Mohon tunggu...
Bayu Adi
Bayu Adi Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Cogito Ergo Sum

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Review Buku: Islam, Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas

28 Oktober 2020   23:36 Diperbarui: 30 Oktober 2020   15:33 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Review pada objek fokus tentang buku "Islam, Kepimpinan Perempuan, dan Seksualitas" karya Neng Dara Affiah, akan penulis jabarkan menjadi tiga bagian dengan masing-masing ialah: Bab 1: Islam dan Kepemimpinan Perempuan, Bab 2: Islam dan Seksualitas Perempuan dan Bab 3: Perempuan Islam dan Negara

Bab 1: Islam dan Kepemimpinan Perempuan

Di awali dari Bab 1 dimana membahas tentang kesetaraan yang di dalamnya terdapat perdebatan antara kepemimpinan oleh laki-laki dan perempuan. Beberapa alasan kenapa laki-laki selalu bisa menjadi pemimpin ialah karena laki-laki adalah qowwam. Qowwam dalam sifatnya tradisional ialah pemimpin. Dengan pernyataan ini di Al-Quran (An-Nisa:34) hal ini menjadi syarat mutlak laki-laki untuk bisa memimpin. Selain itu, laki-laki mempunyai kekuataan dan kekayaan yang mampu menghidupi perempuan. Jika dimaknai secara lebih teliti, apalagi di era modern ini, kata qowwam mempunyai arti yang relatif seperti penanggung jawab, memiliki kekuasaan, pemimpin, penguasa dan kelebihan atas yang lain. Pernyataan ini relatif karena tergantung dari individunya kembali. Pernyataan ini didukung oleh Q.S Al-Baqarah: 30, dimana Allah menciptakan manusia untuk menjadi pemimpin. Kata manusia ini merujuk pada laki-laki dan perempuan. Jadi, perdebatan ini lebih ke arah orang-orang tradisional dan konservatif dimana mereka tidak bisa menghadapi perubahan zaman atau istilahnya tidak siap. Padahal Al-Quran dibuat selengkap mungkin untuk mengatur manusia dalam berkehidupan dan siap di segala situasi zaman.

Jika merilik kembali terhadap realita tersebut, sangat disayangkan bahwa perdebatan ini memunculkan stigma negatif terhadap perempuan. Padahal di muka bumi ini, perempuan jumlahnya lebih banyak daripada laki-laki. Kenapa laki-laki dan perempuan tidak saling memotivasi agar mereka bisa menjadi pemimpin pada suatu tertentu? Bukankah hal ini lebih berguna dibanding melakukan perdebatan yang tiada habisnya? Padahal sudah jelas tersebut, bahwasannya manusia diciptakan oleh Allah untuk menjadi pemimpin.

Satu hal fakta yang terungkap ialah majunya Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden kelima di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Banyak pro dan kontra ketika beliau menempati kekuasaan tertinggi tersebut di negara ini. Salah satunya ialah berasal dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang tidak setuju Megawati menjadi Presiden. Pada saat itu, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menang dalam pungutan suara yang diselenggarakan melalui pemilu yang demokratis. Dibalik itu, Megawati merupakan anak dari Presiden Pertama Indonesia, yaitu Soekarno. Dengan hal ini, mengundang simpatisan rakyat bahwa diyakini Megawati akan sesukses "Bung Karno". Bapakisme menjadi hal penting juga dimana Megawati akhirnya dilirik oleh rakyat Indonesia, sehingga Megawati menang dalam pemilu yang demokratis tersebut.

PPP mengemukakan bahwa "tidak boleh presiden perempuan". PPP akan memilih 'putra' terbaik, bukan 'putri' terbaik. Alasan lain kenapa isu gender ini langsung muncul dikarenakan beberapa faktor yaitu kekecewaan terhadap kualitas diri dan keraguan pada visi Megawati, didasarkan pada teologis (ayat-ayat) dan anggapan bahwa negara ini tidak akan kuat. Bahwasannya, hal ini yang mendorong sekali bahwa perempuan tidak pantas untuk menjadi pemimpin. Megawati memiliki visi dan misi yang jelas, yang nantinya akan meyakinkan rakyatnya bahwa ia sebagai perempuan pantas memimpin Indonesia ini. PPP berpatokan bahwa pemimpin harus laki-laki didasarkan pada ayat yang tadi dan apa yang mereka tangkap itu secara subjektif. Maksudnya, mereka mengambil kesimpulan yang mengubah arti sesungguhnya dari ayat tersebut. Padahal sudah jelas di Al-Quran, Allah menciptakan manusia menjadi pemimpin. Dengan ayat ini, sudah jelas bahwa siapa saja bisa menjadi pemimpin. Yang terakhir ialah, perempuan dianggap sebagai kaum yang lemah sehingga muncul anggapan bahwa negara Indonesia nantinya tidak akan kuat. Merilik apa yang terjadi di masa lalu, perjuangan perempuan tidak kalah gigih dengan apa yang dibilang. Emansipasi wanita merupakan tonggak tertinggi bagi perempuan untuk mengenyam bangku pendidikan, bekerja, dan bisa setara dengan laki-laki. Ini menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan sama dan bisa melakukannya secara bersama-sama. Contohnya saja dalam kursi pemerintahan, dimana banyaknya laki-laki dibanding perempuan. Seharusnya, dengan apa yang sudah dijelaskan, kedudukan mereka bisa sejajar. Sama halnya dengan anggapan dibelakang laki-laki hebat dan tangguh, ada perempuan kuat dan sabar yang mendukungnya.

Di akhir Bab 1, sosok kartini menurut Penulis Neng ialah neneknya sendiri. Itulah mengapa pada bagian ini diberi judul "Kartini yang Terkuburkan". Maksudnya disini ialah bahwa perjuangan-perjuangan perempuan untuk menjadi apa yang bisa laki-laki lakukan seperti mengenyam pendidikan, bekerja, dan menjadi wakil di pemerintahan bukan hanya dilihat melalui nama-nama besar seperti Kartini saja, melainkan banyak sekali perempuan yang tidak terekspose namanya padahal ia sudah melakukan apa yang Kartini lakukan untuk menujukkan bahwa perempuan setara dengan laki-laki dan perempuan itu kuat dan bisa seperti laki-laki.

Bab 2: Islam dan Seksualitas Perempuan

Selanjutnya beralih ke bab 2. Awal bab ini membahas tentang perkawinan dan dilihat melalui berbagai perspektif agama yaitu Islam, Kristen dan Yahudi. Salah satu fungsi perkawinan ialah untuk menciptakan ketentraman dan kedamaian antara dua orang anak manusia; laki-laki dan perempuan pada suatu ikrar atau janji suci atas nama Tuhan. Pada janji tersebut terungkap bahwa keduanya akan saling merajut kasih, saling melindungi, saling memelihara dan saling menyayangi. Dalam Islam, peristiwa ini disebut sebagai ijab-qabul. Dalam katolik, menyebutnya sebagai sakramen perkawinan, yakni perayaan iman dengan menggunakan simbol-simbol tertentu untuk menunjuk kehadiran Tuhan pada saat peristiwa itu berlangsung. Persoalannya ialah bagaimana untuk menjaga ketentraman tersebut?

Jika dilihat kembali melalui perspetif agama Islam, bahwa perempuan hanya diposisikan sebagai "penjaga" dimana perempuan harus berdiam diri rumah dan ataupun mau keluar rumah, itupun harus dalam keaadan darurat seperti memenuhi kebutuhan yang dilengkapi dengan memelihara kesucian dan menjaga kehormatan seperti memakai jilbab dan hijab. Pernyataan tadi, sesuai dengan pandangan agamawan konservatif yaitu Q.S Al-Azhab/33:73. Padahal realita dari ayat tersebut tidak demikian. "dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang terdahulu" merupakan isi dari Q.S Al-Azhab/33:73. Makna ini jika dilihat dari di era sekarang ini ialah bahwa ini situasional. Maksudnya ialah lebih baik perempuan di rumah dikarenakan jika ia keluar banyak kejahatan akan menimpanya karena pemikiran orang-orang pendek seperti perempuan itu lemah dan menjadi objek kebutuhan nafsunya saja. Perempuan boleh keluar rumah, dengan pakaian yang sopan dan tidak memancing keberadaan orang-orang pendek tersebut. Hal tersebut yang seharusnya dimaknai oleh masyarakat, karena jika terus menggunakan perspektif bahwa perempuan dilarang kemana-mana ataupun tugasnya hanya sebagai istri dan ibu yang hanya mengayomi suami dan istrinya, merupakan hal yang jelas dimana perempuan mengalami diskriminasi.

Sama halnya dengan perspektif agama Katholik, dalam Efesus: 22 dan Korintius 1 11:7-9 yang bermakna sampai sekarang bahwa perempuan (istri) di rumah sebagai pelengkap suami seperti halnya seseorang jemaat yang mematuhi yesus. Pandangan ini sangat mempengaruhi keberadaan perempuan di kalangan umat katholik. Perempuan tidak memiliki kemerdekaan dan kebebasan atas dirinya sendiri serta peran yang seharunya perempuan inginkan. Hal tersebut dimaknai bahwa istri harus ikut suami sudah menjadi budaya bahkan implementasinya juga ada di Indonesia. Seharusnya, pandangan ini harus diubah dimana keinginan perempuan juga tidak bisa dipaksakan sebagai ciptaan makhluk Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun