Mohon tunggu...
Irham Bashori Hasba
Irham Bashori Hasba Mohon Tunggu... Lainnya - Sekilas Tentang Irham Bashori Hasba

Irham Bashori Hasba adalah pegiat sosial masyarakat, suka ngamati dan menuliskannya

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Benarkah LPG Itu untuk Rakyat Miskin? Cerita Pagi Ini #2

15 Maret 2021   20:48 Diperbarui: 15 Maret 2021   21:49 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Kayu kini tak lagi bisa digunakan, Elpiji telah merampasnya. Entah menjual rumput, atau sebagai kuli panggul, kami harus mengalah untuk hidup. 

_Tukirin: Penjual Kayu Bakar Keliling

Pagi ini saya berkesempatan Kembali mengelilingi kampung halaman. Banyak berbincang dan bersua dengan tetangga dan kerabat suatu hal yang begitu asik mengingat kehidupan perkotaan yang terus berjarak dan terpaksa bekerja di rumah karena pandemi yang masih belum juga usai. 

Sebenarnya kegiatan ini dahulu hampir tiap hari saya lakukan, namun karena tuntutan pekerjaan yang membatasi jarak waktu dan tempat kami, kegiatan ini menjadi kegiatan yang jarang dan mulai langka saya kerjakan. Banyak hal yang diperbinjangkan dan tak jarang kalimat-kalimat yang keluar dalam obrolan itu menjadi sebuah renungan, refleksi dan pitutur atas kondisi sosial yang terjadi saat ini.

Di pojok pertigaan kampung, saya berpapasan dengan kang Tukirin yang sedang duduk diatas jembatan yang dibuat menyerupai bangku Panjang, tempat yang juga sering menjadi tempat favorit kami untuk nongkrong dahulu. Wajahnya terlihat telah banyak keriput menandakan usianya terus tua, namun profesi sebagai penjual kayu bakar yang dijajakan tetap digelutinya sejak saya masih remaja dulu. Kang Tukirin terlihat kalut disamping sibuk mengipasi badannya yang bermandi keringat sebab kayu yang dipanggulnya belum juga terbeli oleh tetangga.


Saya merasa kangen juga dengan kang Tukirin karena begitu lama tak bertemu. Dengan senang saya menghampiri dan menyapanya "gimana kabarnya kang?? Masih ingat saya?" Dia menjawab dengan senang "Wah, sampeyan sudah jadi orang ya, sudah gagah sekarang". Tanpa berfikir Panjang saya menjawab sekenanya untuk memecah suasana "Memang dulu saya bukan orang kang? Kang Tukirin ini bisa aja". Saya mendekatinya dengan pasti dan mengajaknya bersalaman tanpa ada ketakutan akan tertular atau menulari virus, begitu juga dengan beliau.

Sambil mengeluarkan rokok dan mengajaknya berbincang, Kang Tukirin terlihat senang, terhibur, dan hilang raut muka kusamnya. Kami banyak dan cukup lama berbincang sampai tak terasa matahari semakin meninggi dan menyengat kulit kami.

Dari banyaknya topik perbincangan kami, satu hal yang saya tangkap "Sekarang semakin susah mas jualan kayu bakar, semua orang sudah menggunakan elpiji karena telah diajurkan pemerintah untuk berganti ke Elpiji sebab pakai kayu dapat merusak lingkungan katanya. Padahal Ketika semua pakai Elpiji, malah sangat susah sekali didapat, kalaupun ada harus memesan dan tidak bisa langsung dapat, harus antri dan berebut dengan yang lain. Katanya sih Elpiji langka dari atasnya". 

Saya hanya mengangguk dan terdiam tak bisa memberi solusi, termasuk membeli kayu Kang Tukirin sebab jika saya beli, saya juga bingung hendak dibuat apa kayu tersebut. 

Di akhir percakapan kami, saya memberikan sedikit uang untuk beliau, namun anehnya beliau sangat menolaknya, hanya rokok bungkusan yang telah habis Sebagian karena kami pakai yang diambilnya. 

Dia berkata "saya masih kuat bekerja mas, kurang patut saya menerima uang sampeyan tanpa saya mengerjakan sesuatu". Saya hanya melongoh dan mengakhiri dengan kata "jika nganggur, kang Tukirin bisa bantu ibu saya bersihkan pekarangan ya kang, terserah jenengan kapan bisanya" Beliau menyanggupinya dengan sangat gembira "kalau seperti itu, saya sangat menerima dengan senang mas, Insya Allah besok ya mas". Setelah bersalaman kembali saya melanjutkan perjalanan.

Kebijakan Konversi Elpiji

Elpiji lebih sering dikenal dengan istilah GAS oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Elpiji atau LPG (Liquefied Petroleum Gas) merupakan minyak bumi yang komponennya terdiri dari Propana (C3H8) dan Butana (C4H10), dan komponen hidrokarbon ringan lainnya seperti Etana (C2H6) dan Pentana (C5H12) yang tekanannya ditambah serta suhunya diturunkan sehingga menjadi benda cair. 

Ketika LPG di masukkan kedalam tabung, akan langsung berubah menjadi Gas karena suhu dan tekanan yang normal sehingga penggunaannya aman bagi kebutuhan bahan bakar yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Selain itu, LPG memiliki fleksibelitas dalam penggunaannya karena tidak membutuhkan infrastruktur berlebih dan khusus, cukup tabung yang dialirkan ke kompor menggunakan selang tabung.

Kebijakan konversi LPG digulirkan pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono -- Muhammad Jusuf Kalla yang dilantik pada Oktober 2004. Kebijakan tersebut muncul karena berdasar analisis-analisis yang menyatakan bahwa penggunaan bahan bakar di Indonesia cukup besar sehingga seringkali APBN negara terus mengalami peningkatan dalam penggunaan bahan bakar tersebut. Tepatnya tahun 2006, wakil presiden Jusuf Kalla memanggil para jajaran direksi Pertamina untuk membahas rencana pemerintah untuk mengurangi beban subsidi bahan bakar yang kian meningkat. 

Dalam pertemuan tersebut, Departemen Energi dan Sumber Daya (ESDM) kala itu mengusulkan penggunaan briket batu bara sebagai pengganti minyak tanah dengan alasan harga yang lebih murah, kala itu Minyak tanah Rp. 2000,-/liter sementara Briket Batu Bara Rp. 1500,-/Liter. 

Pemilihan LPG sebagai ganti dari minyak tanah daripada briket batu bara seperti yang diusulkan Departemen ESDM berdasarkan pengkajian -- bahkan dengan mengirimkan tim ke Cina -- yang kemudian menilai bahwa briket batu bara bukan sebuah solusi, bahkan mulai ditinggalkan sebab kandungan sulfur dan kotor dianggap tidak ramah lingkungan. Briket batu bara juga dianggap tidak cocok untuk ruangan tertutup.

Penggunaan LPG juga dianggap Pemerintah kala itu sangat menguntungkan, Pertama; Penggunaan LPG sebagai ganti dari minyak tanah dapat menekan subsidi BBM yang ditanggung APBN. 

Meski membutuhkan investasi yang cukup besar yakni sekitar 20 Trilyun, namun penghematan yang dapat diperoleh dari konversi tersebut juga tidak kecil sebab jika pemakaiain minyak tanah dapat berganti ke LPG sepenuhnya, maka subsidi sebesar 40 trilyun rupiah setiap tahun untuk minyak tanah tidak diperlukan sehingga pemerintah akan menghemat 100% dari pengeluaran subsidi minyak tanah. 

Kedua, penggunaan LPG dapa mengurangi beban pengeluaran rumah tangga, terutama masyarakat yang kurang mampu. Perbandingan penggunaan miyak tanah versus LPG setara 2 : 1 dengan asumsi penggunaan LPG rumah tangga mencapai 0,4 kg dan 1kg LPG setara dengan 3 -- 4 liter minyak tanah sehingga jika dinominalkan masyarakat akan menghemat Rp. 25000,-/KK/Bulan. Penggunaan LPG juga tidak menimbulkan polusi yang berlebihan dan dapat dikatakan ramah lingkungan.

Selain itu, menurut data BPS tahun 2017 menyebutkan bahwa konsumsi masyarakat atas minyak tanah untuk keperluan rumah tangga mencapai 9,9 juta kilo liter setiap tahunnya, sebuah angka yang cukup fantastis dan perlu sebuah terobosan baru. Maka melalui analisis tersebut. Akhirnya pemerintah menegaskan melaksanakan kebijakan konversi penggunaan kayu dan minyak tanah ke LPG (Liquefied Petroleum Gas). Dalam perjalanan kebijakan tersebut, pemerintah membuat klasifikasi penggunaan LPG (Liquefied Petroleum Gas) yaitu LPG tidak bersubsidi dan LPG subsidi untuk masyarakat miskin.

Kenapa LPG Sering Susah Didapat?

Kebijakan konversi dari minyak tanah ke LPG telah bergulir beberapa tahun yang lalu. Saat ini peredaran minyak tanah telah sulit ditemui karena tidak lagi memperoleh subsidi dari pemerintah. Pun dengan penggunaan kayu bakar, sudah tidak umum lagi, cenderung dipandang merusak lingkungan, meski tak jarang masyarakat masih menggunakan kayu bakar untuk hajatan tertentu yang sifatnya berskala besar. 

Namun tak jarang terdengar riak informasi baik melalui media sosial, berita-berita media massa, dan bahkan ketika saya mengunjungi kampung halaman, pada kesempatan lain juga mendengar informasi susahnya masyarakat memperoleh LPG, khususnya yang tabung 3 kg-an sebab tabung ini yang mayoritas digunakan oleh masyarakat, terlebih masyarakat menengah ke bawah. 

Saya pun bertanya pada diri sendiri "Kenapa LPG sering susah diperoleh?" Saya pun mencoba mencari informasi di berbagai media sosial, media massa dan pusat informasi elektronik lainnya. Berbagai informasi menyebutkan bahwa langkanya LPG dikarenakan meningkatnya permintaan warga seiring dengan banyaknya permintaan warga karena menggelar hajatan. 

Bahkan anehnya kelangkaan LPG masih terjadi ditengah pandemi Covid 19 padahal masyarakat dilarang menggelar hajatan dimasa pandemi. Hal tersebut terekam dari banyaknya laporan kelangkaan LPG di masyarakat sehingga menuntut DPR RI meminta Pertamina atasi kelangkaan LPG ditengah pandemic sebagaimana diberitakan beberapa berita media massa.

Saya pun penasaran ingin mengetahui langsung apakah benar LPG susah didapat? Pagi ini saya juga bertemu dengan seorang ibu pedagang kelontong di kampung kami. 

Saya pun bertanya "kenapa sekarang Gas 3Kg-an susah ya Buk?" beliau menjawab "Soalnya agen Gas nya membatasi pembelian mas karena katanya memang dari atas ada pengurangan gas" saya kembali bertanya "ibu dapat stok berapa setiap minggu buk?" Beliau menjawab "saya dapat hanya 15 tabung mas, itupun tidak bisa lebih. 

Makanya saya tidak menjual LPG kepada selain pelanggan saya. Selain karena kasian, saya juga menggunakan tabung mereka untuk bisa langganan ke agennya mas sebab saya bisa menjadi sub agen jika memiliki minimal 15 tabung 3 kg an". Saya hanya mengangguk saja mendengar penuturan ibu tersebut.

Kelangkaan tabung LPG 3kg an yang sebelumnya disebut karena banyaknya permintaan masyarakat karena hajatan sepertinya kurang kontekstual lagi sebab di samping karena pandemi, juga karena adanya proses penimbunan secara tidak langsung dari para pengecer LPG sebab terbatasnya stok yang mereka terima dari para agen. 

Saya kemudian berfikir "Benarkah LPG 3kg itu untuk rakyat miskin?" adakah sistem pengawasan yang ketat dari pemerintah setempat terkait penggunaan LPG? Jangan-jangan kelangkaan LPG yang sering terjadi karena banyaknya pelaku usaha menengah dan industri besar yang turut menggunakan LPG Subsidi rumah tangga? Pertanyaan ini belum sepenuhnya saya bisa menjawab. 

Namun saya terbersit fikiran kenapa tidak menggunakan briket? Jika briket menimbulkan polusi, bukankah itu hanya berlaku bagi masyarakat di perkotaan, sementara masyarakat pedesaan tidak ada masalah karena rata-rata rumah di desa memiliki ruang terbuka yang cukup luas dari pada orang kota?

Briket: Sebuah Alternatif yang Sebenarnya Mudah Dibuat Oleh Masyarakat Sendiri?

Rasa penasaran saya mulai bergeser dari kenapa LPG sering langka dan susah didapat masyarakat sebab telah menemukan sedikit jawaban sehingga menjadi jawaban sementara saya. Saat ini saya kembali berfikir dengan pertanyaan "maukah masyarakat membuat briketnya sendiri??" melalui pertanyaan ini saya mencoba mencari informasi di media terkait bagaimana membuat briket, peluangnya dan sebagainya.

Tanpa bermaksud memudahkan suatu perkara, saya memperoleh begitu banyak informasi dan tutorial baik di Google atau melalui Youtube terkait pembuatan briket berbasis limbah sekitar rumah, seperti membuat briket dari tempurung kelapa, membuat briket berbahan dasar daun pohon dan plastik, briket dari jerami dan sebagainya. Hemat saya, jika briket ini mampu dibuat sendiri oleh masyarakat dan mampu digunakan minimal oleh masing-masing keluarganya, berapakah penghematan yang dapat dilakukan oleh pemerintah?

Pembuatan dan penggunaan briket ramah lingkungan tentu memerlukan kajian mendalam dari setiap aspeknya, terutama aspek budaya dan hal lainnya. Masyarakat perlu diajari dengan baik bagaimana membuat dan menggunakannya. Masyarakat juga diberi tahu bagaimana manfaatnya. 

Namun yang tak kalah penting untuk kita pertanyakan adalah "Maukah pemerintah kehilangan pemasukannya dari sektor migas/LPG ini jika penggunaan briket yang diproduksi sendiri oleh masyarakat terjadi??" "Maukah pemerintah mengalah kehilangan pemasukan dari sector migas demi masyarakatnya?" 

Hemat saya sebenarnya pemerintah dapat melakukan itu dan bahkan harus melakukan itu, toh pemerintah bisa tetap menjual LPG pada sector industri? Namun semua itu memerlukan kebijaksanaan dari seluruh sektor, termasuk memperhitungkan bagainamana solusi solutif bagi masyarakat yang profesi dan mata pencahariannya tergerus oleh setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, seperti kang tukirin atau orang-orang lainnya di berbagai tempat di negeri ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun