 

"Ah, klise. Jadi, gerimis ini membawamu ke kerinduan pada masalalu?" Aku mulai muak. "Ya... begitulah." Dan aku menyerah padamu, aku tak mempedulikan caramu memperlakukan gerimis ini dan memilih memainkan ponselku untuk berselancar di dunia internet. Sibuk dengan dunia yang diciptakan manusia. Berhenti untuk mengartikan kebiasaan anehmu itu.

Tapi sekarang. Aku mengerti, aku sangat mengerti bagaimana caranya menikmati gerimis seperti ini. Menikmati gerimis yang menyapa pagi di kota kita. Membahasakanya menjadi makna yang berarti rindu. Menjadikannya semacam tempat indah bertemu kenangan. Hujan itu telah menjelma kau sekarang. Ya, setelah melihat jiwa dari ragamu tiba-tiba terpisah kala gerimis di bulan Desember, aku dapat menikmati kerinduan dari tempat yang jauh. Sayangnya aku tak pernah tahu, siapakah yang engkau rindukan itu? Ah, sudahlah, semoga di surga nanti, kita dapat meminta gerimis yang abadi. Tuhan, apakah rinduku juga adalah ibadah?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun