Yah, kita perlu akui bahwa naluri seorang mantan "aktivis kampus" tentunya mempunyai ambisi dan keinginan untuk memajukan kampungnya selesai berkuliah. Mereka-mereka ini dibebankan dengan label agent of change (agent perubahan) dan agent of control (agen pengontrol).Â
Kehadiran jebolan aktivis kampus biasanya memberi warna tersendiri dimanapun ia hidup dan beraktivitas. Walaupun sampai detik ini banyak sekali aktivis kampus yang bingung hendak berbuat apa dikampungnya, tapi bisa dipastikan aktivis yang kebingungan ini mengalami tekanan dan gejolak batin tensi tinggi ketika melihat kampungnya yang tidak memiliki perubahan sama sekali.
Untuk mantan aktivis yang kehidupannya di Kota Mataram, persoalannya menjadi cukup kompleks. Kadar apatisme masyarakat adalah persoalan yang cukup berat untuk berbicara pembasisan rakyat yang terorganisir.Â
Walaupun kota Mataram merupakan tempat transit kaum intelektual dari berbagai penjuru daerah untuk menimba ilmu, ditambah lagi dengan akses birokrasi pemerintahan yang mudah dijangkau. Namun tetap saja tolak ukur keberhasilan para aktivis kampus asli kota mataram masih terlalu kabur dan tidak memiliki konsep serta arah yang jelas.Â
Karang taruna di wilayah Mataram seperti hidup segan mati tak mau, remaja masjid hanya berbicara acara momentuman, kelompok masyarakat sulit bergerak, belum lagi ditambah tuntutan keluarga yang harus bekerja dan menikah hehee.
Persoalan-persoalan inilah yang kemudian membuat aktivis di mataram buntu dan kemudian mengibarkan bendera kuning tanda menyerah. Semoga saja aktivis tak mempunyai pemikiran siklus hidup standar (SD-SMP-SMA lalu kuliah, bekerja, nikah, punya anak dan masuk surga).
Lantas..??
Kelemahan mendasar yang kerap dilakukan pasca mahasiswa adalah tidak terhubungnya aktivis yang satu dengan aktivis yang lain walaupun berada pada satu kota, sebut saja kota Mataram.Â
Aktivis tercecer di masing-masing kampung dan jarang sekali berkomunikasi. Padahal jika aktivis bersinergis dalam satu kota, paling tidak sharing hal-hal kritis dapat terus dilakukan untuk menjaga jiwa tetap merah ceileeehh.Â
Yok ayokk, mulai dihitung beberapa kekuatan pasukan aktivis di mataram, deteksi lagi di mana titik-titiknya dan kemudian membuat jadwal pertemuan rutin paling tidak 1 bulan sekali.
Tapi perlu diingat, sekritis apapun aktivis saat di kampus dulu, apabila sudah kembali menjadi masyarakat, pasti akan berbicara pertahanan hidup.Â
Seiring dengan bertambahnya usia dan tuntutan keluarga, urusan isi perut dan pekerjaan tak dapat dikesampingkan. Ia akan terus hadir dan menghantui para aktivis di masyarakat. Urusan isi perut ini seharusnya bisa menjadi obrolan bersama agar dapat terjawab oleh aktivis yang hidup pada satu kota.Â
Tentu aktivis memiliki kejelian dan daya jangkau berpikir yang luas, kelebihan ini seharusnya mampu dimajukan dalam bentuk obrolan bersama untuk melihat peluang apa yang bisa dilakukan agar menjawab kebutuhan ekonomistik kawan-kawan aktivis sendiri dan barang tentu target memajukan masyarakat harus diselipkan didalamnya (satu kerja dua laba).Â
Banyak hal yang bisa diperbuat, mengkonsep kan industrialisasi masyarakat kampung di kota Mataram, membentuk warung kopi, ataupun hal-hal lain sesuai dengan kondisi ekonomi-politik yang ada.
Dari mana kita melangkah dan kapan kita mulai melangkah tentu anda anda yang lebih paham. Ingatlah, setiap anak zaman harus bertanggung jawab terhadap zamannya dan juga zaman ke depannya. Salam hormat untuk para comandante.