Data Kemiskinan Terdiri Dari Data Kemiskinan Mikro dan Data Kemiskinan Makro. Data Kemiskinan Makro Dihasilkan Oleh BPS dan dirilis 2 (kali) dalam setahun Berdasarkan Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).
Badan Pusat Statistik (BPS) merupakan lembaga pemerintah non departemen yang bertugas untuk menyediakan data sebagai dasar pijakan pengambilan kebijakan pemerintah. Sejumlah indikator penting dihasilkan seperti, Angka Inflasi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Pertumbuhan Ekonomi, dan masih banyak lagi. Salah satu data yang paling banyak menyedot perhatian adalah data kemiskinan.
Data ini seringkali dikritik oleh masyarakat, baik akademisi maupun oleh pemerintah sebagai user. Sayangnya, sebagian dari pihak pengkritik tidak terlalu paham tentang metodologi pengumpulan dan cara memaknai data. Sehingga berbagai penafsiran muncul dan menjadi bahan diskusi tanpa membaca Berita Resmi Statistik (BERES) yang dapat diunduh gratis di web BPS.
Data kemiskinan terdiri dari data kemiskinan mikro dan data kemiskinan makro. Angka kemiskinan makro dihitung berdasarkan pengeluaran makanan dan non makanan masyarakat. Data ini bersumber dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan 2 (dua) kali dalam setahun. Ratusan pertanyaan diberikan kepada responden yang terpilih secara acak (random sampling). Pertanyaan tersebut mengenai seluruh pengeluaran dan pendapatan dalam sebuah rumah tangga.
Selanjutnya, akan ditetapkan Garis Kemiskinan yang kemudian menjadi batas penentu jumlah penduduk miskin. Rilis BPS berdasarkan data Susenas per maret 2017 menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia bertambah 6900 orang menjadi 27,77 juta jiwa. Walaupun secara persentase, angka kemiskinan turun. Untuk Sulawesi Selatan, penduduk miskin mencapai 813,07 ribu orang (9,38 persen). Artinya terdapat 9 orang miskin di antara 100 orang penduduk Sulsel.
Dari jumlah sampel terpilh, hasil Susenas Maret 2017 bisa mengestimasi hingga level Kabupaten/Kota. Susenas kembali dilaksanakan oleh BPS pada bulan September 2017 ini. Hasilnya dapat digunakan untuk menghitung jumlah penduduk miskin yang diukur berdasarkan pengeluaran rumah tangga, baik makanan maupun non makanan.
Sementara pengumpulan data kemiskinan mikro terakhir kali dilakukan pada 2015 dengan tajuk Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PBDT) 2015. Data hasil PBDT 2015 diserahkan kepada Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Data ini akan diverifikasi melalui Dinas Sosial di seluruh Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.
Dari data ini, pemerintah menetapkan penerima bantuan program pengentasan kemiskinan. Seperti penerima bantuan dana Program Keluarga Harapan (PKH), Program Simpanan Keluarga Sejahtera (PSKS), Program Bantuan Siswa Miskin (BSM)/Program Indonesia Pintar (PIP), Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)/Program Indonesia Sehat (PIS), dan masih banyak program lainnya yang diharapkan mampu membantu masyarakat miskin. Jika terdapat penerima bantuan yang tidak layak, Pemerintah Desa/Kelurahan bisa mengganti penerima bantuan tersebut melalui mekanisme musyawarah tingkat Desa/Kelurahan.
Hal yang perlu menjadi perhatian adalah mengenai keparahan dan kedalaman kemiskinan. Pada Maret 2017, indeks kedalaman kemiskinan mencapai 1,83. Angka ini mengalami kenaikan dari September tahun lalu yang hanya mencatat angka 1,74. Indeks ini memberikan gambaran tentang jarak antara pengeluaran penduduk miskin dan garis kemiskinan akan semakin jauh. Hal ini menyebabkan masalah kemiskinan semakin sulit diatasi apalagi dihilangkan. Selain itu, indeks keparahan kemiskinan juga mengalami kenaikan. BPS mencatat indeks keparahan kemiskinan pada Maret 2017 mencapai 0,48, terjadi kenaikan dibandingkan September 2016 yang hanya tercatat 0,44.
Jika dilihat antara daerah perkotaan dan perdesaan, indeks kedalaman kemiskinan di wilayah perdesaan lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan. Indeks Kedalaman Kemiskinan di wilayah perdesaan mencapai 2,49, sedangkan di wilayah perdesaan hanya sebesar 1,24. Indeks Keparahan Kemiskinan juga lebih tinggi di daerah perdesaan sebesar 0,67 dibandingkan di perkotaan yang hanya mencapai 0,31. Indeks ini menunjukkan bahwa masalah kemiskinan di daerah perdesaan lebih bermasalah dibanding perkotaan.
Berdasarkan angka-angka di atas, pemerintah telah menjalankan banyak program untuk mengentaskan kemiskinan. Salah satunya adalah dengan pengucuran Dana Desa yang telah menyentuh angka miliaran rupiah per Desa. Dana ini diharapkan mampu meningkatkan tingkat perekonomian di desa, sehingga masyarakat tidak perlu pindah ke kota dan dapat membantu mengurangi masyarakat miskin.