Mohon tunggu...
Bastian Widyatama
Bastian Widyatama Mohon Tunggu... -

Based in South Korea Yeungnam University

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan: Antara Jargon dan Realita

27 Februari 2016   17:36 Diperbarui: 27 Februari 2016   18:00 4360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yogyakarta yang dahulu pernah menjadi ibukota negara Republik Indonesia pada dasarnya masih dikenal oleh masyarakat luas sebagai kota pendidikan atau kota pelajar. Banyaknya pemuda dari berbagai latar belakang daerah yang ada di Yogyakarta merupakan salah satu bukti bahwa Yogyakarta masih menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka sebagai tempat untuk menuntut ilmu. Hal tersebut juga tidak dapat dilepaskan dari kualitas pendidikan yang ditawarkan oleh lembaga-lembaga pendidikan yang ada di Yogyakarta, baik negeri ataupun swasta. Predikat sebagai kota budaya dan pariwisata yang melekat di Yogyakarta juga menjadi salah satu faktor pendorong banyaknya masyarakat dari luar daerah yang tertarik untuk menuntut ilmu di kota ini. Meskipun demikian, predikat kota pendidikan yang melekat di Yogyakarta bukan tanpa kecacatan. Banyak fenomena-fenomena sosial yang justru sebenarnya dapat merusak citra Yogyakarta sebagai kota pendidikan. Tulisan ini selanjutnya akan membahas perkembangan Yogyakarta sebagai kota pendidikan hingga permasalahan sosial yang justru merusak citra Yogyakarta sebagai kota pendidikan.

Menengok Asal Mula Predikat sebagai Kota Pendidikan

Predikat Yogyakarta sebagai kota pendidikan pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari munculnya salah satu universitas terkemuka di Indonesia yaitu Universitas Gadjah Mada (UGM). Konteks kemunculan UGM pun juga tidak dapat dilepaskan dari era penjajahan yang memaksa ibukota negara dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta pada tahun 1946. Secara singkat, UGM adalah gabungan dari beberapa sekolah tinggi dan universitas yang sebelumnya sudah ada di Yogyakarta dan sekitarnya. Apabila ditarik ke belakang, kemunculan beberapa sekolah tinggi yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya juga merupakan dampak dari tidak kondusifnya pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di beberapa daerah karena peperangan. Sebagai salah satu contohnya adalah sekolah tinggi teknik yang ada di Bandung harus ditutup dan dipindahkan ke Yogyakarta karena gejolak peperangan yang terjadi di Bandung pada saat itu. Ketika para cendekiawan berkumpul di Yogyakarta, mereka bersepakat untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi yang kemudian dikenal dengan nama Yayasan Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada (BPTGM). Langkah inipun disambut positif oleh raja Yogyakarta pada saat itu yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono IX (Sultan HB IX).

Munculnya perguruan tinggi tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran besar Sultan HB IX yang pada beberapa tahun setelah didirikannya UGM memberikan pusat kekuasaannya (keraton dan beberapa bangunan milik bangsawan) sebagai tempat perkuliahan. Bahkan, tidak adanya lahan yang dimiliki UGM membuat Sultan HB IX memberikan hibah tanah kepada UGM di daerah Sekip dan Bulaksumur yang saat ini menjadi lokasi UGM. Banyaknya para pemuda yang datang ke Yogyakarta dari berbagai daerah di Indonesia membuat Sultan HB IX mempersilakan pemerintah daerah asal pemuda tersebut untuk membangun asrama daerah di Yogyakarta. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila saat ini terdapat puluhan asrama daerah di Yogyakarta. Hal tersebut tidak lain dilakukan Sultan HB IX untuk mengakomodir keinginan beliau untuk menjadikan Yogyakarta sebagai Indonesia mini dimana seluruh adat dan agama dari berbagai daerah di Indonesia berkumpul di Yogyakarta. Kepedulian Sultan HB IX terhadap dunia pendidikan juga dibuktikan dengan didirikannya Universitas Widya Mataram pada tahun 1982 bersama putranya KGPH Mangkubumi.[1]

Kemunculan perguruan tinggi negeri pertama yang didirikan oleh pemerintah Republik Indonesia (Universitas Gadjah Mada) tersebut kemudian mendorong munculnya perguruan tinggi lain, baik negeri ataupun swasta. Berdasarkan data Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Daerah Istimewa Yogyakarta, di Yogyakarta terdapat 22 universitas, 49 sekolah tinggi, 6 institut, 10 politeknik, dan 42 akademi hingga saat ini.[2] Meskipun jumlahnya berkurang apabila dibandingkan dengan jumlah beberapa tahun sebelumnya, jumlah tersebut secara tidak langsung juga mendorong predikat Yogyakarta sebagai kota pendidikan disamping adanya faktor historis yang telah disampaikan sebelumnya. Selanjutnya, dari segi kualitas, beberapa perguruan tinggi tersebut telah membuktikan prestasinya melalui mahasiswanya, baik di tingkat nasional maupun internasional, termasuk sekolah menengah yang ada di Yogyakarta. Dari sisi peringkat perguruan tinggi, UGM selalu menempati posisi 5 besar nasional universitas terbaik dalam berbagai aspek penilaian.[3] Sementara dari perguruan tinggi swasta, berdasarkan penilaian webometrics, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Ahmad Dahlan (UAD), dan Universitas Islam Indonesia (UII) masuk dalam urutan 10 besar nasional.[4] Berdasarkan polling sederhana melalui website yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY, sebanyak 55.6% responden menyatakan kualitas pendidikan di Yogyakarta baik sekali, 30.9% menyatakan baik, 8.4% menyatakan cukup baik, dan 5.1% menyatakan kurang.[5]

Terlepas dari berbagai catatan peringkat perguruan tinggi terbaik dan jumlah perguruan tinggi di Yogyakarta sebagai bukti yang memperkuat predikat Yogyakarta sebagai kota pendidikan, ada beberapa permasalahan yang sebenarnya dapat merusak citra Yogyakarta sebagai kota pendidikan. Permasalahan tersebut tidak lain merupakan dampak dari perkembangan Yogyakarta sendiri yang semakin berjalan ke arah modernisasi. Beberapa fenomena sosial yang justru tidak mencerminkan predikat sebagai kota pendidikan justru muncul di Yogyakarta seperti gaya hidup pelajar yang mewah dan bebas hingga perkelahian atau tawuran pelajar. Beberapa fenomena tersebut secara politis memang tidak terpublikasikan secara masif karena ditakutkan akan mencoreng citra Yogyakarta sebagai kota pendidikan. Hanya saja, realita menunjukkan bahwa fenomena-fenomena yang menciderai semangat Yogyakarta sebagai kota pendidikan tersebut memang benar terjadi.

Gaya Hidup Mewah

Bagi sebagian besar pendatang yang menuntut ilmu di kota pendidikan ini, Yogyakarta adalah surga bagi mereka. Dengan harga yang relatif murah, mereka bisa menghabiskan pengeluaran untuk berbagai hal, termasuk mengubah gaya hidup. Seiring dengan perkembangan zaman, Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pendidikan yang sederhana ini berubah menjadi metropolitan ketika apartemen dan mall berkembang dengan pesat. Hal tersebut tidak lain adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Yogyakarta yang cenderung plural, terutama para pendatang. Bagi mereka yang memiliki finansial lebih, apartemen dan kos-kosan eksklusif menjadi tawaran yang cukup menarik untuk ditinggali selama menuntut ilmu di kota pendidikan. Tidak hanya itu, fasilitas berupa mobil mewah yang berasal dari luar daerah Yogyakarta juga telah memenuhi jalanan kota yang tidak lain adalah milik para pemuda yang sedang menuntut ilmu di Yogyakarta.

Pada dasarnya tidak ada yang salah dengan perkembangan tersebut. Hanya saja, citra Yogyakarta sebagai kota pendidikan sedikit ternodai dengan perilaku mewah para pelajar yang justru tidak mencerminkan citra sebagai seorang yang berpendidikan. Terlebih lagi ketika mereka menjadi pelanggan setia tempat hiburan malam yang mayoritas diisi oleh anak-anak muda, baik oleh mereka yang berasal dari Yogyakarta ataupun luar Yogyakarta. Secara tidak langsung hal tersebut mendorong tumbuh suburnya tempat hiburan di Yogyakarta yang saat ini jumlahnya justru bertambah. Hal tersebut tidak lain karena pelajar yang ada di Yogyakarta dijadikan pasar bagi mereka yang berkepentingan. Meskipun fenomena ini tidak mempengaruhi citra Yogyakarta sebagai kota pendidikan secara signifikan, realita ini telah membuktikan bahwa romantisme Yogyakarta sebagai kota pendidikan tidak selamanya benar. Terlebih lagi Yogyakarta juga dikenal sebagai kota budaya.

Pesta Minuman Keras dan Seks Bebas

Pesta minuman keras (miras) dan seks bebas adalah dua hal besar yang sebenarnya bukan menjadi rahasia lagi di kalangan pelajar di Yogyakarta. Belum lama ini berita nasional dihebohkan dengan kejadian pesta miras oplosan yang menewaskan belasan orang di Yogyakarta. Berita ini menjadi isu besar karena dalam waktu yang berdekatan, orang-orang yang meminum miras oplosan tersebut meninggal dunia. Beberapa fakta menarik yang bisa diambil dari kejadian ini adalah para korban meninggal yang meminum miras tersebut justru didominasi orang-orang muda yang notabene merupakan seorang pelajar. Bahkan, pesta miras tersebut dilakukan di asrama mahasiswa yaitu Asrama Pulodadi Babarsari dan Asrama Kamasan Yogya.[6] Realita yang menjadi berita nasional ini tentu menciderai Yogyakarta sebagai kota pendidikan. Terlebih lagi, korban yang meminum minumas keras tersebut adalah mahasiswa. Hal ini tentu sudah seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah dan masyarakat setempat untuk menjaga kondusifitas Yogyakarta sebagai kota pendidikan.

Isu lain yang sebenarnya bukan hal baru adalah maraknya seks bebas di kalangan pelajar di Yogyakarta. Pada isu ini sebenarnya dapat dilihat dari dua sisi yaitu pelajar sebagai pengguna layanan seks dan sebagai penyedia layanan seks. Sebagai pengguna jasa seks, para pelajar di Yogyakarta bisa mendapatkannya dengan cara yang relatif mudah, terutama melalui jaringan online dengan menggunakan media sosial ataupun aplikasi internet lainnya. Banyaknya tempat prostitusi yang berkedok salon, tempat pijat, dan karaoke tentu menjadi tempat yang mudah bagi pelajar untuk mengakses layanan tersebut.[7] Pada sisi yang lain, pelajar sebagai penyedia layanan seks juga mudah ditemui di Yogyakarta, terutama melalui media sosial ataupun aplikasi di internet. Mereka secara terang-terangan akan mencantumkan harga dan tempat dilakukannya transaksi tersebut. Pada sisi yang lebih jauh, banyak fenomena seks bebas yang dilakukan oleh pasangan pemuda di Yogyakarta di berbagai tempat seperti hotel, kos-kosan bebas, dan lain sebagainya. Apabila dikuak lebih dalam, pada dasarnya banyak faktor yang mempengaruhi aktivitas tersebut bisa terjadi di kota pendidikan ini. Tentu hal tersebut menjadi salah satu realita yang cukup menodai predikat Yogyakarta sebagai kota pendidikan.

Tradisi Tawuran Pelajar Sekolah Menengah

Fenomena negatif di Yogyakarta juga tidak hanya terjadi di kalangan mahasiswa, tetapi juga di kalangan pelajar di sekolah menengah. Hampir semua sekolah menengah atas (SMA) di Yogyakarta mempunyai tradisi untuk memiliki kelompok yang kemudian sering dikenal dengan nama geng. Sebagai kota pendidikan, Yogyakarta sendiri tidak dapat terhindar dari fenomena tawuran pelajar yang marak terjadi. Beberapa tahun yang lalu sebenarnya pemerintah kota Yogyakarta telah mengantisipasi tawuran pelajar tersebut dengan mengganti seluruh bet nama masing-masing SMA dengan bet yang lebih umum bertuliskan ‘Pelajar Kota Yogyakarta’. Kebijakan tersebut dilakukan supaya tidak ada tawuran yang terjadi di jalanan akibat melihat bet sekolah lain yang dianggap musuh. Meskipun demikian, antisipasi tersebut belum cukup efektif untuk mengurangi tingkat tawuran pelajar di kota pendidikan ini. Tawuran yang kerap terjadi ini juga pernah merenggut nyawa pelajar beberapa kali. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat Yogyakarta sebagai kota pendidikan.

Catatan Akhir: Lawan atau Diamkan?

Fenomena sosial yang terjadi di Yogyakarta akhir-akhir ini perlahan telah muncul ke publik sehingga lambat laun masyarakat secara luas mengetahui realita yang terjadi di kota pendidikan ini. Prestasi pelajar Yogyakarta memang patut untuk diapresiasi, tetapi fenomena negatif yang ada di dalamnya juga perlu untuk diakui. Kini, predikat sebagai kota pendidikan tengah dipertaruhkan di tengah realita kehidupan pelajar di Yogyakarta yang semakin berkembang. Apabila predikat ini setuju untuk dipertahankan, tentu harus ada perlawanana keras dari pemerintah, masyarakat, dan lembaga pendidikan untuk benar-benar meminimalisir fenomena sosial yang kompleks ini di tengah perkembangan zaman yang semakin hebat. Di sisi lain, apabila seluruh elemen masyarakat cenderung apatis dan diam terhadap fenomena ini, maka bukan tidak mungkin predikat ini hanya akan menjadi isapan jempol semata karena jargon yang dimiliki kota ini tidak mencerminkan realita pendidikan yang sebenarnya.

[1] Selengkapnya lihat website Universitas Widya Mataram Yogyakarta, Sejarah Singkat UWMY, diakses melalui http://www.widyamataram.ac.id/index.php?m=profil&id=1 pada tanggal 26 Februari 2016 pukul 10.27 WIB.
[2] Selengkapnya lihat website Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY, Sistem Informasi Manajemen Perguruan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta, diakses melalui http://pendidikan-diy.go.id/dikti/home pada tanggal 26 Februari 2016 pukul 10.38 WIB.
[3]  Selengkapnya lihat Kompas Online edisi 31 Januari 2016, Kalahkan ITB dan UGM, UI Terbaik di Indonesia versi “Webometrics”, diakses melalui  http://edukasi.kompas.com/read/2016/01/31/10483401/Kalahkan.ITB.dan.UGM.-UI.Terbaik.di.Indonesia.versi.Webometrics  pada tanggal 26 Februari 2016 pukul 10.46 WIB.
[4] Lihat website Mancing Info, 20 Universitas Swasta Terbaik di Indonesia 2016, diakses melalui http://www.mancinginfo.com/universitas-swasta-terbaik-di-indonesia-2016/  pada tanggal 26 Februari 2016 pukul 10.56 WIB.
[5]  Lihat website Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga DIY, Hasil Poling, diakses melalui http://pendidikan-diy.go.id/dikti/lihat-poling.html  pada tanggal 26 Februari 2016 jam 10.59 WIB.
[6]  Lihat Liputan 6 Online edisi 6 Februari 2016, Korban Tewas Miras Oplosan di Yogya Jadi 17 Orang, diakses melalui http://regional.liputan6.com/read/2430148/korban-tewas-miras-oplosan-di-yogya-jadi-17-orang  pada tanggal 26 Februari 2016 pukul 13.04 WIB.
[7]  Lihat Bastian Widyatama dkk, Sisi Lain Yogyakarta: Menguak Aktivitas Prostitusi Berkedok Panti Pijat: Studi Kasus Hubungan Panti Pijat JH dengan Pemerintah Kabupaten Sleman, Tugas Mata Kuliah Penelitian Kualitatif, Yogyakarta, 2013, hal.5.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun