Mohon tunggu...
batara tobing
batara tobing Mohon Tunggu... Akuntan - Memperluas dan berbagi wawasan

Purna bhakti ASN

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Lelang Jabatan

15 Mei 2021   16:02 Diperbarui: 15 Mei 2021   16:18 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apa yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangkap tangan (OTT) terhadap bupati Nganjuk pada hari Minggu 9 Mei 2021 karena ditengarai melakukan praktek Lelang Jabatan tentu menimbulkan interpretasi berbeda soal istilah atau terminologi "Lelang Jabatan".

Undang undang Aparatur Sipil Negara (ASN) mewajibkan setiap jabatan struktural eselon 1 dan eselon 2  dilakukan melalui "Lelang Jabatan" yang dilakukan secara terbuka dan diawasi oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).  Tentu bertujuan untuk mendapatkan pejabat struktural ASN yang memenuhi kompetensi, kapasitas dan integritas tertentu serta memperkecil peluang KKN dalam pengangkatan jabatan ASN.

Istilah Lelang Jabatan sendiri sebetulnya bukanlah terminologi hukum yang dibahasakan secara letterlijk.

Istilah ini mulai populer sebagai janji politik saat kampanye Joko Widodo - Ahok disaat pilkada DKI yang mewacanakan "Lelang Jabatan" untuk mengangkat seorang menduduki jabatan lurah dan camat di wilayah DKI Jakarta apabila mereka dipilih menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Namun pada prakteknya, proses lelang jabatan seringkali dilakukan hanya sebagai kemasan formal saja, dibeberapa pemerintah daerah dan instasi pemerintah pusat tidak dilakukan sesuai tujuan perundang undangan. Prakteknya, lelang jabatan justru hanya sebagai bungkus formalitas untuk memenuhi aturan perundang undangan yang substansinya tetap saja urusan duit, janji, loyalitas dalam tanda kutip  atau dukungan politis..

Seringkali kepala daerah mengangkat seorang kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) berdasarkan lelang jabatan dalam tanda kutip yang bernuansa jual beli seperti ditengarai dalam OTT KPK kepada bupati Novi Rahman Hidayat di Nganjuk, jual beli pengaruh di Kementerian Agama oleh mantan Ketum PPP Romahormuziy dan kasus kasus yang ditangani oleh KPK dan APH lain.

Suatu saat seorang teman sebagai salah satu kepala OPD disalah satu provinsi, curhat tentang permintaan kepala daerah melalui orang tertentu untuk mempersiapkan bilangan rupiah tertentu yang mencapai milyaran rupiah agar tetap menduduki jabatan setelah masa periode tertentu di OPD yang dianggap sebagai OPD Gemuk.

Karena tidak dapat memenuhi bilangan rupiah yang dimaksud, beliau menjadi dimutasi ke OPD lain yang sedikit lebih kurus walau tetap menjadi kepala OPD, namun beliau tidak mau terbuka soal besaran seserahan untuk harga jabatan di OPD yang "lebih kurus" itu yang kemudian dijabatnya.

Soal konotasi gemuk dan kurus ini tentunya menyangkut soal jumlah anggaran yang dikelola dan peluang untuk gratifikasi juga yang ujung ujungnya berdampak renteng terhadap kualitas pelayanan publik dan akuntabilitas penggunaan anggaran yang dikelola. Itulah sebabnya jual beli jabatan ASN berujung sangat merusak, karena walau saat transaksi dilakukan tidak menggunakan anggaran keuangan negara, namun secara logis tentu pejabat ASN yang melakukan transaksi jabatan akan menggunakan peluang kewenangannya untuk memulihkan kerugian atas transaksinya, bahkan ditambah keuntungan materil dan pengaruh dengan cara cara koruptif.

Red flag lain soal "lelang jabatan" ini bisa juga dilihat dari kebiasaan beberapa kepala daerah atau pimpinan instansi yang "menggantung jabatan", dengan membiarkan beberapa jabatan strategis oleh pelaksana tugas (Plt), tidak segera mendefinitipkan jabatan tertentu dengan tujuan loyalitas dan ekonomis berkesinambungan dalam tanda kutip, red flag atau hipotesis yang selalu ditengarai dalam teori fraud.

Apa yang dilakukan oleh KPK dalam operasi tangkap tangat (OTT) dalam aktivitas lelang jabatan di Kabupaten Nganjuk ini, bisa jadi adalah kelakuan birokrat dibanyak instansi dan pemerintah daerah, oleh karena itu sebetulnya KPK seperti berburu di kebun binatang.., merem saja pasti kena salah satu binatang buruan. Tetapi KPK jangan pilih pilih sasaran berdasarkan kepentingan pribadi ya..., karena prioritas sasaran bisa juga menjadi objek yang berpeluang diperjual belikan seperti yang dilakukan oleh petugas KPK terhadap penanganan dugaan fraud di Pemerintah Kota Tanjung Balai.., petugas KPK juga bukan malaikat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun