Berdasarkan hal tersebut dalam kehidupan sehari-hari kiranya menerapkan moralitas terbuka. Perbedaan menjadi keniscayaan harus disikapi dengan perilaku yang mampu menerima segala bentuk perbedaan tersebut. Makna dari moralitas terbuka ini menitikberatkan bahwa nilai-nilai kemanusiaan menjadi pegangan dalam berperilaku.
Sebagai umat muslim tentunya kita patut mencontoh dan meneladani sikap Rasulullah SAW dalam menyikapi segala bentuk perbedaan. Beliau memperkenalkan konsep khairah ummah. Hal ini berlandaskan pada sebuah keniscayaan bahwa Tuhan menciptakan manusia menjadi makhluk yang heterogen. Namun, di tengah heterogenitas itu dimungkinkan terbentuknya umat-umat homogen yang dipersatukan oleh suatu visi dan misi khusus, dan yang seperti inilah diperintahkan di dalam al-Qur'an dalam Ali 'Imran ayat 104 & 110. Istilah ini disebut sebagai khairah ummah atau umat ideal.
"Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung."
"Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik."
Berdasarkan hal di atas tentunya menjadi keharusan bagi kita untuk juga menerapkan konsep khairah ummah tersebut. Terutama bagi mahasiswa muslim yang merupakan kaum intelektual yang kiranya mampu menjadi agent of change dan social control. Apalagi di tengah pandemi ini yang ruang gerak kita di dunia nyata memang terbatas, tapi di dunia maya segalanya bisa dilakukan melalu gadget yang senantiasa digenggam.
Teknologi bisa diibaratkan pisau bermata dua, di satu sisi mempermudah setiap pekerjaan manusia, dan keperluannya. Akan tetapi, terkadang manusia salah dalam mempergunakan fasilitas yang sudah ada ini untuk hal-hal yang negatif. Teknologi sering menjadi jalur untuk seseorang bertindak amoral sehingga mempengaruhi orang-orang disekitarnya untuk bertindak demikian pula.
Menurut Komaruddin Hidayat ada dua pesan pokok agama. Pertama, memberikan pesan dan ajaran seseorang memiliki visi dan makna hidup yang bersumber dari kesadaran iman. Kita semua berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, sehingga apapun yang kita perbuat selama di dunia ini mesti dipertanggungjawabkan kelak.
Kedua, dengan pemahaman dan penghayatan agama, seseorang bisa tumbuh berkembang menjadi pribadi yang baik, senantiasa menebarkan damai dan manfaat bagi sesamanya. Rasulullah Muhammad SAW. bersabda, "Aku diutus Tuhan dengan misi untuk mengajarkan akhlak yang mulia bagi manusia." Dalam sabdanya yang lain dikatakan, "Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling baik akhlaknya dan paling banyak memberi manfaat bagi sesamanya."
Ketika kita mampu menangkap pesan pokok agama tersebut dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari seyogianya kita mampu menjadi mahluk yang penuh cinta. Saling menghargai satu sama lain merupakan implikasi penerapan pesan pokok agama tersebut. Sehingga kita tidak mampu terpengaruh oleh orang-orang yang bertindak amoral baik di sosial media maupun di dunia nyata.
Seperti yang dikatakan Haidar Bagir, bahkan Tuhan sendiri yang memfirmankan bahwa sesungguhnya Dia menciptakan manusia karena cinta hanya agar manusia belajar kembali mencintai-Nya, melalui pengenalan atas Diri-Nya 'sebagai yang Pengasih, Penyayang dan Penutup Aib.' Atas semua itu, dalam salah satu potongan sabda Nabi, dikatakan bahwa: "Cinta adalah asas (ajaran agamaku)".
Secara eksplisit segala tindakan kita harus berlandaskan cinta karena dengan cintalah kita diciptakan. Bahkan menurut Emha Ainun Nadjib, "di atas 'hukum formal' dan 'moralitas', ada 'cinta'. Kata Rasulullah, kalian belum Muslim sebelum mencintai saudara atau orang lain seperti mencintai diri sendiri." Maka hendaknya kita sebagai insan intelektual harus mampu menyebarkan pemahaman akan cinta yang menghidupi ini terutama dalam menyikapi ketergantungan kita terhadap teknologi yang semakin diagungkan di tengah pandemi ini yang membatasi kita dalam bersosial di dunia nyata dan cenderung menekankan kita bersosial di dunia virtual.