Mohon tunggu...
Muhammad Bayu Arrasya
Muhammad Bayu Arrasya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlangga

Merupakan seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga yang memiliki minat dan ketertarikan yang tinggi terhadap isu-isu internasional khususnya di kawasan Indo-Pasifik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

ASEAN dan Dilema Laut Cina Selatan

22 Mei 2023   19:45 Diperbarui: 23 Mei 2023   08:23 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi resmi membuka KTT ASEAN ke-42. Sumber: BPMI Setpres/Laily Rachev 

Konferensi Tingkat Tinggi Association of Southeast Asian Nation (KTT ASEAN) ke-42 yang diketuai Indonesia telah rampung dilaksanakan. Pertemuan tahunan para pemimpin negara anggota ASEAN tersebut dilangsungkan selama 2 hari sejak 10-11 Mei 2023 dengan mengambil lokasi yang termasuk dalam destinasi super prioritas Indonesia yakni Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur. 

Para pemimpin dan delegasi disuguhi pemandangan indah hamparan laut Flores yang memesona sembari membincangkan isu-isu yang menjadi tema keketuaan Indonesia pada ASEAN tahun ini, yaitu ASEAN Matters: Epicentrum of Growth yang bertalian kuat terhadap isu ekonomi. Namun, di sisi lain pertemuan tersebut tentu saja mengetengahkan masalah yang hingga saat ini tak kunjung usai, yakni krisis politik dan kemanusiaan di Myanmar hingga eskalasi konflik dan rivalitas di Laut Cina Selatan.

Laut Cina Selatan, suatu kawasan perairan yang kaya akan sumber daya ini telah menjadi wilayah konflik dan ketegangan manakala Tiongkok dengan Nine-Dashed Line (Sembilan Garis Putus) melakukan klaim sepihak pada sebagian besar wilayah perairan tersebut atas dasar alasan historis China’s Traditional Fishing Ground (Zona Penangkapan Ikan Tradisional Tiongkok). 

Presiden Jokowi resmi membuka KTT ASEAN ke-42. Sumber: BPMI Setpres/Laily Rachev 
Presiden Jokowi resmi membuka KTT ASEAN ke-42. Sumber: BPMI Setpres/Laily Rachev 

Klaim tersebut tentu saja bertentangan dengan hukum internasional yang berlaku dimana Tiongkok sendiri telah meratifikasinya, yakni United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang tidak mengenal konsep Traditional Fishing Ground.

Reaksi pun timbul dari sebagian besar negara anggota ASEAN, seperti Filipina, Malaysia, Viet Nam, Brunei Darussalam, Thailand dan Indonesia, karena wilayah lautnya bersinggungan langsung dengan sembilan garis putus tersebut.

Namun, Tidak seperti halnya dalam menghadapi konflik di Myanmar, dimana hanya selang beberapa bulan setelah kudeta militer terjadi para pemimpin ASEAN telah mencapai kesepakatan yang tertuang dalam Five Point Consensus, dalam menghadapi konflik di Laut Cina Selatan selama ini ASEAN dipandang tidak memiliki cukup keberanian dan ketegasan. 

Padahal berbanding dengan konflik di Myanmar, konflik di Laut Cina Selatan ini telah lama terjadi dan melibatkan sebagian besar daripada anggota ASEAN itu sendiri. Banyak pihak yang menilai bahwa hal tersebut terjadi karena konflik ini sarat akan kepentingan yang berbeda dari masing-masing negara ASEAN yang kemudian diperparah oleh rivalitas antar kekuatan besar dunia yang tidak ingin kehilangan hegemoninya di kawasan.

Situasi tersebut mengingatkan penulis pada pernyataan yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri RI, yakni Abdul Kadir Jailani pada saat beliau sedang memberikan kuliah tamu di Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Lalu penulis menanyakan perihal konflik Laut Cina Selatan yang tak kunjung usai tersebut, sontak beliau menjawab dengan satu kata yaitu “rumit”.

Peta wilayah konflik Laut Cina Selatan atas klaim nine-dashed line (sembilan garis putus). Sumber: CNN Indonesia/Fjrlan
Peta wilayah konflik Laut Cina Selatan atas klaim nine-dashed line (sembilan garis putus). Sumber: CNN Indonesia/Fjrlan

Kemudian beliau memaparkan bahwasannya persoalan Laut Cina Selatan berkembang sesuai dengan perkembangan hukum laut internasional. Pada awalnya konflik tersebut hanya menyangkut Tiongkok, Viet Nam dan Filipina saja. Namun, seiring berkembangnya UNCLOS maka semakin berkembang pula negara yang terlibat, termasuk Indonesia. Hal ini terjadi karena UNCLOS sendiri tidak mengatur mengenai kepemilikan suatu pulau, dimana hak-hak maritim hanya ada jika terdapat pulau. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun