Mohon tunggu...
Politik

Bobroknya Kinerja Kejagung Bikin Kacau Hukum Indonesia

23 Maret 2016   20:54 Diperbarui: 23 Maret 2016   21:04 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita percaya bahwasanya hukum bagaikan pedang bermata dua yang siap “menebas” siapa saja yang tidak taat aturan dan bukan hanya tajam ke bawah, hukum harus tajam ke atas. Dalam UUD 1945 dijelaskan semu Warga Negara Indonesia memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Pasti kita semua setuju harus ditegakan walaupun langit runtuh dan harapan itu kita titipkan pada institusi penegak hukum seperti Polri, Kejaksaan, dan KPK. Polri menjaga keamanan dan pelayan masyarakat, Jaksa sebagai penuntut yang menjebloskan terdakwa ke dalam penjara, dan KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi.

[caption caption="sumber foto : Detik.com"][/caption]

Namun apa yang terjadi jika para penegak hukum menyalahgunakan kekuatan hukum untuk kepentingan pribadi atau menjadi corong para penguasa dalam memainkan peranan politik. Jika semua penegak hukum “abuse of power” maka tatanan hukum di Indonesia akan makin kacau dan revolusi mental yang diusung Presiden Jokowi ternodai karena oknum-oknum di institusi penegak hukum tersebut.

Kita ambil satu contoh terbaru di mana kejaksaan Agung yang dikomandoi HM Prasetyo yang merupakan politisi NasDem kerap melakukan penyelidikan perkara yang sebenarnya bukan kewenangannya, salah satunya yang ramai diperbincangkan ketika menyidik kasus Build, Operate, and Transfer (BOT) antara PT Hotel Indonesia Nature (HIN) yang merupakan BUMN dengan PT Grand Indonesia (GI) sebagai pemegang BOT. Komisaris PT HIN Michael Umbas berbicara di media bahwa PT GI membangun Apartemen Kempinski dan Menara BCA di kawasan Bundaran Hotel Indonesia secara ilegal karena gedung tersebut tidak tertera dalam perjanjian awal. Entah bagaimana caranya, Kejagung masuk dalam kasus ini dan Jampidsus Arminsyah menyatakan tengah menyidik kasus tersebut karena merugikan negara Rp 1,2 triliun.

Menurut pengamat hukum Muhammad Mirza Harera, Kejagung tidak berwewenang dalam menyidik kasus antara PT HIN dan PT GI. Karena, baik PT HIN dan PT GI yang sedang melakukan transaksi bisnis sebagai dua badan hukum, maka jika ada kerugian yang diderita salah satu pihak, maka akan diselesaikan secara perdata. Mirza pun mempertanyakan motif Kejagung yang sangat ingin menyidik kasus ini, meskipun secara fakta hukum Kejagung tidak berwewenang menanganinya.

Contoh indikasi kedua Kejagung “abuse of power” ketika menyidik kasus restitusi pajak PT Mobile 8 tahun 2004 lalu. Dalam kasus itu, Kejagung menggiring opini dengan mengaitkan nama Ketua Umum Perindo Hary Tanoesoedibjo ketika menjadi komisaris di perusahaan tersebut. Kasus ini pun mendapat perhatian Komisi III DPR dengan membuat Panitia Kerja (Panja) Mobil 8 yang terus memonitor perkembangan kasus tersebut.

Ketua Panja Mobile 8 Desmond Junaidi Mahesa mempertanyakan wilayah yuridiksi Kejagung dalam melakukan penyelidikan dalam kasus tersebut karena jika dilihat dari bentuk kasusnya, yang berhak menanganinya adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selain itu, Dirjen Pajak Ken Dwi juga mengatakan tidak ada masalah dalam restitusi pajak PT Mobile 8. Namun, hingga saat ini Kejagung masih melakukan penyelidikan meskipun hal itu bukan kewenangannya.

Ketiga, Kejagung dianggap tidak berwewenang ketika memanggil Ketua Gafatar ke Kejagung. Koordinator Setara Institue Hedardi menilai Kejagung tidak berhak untuk menuntut seseorang karena beda keyakinan dan pemikiran dengannya. Menurutnya tindakan represif yang dilakukan Kejagung tidak mencerminkan aparat penegak hukum yang menghormati Hak Asasi Manusia (HAM).

Hendardi juga menilai jika memang Gafatar adalah satu gerakan yang menyesatkan dan menghina satu agama tertentu, seharusnya dibukakan ruang dialog, bukan mai tangkap dan mengadilinya karena penistaan agama.

Dari tiga kasus di atas rasanya tidak heran jika Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) menempatkan Kejagung di posisi paling buruk dari 77 kementerian dan lembaga di Indonesia. Dengan kinerja seperti ini, rasanya desas-desus reshufle di Kejagung makin kuat. Selain itu, HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung tidak mencerminkan sikap revolusi mental yang diusung Presiden Jokowi dalam menyelenggarakan pemerintahan.

Selain itu, HM Prasetyo terlalu tebang pilih kasus. Hal itu terlihat secara jelas dalam kasus dugaan keterlibatan Ketua Umum NasDem Surya Paloh dalam kasus penyelewengan dana Bansos yang dilakoni Gubernur Sumut nonaktif Gatot Pudjo Nugroho.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun