Mohon tunggu...
Bayu Samudra
Bayu Samudra Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Semesta

Secuil kisah dari pedesaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kastaku Bukan Pembatas Prestasiku

18 Juli 2020   05:30 Diperbarui: 18 Juli 2020   05:21 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Dua puluh satu tahun lalu, aku lahir ke dunia ini. Menapakkan kaki dan berharap jadi penguasa di tanah pertiwi. Sayang, aku bukanlah bangsawan apalagi kesatria. Aku keluar dari rahim keluarga buruh tani yang dalam agama Hindu disebut kaum sudra. Miskin dan terhina. Itulah statusku. Kaum bawah yang dilarang mendongak ke atas. Aku menyadari tentang kedudukanku, bukan dari orang berada dan hanya seorang calon petani atau buruh tani. 

Ayahku berpesan, "Masa depanmu harus cerah, jika tidak, kau akan sama dengan ayah. Sekarang kau menyandang status calon petani atau buruh tani." Ayahku meneteskan air mata. "Untung masih calon petani," pikirku, "jadi ada peluang dan kesempatan bagiku menjadi orang besar nanti."

Ayahku adalah penyemangatku.

Ia banting tulang untuk menyekolahkan diriku. Ia tak ingin anaknya mewarisi kemiskinannya. Usaha apa pun akan ia lakukan demi tumbuh kembang anaknya. Keterbatasan biaya memaksaku bersekolah di SD Inpres dekat pasar Mayang. Meski berasal dari keluarga miskin, aku tergolong siswa paling pandai di sekolah hingga aku lulus dengan nilai ujian tertinggi se-kabupaten Badung untuk tingkat SD. Aku bersyukur, Tuhan memberikan kelebihan.

Dengan prestasi yang kuraih, aku dapat masuk ke sekolah favorit di SMP Negeri 2 Badung. Di sini ilmu dunia kupelajari bersama kelebihan yang Tuhan berikan. Pada perhelatan FL2SN tingkat SMP, aku terpilih dan mewakili sekolahku. Atas doa orang tua, doa bapak ibu guru, dan atas kehendak Tuhan SMP Negeri 2 Badung meraih medali emas pada kategori bahasa dan sastra yang kuikuti. Bangga teramat sangat diriku meraih emas. Sekolahku bangga dan Ayahku bersyukur memiliki anak sepertiku. "Terima kasih Tuhan, engkau mengangkat derajat anakku," batin Ayah.

Ilmu bahasa dan sastra kupelajari dengan gigih dan ulet. Aku tak ingin melewatkan mata pelajaran ini di kelas X Bahasa 2 di SMA Negeri 1 Badung. "Setinggi apa pun status seseorang, jika tidak mahir menulis maka akan terkubur oleh perjalanan ruang dan waktu. Namanya pudar dan tak dikenal banyak orang," nasihat Ibu Guru di depan kelas. Kata-kata itu seakan jadi motivasi bagiku dalam meraih sukses. Aku berjanji pada Tuhan dan diriku sendiri, "Aku harus jadi penulis yang berguna bagi nusa dan bangsa."

Setiap hari, aku bertemu buku-buku usang yang penuh debu. Darinya kudapatkan ilmu kesusastraan, bermacam puisi, cerpen, dan novel hingga kudapat mempelajari tata bahasanya. Kadang kutanya guru sastra di sekolah agar memperkuat ilmu yang kuserap. Aku bersyukur kembali, guruku sangat mendukung cita-citaku. Ayah dan ibuku tak henti-hentinya memanjatkan doa pada Sang Kuasa agar anaknya diberikan kelancaran dan kemudahan atas segala urusannya.

Pada suatu kesempatan, aku dikirim oleh sekolah ke Denpasar dalam event kesusastraan Bali dan Indonesia. 

"Ya Tuhan, aku memohon padaMu lancarkanlah lisanku, tegarkan hatiku, kuatkan ragaku pada lomba besar hari ini. Semoga aku tak mengecewakan ayah ibuku, guruku, sekolahku dan diriku," 

doaku sebelum memulai presentasi karya sastraku. Tepuk tangan bergemuruh, sorak-sorai senyum dan suara kagum terpancar dari para dewan juri dan hadirin, setelah aku selesai memaparkan karyaku. 

Tiba kini pengumuman pemenang dibacakan. Jam sepuluh malam di tengah udara dingin menusuk tulang rusukku. Detak jantungku tak karuan. Gemetar, dingin, menggigil tubuhku. "Tenanglah, terima pengumuman dengan lapang dada," bisik Guruku. Aku mengangguk tanda menerima keputusan. Salah satu dewan juri menyebutkan nama-nama pemenang, saat itu aku hanya diam dan memejamkan mata. 

Tak satu pun ia menyebutkan namaku di daftar para pemenang hingga serpihan kertas pelangi hujani para pemenang di atas panggung mewah dan megah. Pikiranku hancur. Ragaku lemas tak berdaya. Aku pulang dengan tangan kosong tanpa membawa hadiah bagi orang tua, guru, dan diriku sendiri. Aku jatuh dan gagal.

Enam bulan sebelum kelulusanku di SMA Negeri 1 Badung hingga akhirnya aku lulus dengan nilai 94,85 menempati peringkat pertama di sekolah. Selama itu pula, aku enggan menggoreskan penaku. Aku biarkan kosong, putih bersih bukuku. Tanpa titik noda hitam dan lipatan asaku. 

Ketika petang menjelang, aku sembahyang khusyuk menghadap Tuhan. Kupejamkan mata. Kukosongkan pikiran. Khidmat memujaMu. Tetiba seseorang panggil namaku, "Bara." Aku tetap dalam sikap sempurna. Tak kuhiraukan. "Lantaran apa engkau tak menggunakan kepintaranmu, kecerdasanmu dan kelebihannya. 

Aku telah memberikan cahaya di relung hatimu. Apakah ini balasanmu padaKu." Aku terkejut. Mataku terbuka lebar. Tubuhku kedinginan bak diguyur es. "Tuhan bicara padaku," batinku.

Aku telah berdosa. Aku telah menyiakan kepandaianku. Aku harus bangkit. Aku harus berjuang. Iya, aku harus bangkit." Semenjak peristiwa itu, kubuka kembali bukuku. Sudah kotor dan penuh lubang karena kutu buku menggerogotinya. Penaku berkarat beruntung masih lancar ketika digunakan. Buku dan penaku tetap kupakai meski jauh dari kata layak. Ini warisanku. Bagaimanapun adalah milikku.

Selama menanti pengumuman seleksi masuk perguruan tinggi pada tanggal 9 Juli 2019, aku gunakan waktu untuk menghasilkan karya kumpulan esai dalam buku berjudul "Teropong Reformasi di Mata Publik" terbit Juni 2019 di Bitread Publishing. Selain itu, aku pernah membukukan kumpulan puisi karya di Guepedia Publisher dengan judul "Seruling Sajak Samudra" pada tahun 2018. 

Saya sangat bersyukur atas pencapaian hingga hari ini dan terima kasih pada Tuhan yang mempermudah segalanya. "Ya Tuhan, terima kasih." Tak henti kuucapkan kalimat itu berkali-kali. Saat kubuka portal pengumuman SBMPTN 2019 dan kuisi nomor peserta beserta tanggal lahir. 

Aku sangat terkejut. "Selamat! Anda diterima di PTN Universitas Udayana pada program studi bahasa dan sastra Indonesia," tulisnya. Kubaca berulang kali, air mataku jatuh tak kuasa menahan haru. "Akhirnya, aku masuk di Universitas Udayana," batinku.

Anak seorang kaum sudra juga mampu menembus gerbang universitas bergengsi di tanah air. Dengan segala keterbatasan dan sekat penghalang selebar samudera ternyata mampu kusebrangi dengan sampan bambu restu orang tua dan Tuhan.

 "Terima kasih Tuhan, terima kasih ayah ibu," ucapku. "Kelak namamu akan bersinar. Teruslah berjuang raih cita-citamu," nasihat Ibu sembari menepuk pundakku. 

"Nak, angkatlah keluargamu ini di puncak tertinggi Nirwana kelak," tambah Ayah, "perjalananmu masih panjang. Jangan sia-siakan waktu. Terus maju. Hancurkan keterbatasan itu."

"Kelak namamu akan bersinar dan bawalah keluargamu ke puncak tertinggi Nirwana." 

Kata-kata itu adalah motivasiku menjalani hidup ini. "Akan kubuktikan suatu hari nanti," tekadku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun