Mohon tunggu...
Banta Johan
Banta Johan Mohon Tunggu... Pekerja Sosial

Saya adalah seorang pekerja sosial. Saya menyukai kegiatan membaca dan menulis dan mempelajari banyak hal-hal.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Warisan dari Ayah

19 September 2025   19:51 Diperbarui: 19 September 2025   19:51 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto dari Google

Dari ujung pulau Sumatra, tiga hari setelah bencana gelombang Tsunami menyapu kampung kami. Setelah air laut susut kembali, tanah menjadi kering, dan matahari bersinar terik. Dari tenda pengungsi, orang-orang kembali ke rumah masing-masing. Demikian juga keluarga kami. Banyak orang yang kehilangan rumahnya. Jadi mereka hanya menyaksikan sisa-sisa bangunan. Rumah kami masih tegak berdiri. Hanya kerusakan kecil saja. Kami tak perlu kembali ke tempat penampungan pengungsi lagi. Saya bersyukur. Kala itu umur saya 14 tahun. Saya duduk di kelas 3 SMP.

Saya menyaksikan. Hal pertama yang ayah lakukan setiba di rumah adalah mengeluarkan buku-bukunya yang basah karena telah terendam oleh air laut. Ia dengan tekun menjemur buku-buku itu di bawah sinar matahari. Buku-buku yang kertasnya sudah menguning dan kotor dengan lumpur. Hari itu seharian ia mengurus buku-bukunya. Saya melihatnya dengan terpana.

Adegan itu begitu melekat kuat dalam ingatan saya sampai sekarang. Ayah begitu mencintai buku-bukunya. Dan dari sana saya mulai mengikuti ayah. Mencintai buku-buku lalu jatuh pada kegemaran membaca. Saya anak yang pendiam, pemalu dan penakut. Dengan masa kecil saya yang tidak begitu menyenangkan, buku menjadi teman baik saya.

Saya tidak begitu pandai dalam bergaul. Maka yang menjadi teman baik saya selain buku, ya ayah saya. Sebagai guru sejarah, Ia memberondong saya dengan cerita-ceritanya. Ia suka bercerita dan saya senang mendengarnya. Ia menyukai kegiatan membaca buku, mencatat dan berkebun. Ia rajin mengkliping koran-koran lama. Maka tak heran di rumah saya berjibun koran-koran bekas bahkan banyak koran yang terbit sebelum saya lahir. Ia membagikan kepada saya pengalaman hidupnya dengan segala yang ia sukai dan mewariskannya kepada saya. Dan beruntungnya saya menyukai apa yang ia wariskan: kegemaran membaca, menulis dan juga berkebun.

Dengan buku sebagai sahabat setia yang menemani masa remaja saya, saya menyelam kedalamnya, menikmati setiap petualangan pada buku-buku cerita. Namun hubungan saya dengan buku tidak berjalan baik-baik saja. Ada yang coba memisahkan kami. Ceritanya begini: pada waktu kelas 3 SMA, teman kelas saya memergoki saya yang sedang membaca novel di kelas. Mereka mengejek saya habis-habisan.

"Anak cowok kok baca novel? tidak macho. Duh anak kutu buku ini." Kata mereka dan seisi kelas tertawa. Saya menunduk dan tidak mampu membela diri. Saya merasa sangat malu.

Peristiwa itu begitu memukul diri saya. Dan saya mempertanyakan kembali kegemaran membaca buku pada diri sendiri. Sebab itu saya memutuskan tidak membaca buku lagi. Lalu suatu ketika ayah bertanya kepada saya:

"Ayah lihat kau tidak pernah membaca buku lagi, Johan."

"Mereka mengejek saya si kutu buku."

"Kau berhenti membaca karena ejekan mereka?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun