Bau kampas mobil menyergap hidung. Begitu menyengat. Memenuhi udara sekitar. Ini terjadi di jalan pendakian. Deru suara mesin mobil saling bersahutan. Berjuang menuju ujung jalan yang mulai datar.
Setibanya di ujung jalan, kami mengambil arah lain. Jika kendaraan mobil dari arah bawah mengambil jalur kanan, kami menikung ke kiri. Menggeber kuda besi sejauh ratusan meter namun bau kampas seakan tertinggal di bulu hidung.
Selanjutnya, motor mengaum menyusuri jalan beton di puncak bukit. Dari kejauhan terlihat rumah-rumah yang mengecil. Sebab jaraknya cukup jauh di bawah. Bukit dan pegunungan hijau pun mengisi pandangan.
Dedaunan jagung mulai terlihat di kiri dan kanan jalan. Kami berhenti di ujung jalan beton. Setelahnya, jalanan masih tanah. Bercampur bebatuan khas pegunungan.
Ibu Petani menjawab salam yang terlontar dari mulut. Kaki kanan saya angkat melewati pagar pendek. Pagar dari jaring-jaring hitam yang membentang sepanjang batas lahan.
Sambil melanjutkan panen, kami berdiskusi. Pertanyaan kami lontarkan ke Ibu Petani. Sesekali menyeka keringat. Kaos tangan hitam melindungi tangan.
...
"Mauki, Pak?", pertanyaan meluncur dari seorang lelaki paruh bayah. Petugas survei di samping saya yang melihat Bapak melintas di jalan.
Bahunya menahan beban potongan bambu berisi air nira. Itu bahan untuk membuat gula merah.
Saya mengiyakan saja. Meneguk dari gelas yang sudah disiapkan. Segar sekali memang. Ditemani udara yang juga sedang bersahabat. Awan hitam terlihat menaungi. Menutupi bola matahari.
Di wilayah tetangga di desa yang sama, rinai hujan sudah turun membasahi jalan. Memaksa udara berbau tanah yang disiram hujan.