Dalam keheningan malam atau di tengah riuh kesibukan sehari-hari, pernahkah kita bertanya: "Bagaimana aku tahu bahwa aku akan hidup esok hari?" Pertanyaan ini, meskipun tampak sederhana, sesungguhnya menggugat seluruh fondasi keyakinan manusia tentang hidup, waktu, dan makna. Pertanyaan itu menelanjangi harapan kita yang terlalu mudah percaya bahwa esok adalah milik kita, seolah hidup ini dapat diukur, dijadwalkan, dan dijamin.
Sebagian besar dari kita menjalani hari dengan mengandaikan keberlanjutan. Kita membuat rencana untuk minggu depan, bermimpi tentang masa depan yang jauh. Akan tetapi, pertanyaan tersebut menampar lembut wajah kepastian yang kita bangun. Menegaskan bahwa hidup adalah ketakterdugaan, dan bahwa kepastian itu hanyalah ilusi yang kita ciptakan agar hidup terasa aman.
Epistemologi sebuah cabang filsafat yang membahas hakikat pengetahuan pertanyaan ini menyentuh inti dari apa yang dapat disebut "diketahui".
Pengetahuan yang sah biasanya diperoleh dari pengalaman, logika, atau kesaksian. Namun hari esok, secara definisi, belum terjadi. Karena itu, tidak bisa menjadi objek pengalaman, dan tidak dapat dibuktikan secara logis sebagai kepastian.
Sosok filsuf besar, David Hume pernah mengingatkan bahwa manusia terlalu bergantung pada kebiasaan berpikir. Kita menyimpulkan bahwa sesuatu akan terjadi hanya karena ia selalu terjadi sebelumnya, seperti fenomena kausal dalam hidup. Kita mengira matahari akan terbit esok karena ia terbit hari ini. Kita mengira kita akan bangun pagi karena malam ini kita tertidur. Padahal, tak ada alasan logis yang menjamin bahwa hal-hal itu pasti akan berulang.
Dunia ilmu pengetahuan sekalipun, masa depan tidak pernah bersifat mutlak. Stephen Hawking pernah berkata, "The greatest enemy of knowledge is not ignorance, it is the illusion of knowledge." Â Kita sering mengira bahwa hidup kita akan terus berlanjut karena pola-pola masa lalu, padahal itu hanyalah proyeksi tanpa jaminan. Wilayah probabilitas, bukan kepastian. Fisika modern bahkan mengakui ketidakpastian sebagai bagian hakiki dari realitas. Dalam dunia kuantum, ketidakpastian bukanlah kelemahan pengetahuan, melainkan sifat dasar dari keberadaan itu sendiri.
Jika kita melangkah lebih jauh ke dalam wilayah eksistensialisme, Albert Camus, memandang manusia sebagai makhluk yang dilempar ke dalam dunia yang absurd, tanpa jaminan, dan tanpa pengetahuan yang pasti tentang apa pun, termasuk masa depan. Martin Heidegger dalam karyanya Being and Time menjelaskan bahwa eksistensi manusia (Dasein), being-toward-death, keberadaan yang selalu mengarah ke kematian. Artinya, kesadaran akan kemungkinan tiadanya hari esok justru merupakan ciri eksistensial manusia yang otentik. Kita bukan hanya makhluk yang hidup, tetapi makhluk yang menyadari bahwa hidup bisa berakhir kapan saja. Maka, hidup kita selalu berada dalam ketegangan antara kemungkinan dan kefanaan.
Jean-Paul Sartre bahkan menambahkan bahwa kita "dikutuk untuk bebas" dalam dunia yang absurd ini. Kita tidak memiliki panduan pasti, tidak ada jaminan metafisik yang bisa menjawab apakah kita akan hidup esok hari. Maka, dalam kebebasan itulah kita memilih untuk terus hidup, terus berharap, dan terus mencipta makna, atau memilih untuk menjadi nihilis.
Jika dari sudut pandang filsafat pasti akan terus mempersoalkan kepastian, sedangkan agama memberikan cara pandang yang berbeda. Iman tidak selalu menjawab dengan logika, bukan berarti anti-rasional, tetapi menawarkan ketenangan dalam ketidakpastian. Misalnya, terdapat doa: "Janganlah Engkau biarkan aku sendiri walaupun sekejap mata."Keyakinan religius, esok bukan hak, melainkan karunia. Tidak tahu apakah kita akan hidup esok hari adalah bagian dari kerendahan hati manusia di hadapan kekuasaan yang lebih besar dari dirinya.
Pertanyaan tentang hidup esok hari mengajarkan kita satu hal penting; bahwa hidup bukan tentang kepastian, melainkan tentang kesadaran. Kita hidup bukan karena tahu apa yang akan terjadi, tetapi karena kita memilih untuk memberi makna pada setiap hari yang ada. Sren Kierkegaard menyebut bahwa "Life can only be understood backwards, but it must be lived forwards." Dalam ketidaktahuan tentang esok, kita belajar untuk lebih hadir hari ini.