Oleh: Bari Rafi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Andalas
Usia 19 tahun seharusnya menjadi masa penuh semangat, harapan, dan pencarian jati diri. Namun, bagi Mayang Aura Syahrini, semuanya terasa kabur dan membingungkan. Di balik aktivitas dan senyum yang terlihat dari luar, ada satu hal yang pelan-pelan hilang: dirinya sendiri.
Mayang berasal dari keluarga yang sangat peduli pada masa depannya. Namun, perhatian itu sering berubah menjadi tekanan. Ia diminta aktif di organisasi kampus, mengejar prestasi akademik, dan tampil sebagai mahasiswa ideal. Semua itu terdengar mulia, tetapi tidak semua dilakukan dengan hati.
“Aku nggak tahu lagi kenapa aku ikut semua ini,” ujar Mayang suatu hari kepada sahabatnya. Kalimat sederhana, namun sarat makna. Ia mulai menyadari bahwa hidup yang dijalaninya bukan sepenuhnya miliknya.
Hari-hari Mayang penuh dengan kegiatan yang padat. Tapi semakin banyak yang ia lakukan, semakin kosong rasanya. Ia merasa seperti hidup hanya untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Kebingungan itu terus mengendap: apa sebenarnya tujuan semua ini? Mengapa ia merasa tidak bahagia, padahal dari luar terlihat seperti ‘anak yang baik-baik saja’?
Perasaan lelah dan sedih semakin sering datang. Bukan lelah karena aktivitas, tapi lelah karena kehilangan arah. Mayang merasakan dirinya mulai jauh dari jati diri yang dulu ia kenal.
Fenomena seperti yang dialami Mayang ini bukan hal yang jarang ditemui di kalangan anak muda saat ini. Menurut riset dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2022, sekitar 1 dari 7 remaja berusia 10-19 tahun mengalami masalah kesehatan mental, termasuk kecemasan dan depresi. Tekanan akademik, tuntutan keluarga, dan ekspektasi sosial menjadi faktor utama yang memicu kondisi ini.
Lebih jauh, studi dari American Psychological Association (APA) mengungkapkan bahwa banyak remaja dan mahasiswa mengalami pola hidup “sibuk tapi kosong”. Mereka terus-menerus melakukan aktivitas demi memenuhi standar lingkungan, namun merasa tidak puas atau bahagia secara pribadi. Kondisi ini rentan menyebabkan burnout dan perasaan kehilangan jati diri yang mendalam.
Media sosial juga memainkan peran penting. Survei Pew Research Center tahun 2023 menunjukkan bahwa sekitar 59% remaja merasa media sosial membuat mereka merasa kurang dibandingkan teman sebaya, yang berujung pada penurunan kepercayaan diri dan citra diri yang negatif.