Mohon tunggu...
Barokah WildaAlzahra
Barokah WildaAlzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa

Sayaa adalah seorang mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Radikalisme Digital : Ancaman Senyap terhadap Pancasila di Era Media Sosial

7 Juli 2025   14:10 Diperbarui: 7 Juli 2025   14:12 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

   Di tengah kemajuan teknologi dan akses internet yang semakin luas, bangsa Indonesia dihadapkan pada ancaman baru yang sifatnya tidak berwujud, tetapi sangat nyata,radikalisme dan intoleransi di dunia digital. Fenomena ini bukan hanya persoalan keamanan nasional, tetapi juga menyentuh jantung ideologi bangsa Pancasila.

   Radikalisme digital berkembang secara luas, tersebar melalui media sosial seperti TikTok, Instagram, YouTube, Telegram, dan Facebook. Kontennya sering kali dikemas dalam narasi agama, nasionalisme semu, atau kritik terhadap sistem, yang kemudian disusupi oleh ajakan untuk membenci kelompok tertentu, bahkan melawan negara. Tanpa kontrol dan literasi digital yang baik, masyarakat khususnya generasi muda menjadi sasaran empuk bagi penyebaran paham ekstrem.

   Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), pada tahun 2024, sebanyak 180.954 konten bermuatan intoleransi, ekstremisme, dan radikalisme telah diblokir oleh pemerintah bekerja sama dengan platform media sosial. Lebih lanjut, 3.000 akun penyebar ideologi radikal berhasil diputus aksesnya, namun jumlah ini hanyalah puncak gunung es.

   Kepala BNPT, Komjen Pol. Rycko Amelza Dahniel, menyatakan:
"Penyebaran paham radikal melalui media sosial merupakan tantangan baru yang sangat serius. Banyak anak muda yang terpapar tanpa sadar, karena kontennya dikemas menarik dan emosional, bukan lagi dalam bentuk ceramah konvensional." (AntaraNews, 2024)
Penetrasi digital yang tinggi di Indonesia membuat penyebaran konten radikal sangat cepat. Menurut data We Are Social (2024), terdapat lebih dari 212 juta pengguna internet aktif di Indonesia, dengan rata-rata waktu penggunaan media sosial mencapai 3 jam per hari. Anak muda usia 15-29 tahun adalah kelompok dominan yang paling aktif bersosial media kelompok yang juga paling rentan terpapar.

   Fakta bahwa 11,3% pelajar SMA setuju jika Pancasila diganti oleh ideologi agama tertentu bukan sekadar data statistik. Itu adalah peringatan serius bahwa radikalisme telah berhasil menembus tembok sekolah dan masuk ke pikiran generasi muda. Ironisnya, banyak remaja lebih akrab dengan tokoh-tokoh ekstremis di TikTok daripada dengan pahlawan nasional atau nilai Bhinneka Tunggal Ika. Pendidikan Pancasila yang selama ini diajarkan secara normatif di sekolah tidak mampu menandingi kekuatan narasi dan visualisasi konten digital yang menghipnotis. Pancasila masih dianggap sebagai teks yang hanya dibacakan  saat upacara saja, bukan untuk dibicarakan dalam video 60 detik atau konten viral. Negara gagal menjadikan Pancasila sebagai gaya hidup digital. Nilai toleransi, kebhinekaan, dan kemanusiaan seharusnya bisa dikemas dengan bahasa pop culture yang mengena. Tapi sampai hari ini, siapa yang mau membagikan poster Bhinneka Tunggal Ika jika yang trending justru teori konspirasi berbumbu agama?

   Radikalisme menang karena mereka paham satu hal penting  emosi adalah mata uang utama di media sosial. Sementara itu, negara masih sibuk menulis pidato panjang yang hanya dibaca di podium, bukan di linimasa.Banyak remaja lebih mengenal tokoh radikal yang tampil di TikTok ketimbang nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini menunjukkan adanya jurang antara pengajaran nilai-nilai Pancasila dengan realitas digital yang dihadapi anak muda saat ini.Ada ratusan bahkan ribuan kreator konten yang bisa jadi sekutu dalam menyebarkan nilai-nilai kebangsaan. Tapi pemerintah justru lebih memilih menggelar webinar sepi penonton dan kampanye formal penuh jargon. Ketika musuh sudah menggunakan drone dan AI, pemerintah masih sibuk menyebar brosur.Padahal, kekuatan narasi tidak hanya ada di kantor kementerian. Ia hidup di tangan para kreator TikTok, YouTuber, podcaster, bahkan admin meme. Tapi negara tak kunjung merangkul mereka, seolah perang ideologi ini bisa dimenangkan tanpa tentara di medan yang sebenarnya.

Setiap warga digital memiliki tanggung jawab moral menjaga ruang maya tetap sehat. Literasi digital, penyebaran konten Pancasila, dan kampanye bersama adalah langkah penting.

Berikut adalah langkah-langkah yang bisa diambil masyarakat: 

1.Meningkatkan literasi digital: Masyarakat harus memahami cara kerja algoritma, hoaks, clickbait, dan strategi penyebaran radikalisme.

2.Mengutamakan  narasi Pancasila: Konten tentang toleransi, persatuan, dan keadilan sosial harus disebarkan dengan gaya bahasa yang ringan dan visual yang menarik.

3.Kolaborasi komunitas: Komunitas lokal, sekolah, dan organisasi keagamaan harus aktif membuat kampanye digital yang menyasar remaja dan pemuda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun