Bulan Bahasa KPB; Indah Damai Indonesiaku
Musim (Mangsa Bediding) KemarauÂ
    Udara semilir dingin, seakan ditiup dari pegunungan selatan menjadi kesejukan sehari-hari udara desa di Bulan Juli. Jika telah larut malam, udara cukup dingin mencekam, karena pengaruh Musim Bediding. Musim Bediding berasal dari kata Mangsa Bedhidhing Bahasa Jawa. Pada musim bediding jika siang panasnya terasa menyengat, karena suhu udara meningkat tajam, sebaliknya di malam hari suhu bisa turun di sekitar 12 derajat celsius. Anak-anak laki-laki maupun  anak-anak perempuan kedinginan menggigil ketika tidur malam hari. Kebiasaannya, anak-anak laki-laki berselimut kain sarung, dan yang perempuan berselimut kain jarik ibunya.
    Pagi hari, umumnya anak-anak bangun kesiangan, karena masih menggeliat malas bangun. Sesudah bangun suka berdiang di sekitar  semacam api unggun, dengan membakar sampah atau atau ranting-ranting kering, sekalian membakar: singkong, ubi, jagung,  biji jambu monyet, bahkan ikan asin. Biji jambu monyet dan ikan asin, yang dibakar baunya semerbak menyebar mendatar, karena udara dingin yang menjebaknya, sehingga ketika semerbak bau gurih dan menyengat, dapat membikin perut menjadi keroncongan melilit menahan lapar.
    Dahulu, saat Bediding minyak kelapa menjadi beku, baik yang bekas untuk menggoreng  (jelantah), maupun yang ada di botol dari kaca yang belum digunakan. Umumnya telapak jari tangan kalau pagi mengkerut , dan kulit kaki mengering menampakkan  gurat-gurat putih seakan kelihatan retak-retak. Penyakit pilek, batuk, dan mata merebak, oleh karena udara siang yang berdebu di hampir semua jalan dan lorong yang ada di desa.
   Tetangga ada yang menam Dadap Serep sampai besar dan tinggi, bunganya merah merona disebut bunga celung. Jika siang hari burung Kepodang suka hinggap, mendendangkan ocehan: "tilunngg...... tilunngg.....  tidak henti-hentinya, memanggil teman-temannya untuk bersamanya.
Permainan Anak-anak Laki-lakiÂ
    Lorong depan rumah yang tanahnya kering berdebu lembut, jika dilewati debu berhamburan terbang ke udara. Debu inilah jika terhirup atau masuk mata, menjadi batuk atau belek. Anak laki-laki suka bermain mengumpulkan debu, ditonjok pelan dengan siku, lalu dikencingi, jadilah debu basah seperti cekungan  mangkok.
    Seusai sekolah anak-anak laki-laki membuat bola dari kumpulan lapis pohon pisang yang kering. Lalu dipadatkan seukuran bola. Bakalan bola dililit memutar, seperti anyaman, sehingga bola menjadi keras, sambil terus menambah lembaran kulit pohon pisang kering agak tidak mengempis, dan membentuk bulatan dan memperbesar bola.
    Permainan bola dilakukan pada lorong yang paling lebar dan berdebu. Dapat dibayangkan, saat permainan dilakukan, debu berterbangan kemana-mana, badan dan pakaian menjadi lusuh, serta lorong tidak bisa dilewati orang. Remaja yang berkaki kuat suka beradu pisik menendang bola, dan lainnya menahan benturan, sehingga buukk.... menimbulkan suara berdebam, dan kaki kadang menjadi kesakitan.
    Setelah selesai, badan dan pakaian menjadi sangat kumal, beramai-ramai ke sumur timba untuk menimba air dengan senggot  dari bambu yang pangkalnya diberi pemberat. Mereka meminum langsung air mentah di ember timba, di mana air umumnya jernih kebiruan, karena bayangan langit tanpa awan seakan terlihat di dasar sumur.