Mohon tunggu...
Irham Bashori Hasba
Irham Bashori Hasba Mohon Tunggu... Lainnya - Sekilas Tentang Irham Bashori Hasba

Irham Bashori Hasba adalah pegiat sosial masyarakat, suka ngamati dan menuliskannya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mbok Sangreh

7 Agustus 2017   23:54 Diperbarui: 8 Agustus 2017   00:37 817
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://chillinaris.blogspot.co.id

PEREMPUAN itu menggelar dagangannya di trotoar jalan menuju kampus. Pagi mulai pukul setengah tujuh, ia sudah menata kacang sangreh yang dibungkusi contong kertas, ditata di atas besek besar berbentuk mirip antena prabola. Sore pun penataan rutin yang serupa ia lakukan, namun bedanya ada sebuah lampu templok disisi kanan beseknya. Lampu itu ia nyalakan kalau matahari benar-benar sudah tenggelam dari kota. Si Mbok Sangreh -- demikian julukan mahasiswa yang menjadi pelanggannya -- tak pernah preidari pekerjaan menjual kacang sangrai yang digemari mahasiswa.

Pada suatu sore menjelang larut, si-mbok masih belum pulang. Ia masih menunggui kacang sangrehnya dengan terkantuk-kantuk. Rupanya hari itu lagi sial, barangnya masih sisa sekitar tiga kilo dan sebelas contong. Uang yang ia capai belum mencapai bondo, sedangkan minyak temploknya sudah mencapai separuh botol. Sekitar pukul sepuluh, ia harus cepat-cepat pulang sebelum lampu antiknya itu padam kehabisan minyak.

Perihal lampu itu, ia benar-benar mengundang geli setiap orang yang melihatnya. Hal itu bukan karena bentuknya yang lucu atau karena apinya begitu besar dan menimbulkan asap hitam mengepul, tapi templok yang dia pakai berada tepat dibawah lampu pijar seribu watt yang sangat terang dan lebih dari cukup untuk para pedagang yang berjualan dibawahnya. Apalagi hanya si mbok saja yang masih menggunakan templok itu.

Seorang mahasiswa langganan sangrehnya pernah bertanya: "Mbok, kok pakai lampu templok? Apa lampu diatas kurang terang?"

"He, he, he....kamu bagaimana sih maunya, mempersoalkan templokku? Kamu anggap Mbok suka lucu-lucuan tah?," ucap si mbok dengan santai tapi bernada serius, "Mau tau to Le? Mbok pakai lampu ini sudah belasan tahun sejak ada Pak Sangreh!"

"Ooo, nostalgia nich ye?," ledek mahasiswa itu disertai tawa lepas yang diikuti temannya, "Romantis juga mbok ini?"

Mbok Sangreh tertawa lepas juga, lalu berucap dengan sangat serius: "Ya pasti nosalia dong, la bapak nemeni mbok sampek tua, susah senang bersama dengan setia sampai Gusti memanggilnya dulu......"

"Nostalgia!" koreksi salah seorang mahasiswa.

"Eh, ya, ya....dan bagiku yang terpenting halal, nak!" timpal mbok sangreh mengalihkan pandangan pada temploknya.

"Lho, kalau tidak pakai templok apa bisa haram?" tanya mahasiswa itu merasa heran dengan ucapan si mbok.

"Kalau tidak haram, Mbok pun ragu-ragu, halal apa haram?" ucap si Mbok Sangreh seenaknya, "Coba, kamu dan kamu yang dibelakang itu, lihat lampu diatas. Terang, kan?......."

"Terusss.....?" celetuk mahasiswa itu penasaran, "Maksud Mbok?"

"Siapa ndak senang terang seperti siang hari. Tapi itu justru membuat mbok gelisah betul. Lampu itu bukan untuk jualan, tapi untuk orang lewat. Untuk keamanan lingkungan. Bisa terang pakai uang negara yang tentunya uang rakyat juga. Mbok tidak ingin korupsi dengan memanfaatkan milik negara dengan berjualan memakai terangnya lampu itu. Lampu itu kan orang banyak yang bayar. Makanya Mbok tetap pakai templok!"

Kontan saja mahasiswa-mahasiswa itu tertawa lebar. Namun pada akhirnya mereka sangat kagum pada Mbok Sangreh. Perempuan Sangreh itu benar-benar perempuan teladan yang tersembunyi. Patut dijadikan cermin kehidupan ditengah jaman sekarang. Jaman dimana banyak pemimpin tidak berakhalak, tertangkap korupsi malah tersenyum tanpa salah, banyak pemimpin terkena polusi budaya korupsi dan tidak sedikit yang sudah dikrangkeng seperti berukdiWonokromo atau Ragunan atau Gembiraloka. Namun mbok sangreh benar-benar manusia langka yang jiwanya masih bersih. Hanya takut dibilang korupsi, pakai lampu umum fasilitas negara saja ia tidak mau. Seandainya para pemimpin sekarang meneladani Mbok Sangreh, pasti korupsi tidak akan terjadi, kemerdekaan benar-benar terpatri, jiwa raga pahlawan tidak sia-sia dan tidak ada prestasi rendah. Perlu kiranya figur-figur bangsa ini memiliki jiwa seperti Mbok Sangreh!

"Mbok Sangreh?," ucap salah seorang mahasiswa yang sejak awal hanya menjadi penyaksi, "Berapa harga kacang sampeyan kalau ditebas?"

"Lho, mau nebas? Jangan Le! Beli saja berapa? Kalau ditebas....."

"Lho, kenapa Mbok? Kan cepat habis. Cepat dapat uang!" celetuk temannya yang lain.

"Mbok senang kalian nebas. Dagangan mbok cepat habis. Cepat dapat uang dan cepat pulang. Tapi, mbok banyak langganan yang nanti mau beli, kalau mbok jual semua, kasihan yang biasa mampir, nak!"

Sekali lagi mereka tertawa derai. Kali ini mereka menilai mbok sangreh lebih aneh. Masa kacangnya mau ditebas merasa keberatan. Sungguh tidak rasional. Teori ekonomi apalagi itu?! Seumur-umur tidak ada pedagang yang keberatan jualannya di beli semua. Bukannya orang berjualan ingin cepat habis?

Mahasiswa itu segera menyodorkan uang lima puluh ribuan.

Mbok sangreh menggeleng-geleng. Benar-benar diluar dugaan ia menolak pembeli sangrehnya. Ucapnya tandas: "Mbok tidak ingin kalian yang biasa beli contongan langsung beli tebasan. Apapun alasannya, cara kalian salah. Menebas pada saat sekarang ini pasti karena terpaksa! Bukan murni niat membeli"

"Lho, saya tidak terpaksa, Mbok. Bener!"

"Benar ucapan, belum tentu benar di hati. Bukannya kalian barusan mau beli contongan? Karna apa lantas berubah keinginan?"

"Terus terang, saya dan teman-teman ini kagum pada ucapan Mbok, terutama masalah lampu templok tadi.."

"Nah, betul kan? Terpaksa bukan karena dengan kekerasan. Nak, bisa jadi orang terpaksa karena hal-hal yang halus dan samar-samar. Seperti rasa kagum! yang memaksamu membeli dengan cara menebas!"

"Wah, wah...boleh juga Mbok Sangreh ini?," decak salah seorang mahasiswa itu. "Kalau begitu beli tiga puluh contong sajalah!"

"Lho, kamu ini bagaimana sih. Inipun cara tebas! Sudahlah, nak. Beli yang wajar-wajar saja. Empat contong saja?"

"Yang lain buat teman-teman nanti malam, Mbok. Ada rapat...." Celetuk yang lainnya bernada serius.

"Lho, betul? Ada rapat mau dikasih sangreh?" ucap Mbok Sangreh ringan seraya memasukkan contong-contong ke dalam tas kresek, "kalau begitu boleh-boleh saja. Mbok yang ngalah!"

"Nah, begitu!," girang yang lain sambil menyambar dua atau tiga butir kacang yang belum dicontong, lalu dimasukkan ke mulutnya.

"Eh, ya. Mahasiswa sekarang kok sering rapat? Pertemuan? Apa belum selesai masalah unjuk rasa?," gumam Mbok Sangreh santai, "apa kalian mau demo lagi?"

Mendengar celoteh Mbok Sangreh serentak semua yang medengar tertawa lebar. Keren benar si Mbok ini, gumam salah seorang. Si Mbok saja sudah tahu persoalan ruwet negeri ini, tapi kenapa hanya sedikit mahasiswa yang sadar. Benar-benar jaman telah merubah segalanya.

"Ini kembaliannya. Tiga puluh contong kali seribu. Semuanya tiga puluh ribu. Kembaliannya dua puluh ribu" Mbok Sangreh menjulurkan tangannya setelah benar-benar yakin dengan hitungan uang kembalian itu.

"Sudahlah Mbok. Untuk Mbok kembaliannya buat tambahan modal sajalah!," ucap mahasiswa yang membayarnya.

"Jangan, Nak! Kamu kan masih belum kerja. Masih belajar. Jangan menghambur-hamburkan uang dari orang tua, Mboten Ilok, le!," desak Mbok Sangreh sambil berdiri memberikan sisa uangnya, "Mbok tak banyak keperluan. Bondopun cukup! Kamu sendiri pasti butuh beli buku. Jangan!"

Sambil berlari kecil, mahasiswa itu tidak menghiraukan Mbok Sangreh yang setengah berteriak, dan berlari mengejar mereka untuk mengembalikan uang kembalian yang tidak tidak mau mereka terima. Mereka bilang "sangat ikhlas" dan halal buat si-Mbok." Malah salah seorang dari tempat agak jauh berteriak, "Kalau ditolak dosaaa!!!"

Mbok Sangreh tertegun memperhatikan kelakuan empat anak muda itu. Ia masih gemetar memegang uang pemberian mereka. Sesaat pikirannya mulai diliputi berbagai pertanyaan. Halal atau haramkah uang ini? Haram atau halalkah? Mereka masih mahasiswa dan belum kerja, halalkah uang mereka yang masih memerlukan biaya untuk menuntut ilmu? Kalaupun halal, mereka anak-anak siapa? Petani? Pedagang? Tentara? Pejabat?DPR? .....atau maling?

Ah! Mbok Sangreh bertambah gemetar membayangkan asal muasal uang yang dipegangnya. Keraguannya pun benar-benar menguasai dirinya. Untung saja beberapa saat kemudian ia terigat dawuh seorang kyai bahwa apapun yang belum jelas, antara halal dan haramnya, maka mendekati subhat! Subhat! Mbok Sangreh diam seribu bahasa.

Pada saat diamnya, tiba-tiba datang pikiran yang menurutnya sangat tepat. Ia bermaksud menyerahkan uang itu kepada amal jariyah.....atau ke panti asuhan anak yatim. (Sigura-gura;#menunggu-bulan;7.8.2017)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun