Sebenarnya, tidak ada ada perbedaan antara warung kopi dan coffee shop atau cafe. Hanya bahasanya dan pengucapannya saja yang berbeda, sedangkan artinya sama yaitu, sama-sama tempat minum kopi. Selain beda kata dan pengucapan, mungkin juga beda lokasi dan harga kopi yang dijual.Â
Biasanya, coffee shop atau kafe berada di mall-mall atau pertokoan elit atau juga dikawasan yang lebih berkelas. Sehingga mereka pun membandrol harga kopi cukup fantastis. Kalau kedai kopi rata-rata keberadaan mereka di kota-kota kecil atau desa-desa. Bentuknya sederhana dan hidangannya juga tidak neko-neko.Â
Selain kopi dan teh, cemilannya paling juga gorengan. Karena, tujuan para pembeli datang ke kedai kopi sekedar untuk ngopi dan ngobrol dengan tetangga atau teman sewilayah. Bukan untuk  pamer atau juga gaya-gayaan.
Kali ini aku pengen ngebahas soal nongkrong sambil ngobrol di coffee shop dan di warung kopi. ini merupakan pengalaman yang sering aku alami dan juga mungkin kamu para pembaca blog ini juga mengalaminya.
Untuk part 1 ini, aku akan ngebahas soal nongkrong dan ngobrol di coffee shop alias kafe. Sebagai orang yang berkecimpung di dunia seni (penulis/fotografer/videographer dll), Â coffee shop sering dipakai untuk tempat meeting dengan klien atau juga dengan teman-teman. Alasannya mungkin sederhana, lokasinya tidak jauh dan berada ditengah kota. Lumayan lah menghemat waktu ketimbang harus berjibaku dengan macet menuju rumah atau kantor kerabat.
Tapi, sebelum berangkat ke lokasi, tentu banyak "printilan-printilan" yang harus dipersiapkan. Mulai dari ujung kakis ampe ujung rambut harus diperhatikan. Mau pakai pakaian apa? Sepatu apa? Celana apa? Farfum apa yng enak dipakai supaya tidak bau keringat. Juga tetek bengek lainnya harus benar-benar dipersiapkan.Â
Konon katanya, penampilan merupakan cerminan dari karakter seseorang. Meski, pepatah itu tidak selamanya benar. Namun, terkadang penampilan sering menjadi prioritas utama yang diperhatikan ketimbang "tujuan utama" pertemuan.Â
Bahkan, aku pernah datang dengan penampilan seadanya, eh, langsung menjadi  trending topic dikalangan mereka. Aku dianggap tidak menjaga penampilan, tidak menghargai pertemuan dan juga nggak malu dengan penampilan yang seadanya. Edannn!!!
Padahal menurut aku apa yang aku pakai saat itu masih dalam batas normal atau wajar. Tidak ada yang aneh atau merugikan mereka. Tapi, Ampun dah! Semua terlalu repot mengurus penampilan orang. Â Bagi mereka penampilan menjadi point of view yang begitu penting.
Obrolan pembuka saat bertemu dengan kerabat atau klien di kafe adalah;
"Lu baju baru ya? Merek apa?"
"Lu hape baru ya? Iphone/Samsung seri apa?"
"Celana baru ya? Merek apa?"
"Aroma parfume lo enak banget! Merek apa? Beli dimana?"
pokoknya semua apa yang terlihat mata seperti wajab untuk dikupas tuntas. Jika ada yang dianggap "receh" hmmm, mata mulai melirik dengan sinis. Wadoowww!!!
Begitu juga dengan yang lain, saling memperlihatkan benda baru apa yang mereka miliki. Bahkan tidak sungkan-sungkan menyebutkan merek serta harganya.
"Ini limited edition, lho. Harganya Sekian puluh juta." Katanya. Seakan tidak mau kalah, yang lain juga menyebutkan brand-brand yang menempel di tubuh mereka. Pokoknya mirip etalase berjalan deh. Sepertinya semua butuh pengakuan dan pujian.
Usai saling memperkenalkan "benda" baru yang dipunya, kemudian saling selfie, foto makanan, foto minuman yang di order, kemudian saling posting di akun sosmed. Kemudian, foto bersama dan posting juga di sosmed sambal mencenteng location keberadaan saat itu.
Setelah itu, senyappppp......
Masing-masing sudah sibuk dengan gadget-nya. Sibuk memantengi timeline sosmed cekakak cekikik sendiri sambal mata terus fokus di layar smartphone. Tidak jarang pertemuan yang dianggap ajang temu kangen menjadi basi dan garing. Tidak ada ketulusan dalam pertemuan. Mereka lebih tulus dengan smartphone mereka. Kalau pun ada obrolan itu hanya pelengkap semata dan juga basa-basi yang tidak terlalu penting. Bahkan saat ngobrol, mata mereka tetap fokus di smartphone.
Begitu juga kalau meeting dengan klien. Yang sering terjadi beda tipis dengan meet up dengan teman-teman. Topik utama yang dibahas hanya setengah hingga 1 jam saja. Selebihnya membahas impian-impian yang menurut aku terlalu tinggi.
Pernah beberapa kali meeting membahas project yang akan dikerjakan, rekan meeting menuangkan ide masing-masing, kemudian ide tersebut akan dikolaborasikan dengan ide setiap rekan meeting. Sepertinya ide-ide tersebut begitu brilliant dengan hitungan bujet yang juga fantastis.Â
Tapi, seminggu, sebulan dua bulan setelah meeting belum juga menemukan realisasi. Semua masih sebatas impian yang entah kapan bisa diwujudkan. Masih sebatas wacana semata.
Namun, lagi-lagi, datang ke coffee shop lebih mengedepankan penampilan dari pada tujuan meeting itu sendiri.
Bagaimana dengan Meeting di Warung kopi?
Tunggu kelanjutan kisah ini.