Kasus ini terekam dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 593 K/Pid/2016. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan tindakan memaksa dan menekan dengan embel-embel profesi pers telah menimbulkan tekanan psikologis pada korban. Perilaku semacam ini tidak bisa dibenarkan atas nama jurnalistik.
Hal ini juga mencoreng profesi wartawan yang sejatinya menjalankan tugas mulia: menyampaikan informasi faktual demi kepentingan publik, bukan untuk menakut-nakuti atau mengambil keuntungan pribadi.
Penutup: Etika dan Hukum Harus Berjalan Bersama
Wartawan memiliki posisi strategis dalam demokrasi. Tapi kekuatan informasi juga bisa disalahgunakan jika tidak dibarengi dengan integritas. Maka, publik harus tahu bahwa profesi apapun---termasuk wartawan---tidak kebal hukum jika terbukti melakukan pemerasan.
Mari kita jaga agar pers tetap independen, kritis, tapi juga etis. Karena kebebasan pers bukan izin untuk menakut-nakuti rakyat, tetapi kewajiban untuk memberdayakan mereka dengan kebenaran. Sebagai pelengkap dari gagasan ini, saya turut menyediakan template dokumen praktik persidangan—mulai dari perkara perdata, pidana, PTUN, hingga sengketa pajak—yang dirancang agar bisa langsung diedit dan digunakan sesuai kebutuhan. Template ini disusun berdasarkan praktik nyata di lapangan, sehingga dapat membantu mahasiswa, advokat pemula, atau siapa pun yang membutuhkan referensi teknis yang aplikatif dan efisien. Anda dapat mengakses dan mengunduhnya melalui tautan berikut: https://lynk.id/basukikurniawan.law.
Catatan hukum: Artikel ini merujuk pada Putusan MA Nomor 593 K/PID/2016 yang dapat diakses publik melalui direktori resmi Mahkamah Agung RI: tautan putusan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI