Mohon tunggu...
Bayu Wira Pratama
Bayu Wira Pratama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Saya adalah seseorang yang terus mencari identitas dan belajar untuk terus belajar. Sangat menghargai pengetahuan, apalagi ketidaktahuan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kemacetan? Nggak Ngaruh!

17 November 2022   09:46 Diperbarui: 17 November 2022   10:07 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kemacetan di sekitar Taman Pelangi, diambil dari atas JPO. dokpri

"Aku memang terjebak dalam kemacetan, tapi aku memilih untuk tidak merasakannya."

Aku adalah mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya yang kini berdomisili di Sidoarjo. Dari hari Senin hingga Jum'at, aku menempuh perjalanan ke kampus sejauh 15 km, begitu pun sebaliknya. Untuk menuju ke kampus, aku hanya tinggal menyusuri Jalan Raya Surabaya-Malang.

Sebenarnya, 30 km bolak-balik ditempuh menggunakan sepeda motor bukanlah pokok permasalahan. Aku dapat mencapai kampus hanya dalam waktu sekitar 30 menit saja. Tapi, akan terus membengkak apabila...Apabila...

Aku berangkat ke kampus pada pagi hari, kurang lebih pukul 7. Waktu yang seolah-olah ditakdirkan untuk suatu keniscayaan. Ya: Kemacetan.

Berdasarkan pengalaman pribadi selama setahun lebih (dan masih akan terus berlangsung, membuatku teringat "Keberulangan Abadi" Friedrich Nietzsche), biasanya titik kemacetan terburuk terjadi di Bundaran Aloha hingga Jembatan Layang Waru. Di Surabaya, kepadatan terjadi di Bundaran Taman Pelangi. Ini cukup membuatku kesal, memang.

Tapi, aku menyadari, aku akan mengalaminya berulang-ulang, esok hari aku akan melewati jalan yang sama dengan kemacetan yang sama, atau bahkan setahun lagi aku tetap akan melewati jalan yang sama dengan (mungkin) kemacetan yang sama. Ini membuatku...Menerima. Tidak, tidak, tak mungkin aku mencintainya. Menerimanya sudah cukup.

Karena aku menyadari dengan betul aku tak dapat merubah situasi, kekesalanku tidak lantas membuat jalanan menjadi lengang, kuputuskan untuk mengendalikan emosi dan persetujuanku, seperti yang diajarkan oleh Kaum Stoik. Aku secara jasmaniah tentu sedang terjebak kemacetan, tapi batinku memilih untuk tidak merasakan atau mengalami kemacetan.

Ketika aku berada di tengah kemacetan, aku biarkan pikiranku melanglangbuana semaunya. Aku berpikir tentang berbagai hal, mulai dari bagaimana memulai hari dengan baik, mengapa dalam sejarah Islam masih banyak terjadi pendistorsian, menghubungkan titik-titik antara filsafat dengan anime yang kutonton semalam, hingga apa yang akan kukerjakan terlebih dahulu jika aku menjadi presiden. Tanpa kusadari, aku tak lagi mengeluhkan keadaan, tak acuh, atau mungkin kasarnya...Kehilangan kesadaran? Tetiba saja aku telah sampai di Gang Lebar Wonocolo dan hanya beberapa ratus meter lagi mencapai kampus.

Jika aku malas untuk berpikir, aku memilih untuk bernyanyi. Tentu, nyanyianku sangat merdu jika hanya ditujukan pada diriku sendiri. Walaupun tak mengerti artinya secara keseluruhan, paling tidak aku paham terkait makna lagu yang kunyanyikan, karena aku lebih menyukai lagu-lagu Jepang ketimbang lokal (Imbas dari seringnya menonton anime, tentu saja!). Lagu-lagu yang paling kukuasai dan akhir-akhir ini kusukai adalah Kumorizora no Mukou wa Hareteiru (22/7), Sun is Coming Up (Asaka), hingga Shin Jidai (Ado). Oh, ya, termasuk KICK BACK (Kenshi Yonezu) yang menjadi opening music-nya Chainsaw Man juga membuat candu. Tentu saja, jika kondisiku benar-benar dalam mode religius, aku melantunkan ayat Al-Qur'an dengan nada ala Imam Haramain (aslinya aku juga bingung sebenarnya aku menggunakan nada apa, tapi kurasa mirip dengan nada Imam Haramain, walau persentasenya hanya 5%) atau menyenandungkan sholawat. Paling tidak, aku memilih untuk enjoy, alih-alih menggerutu yang sia-sia.

Alternatif lain, aku mengingat-ingat kenangan berwisata ke berbagai tempat di penjuru Jawa bersama keluargaku, memakan makanan lezat di berbagai restoran, menjelajahi Banjarbaru seorang diri, hingga megahnya gedung pencakar langit di Jakarta. Aku juga membayangkan pergi ke luar negeri, menonton Piala Dunia di Qatar, merasakan hawa panas menyengat di depan Piramida, mencapai puncak tertinggi Burj Khalifa, tertidur di bawah pohon rindang di tengah lautan rerumputan dengan kesejukan Alpen di Swiss, hingga berkuliah di Turki dan peluang mendapatkan pujaan hati di sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun