Mohon tunggu...
Banna Rosyid M
Banna Rosyid M Mohon Tunggu... Freelancer

Introvert yang senang dengan kesendirian dan meluapkan emosinya dengan menulis apa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Di Antara Keheningan dan Kejang, Aku Masih Bertahan

6 Mei 2025   06:35 Diperbarui: 5 Mei 2025   09:59 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source: baystatehealth.org

Tak ada yang benar-benar siap ketika hidup tiba-tiba berubah arah. Begitu pula aku—seorang yang awalnya biasa saja, menjalani hari-hari seperti manusia lainnya, dengan harapan-harapan kecil dan rencana-rencana sederhana. Hingga suatu hari, tubuhku mulai memberontak, dan sejak saat itu, aku mengenal apa itu epilepsi. Saat itu aku agak kurang ingat, namun masih berusia kira-kira kelas 4 SD.

Saat itulah kejang pertama datang seperti badai di tengah langit cerah. Aku tidak tahu harus merasa apa—panik, bingung, takut. Aku hanya ingat tubuhku terasa tidak lagi milikku. Aku jatuh. Dunia seakan menjadi hitam putih. Orang-orang di sekelilingku panik, dan aku? Aku bahkan tidak ingat apa yang sebenarnya terjadi.

Saat itulah dokter mengucapkan kata yang akan selalu kuingat: epilepsi. Sebuah diagnosis yang begitu sederhana diucapkan, tapi begitu berat untuk kuterima. Ada kekosongan yang mencekam di dalam dadaku. Dalam diam, aku bertanya: Kenapa aku?

Hari-hari setelahnya bukan hanya tentang menelan pil tiga kali sehari. Bukan hanya tentang menjaga jadwal tidur, menghindari stres, atau membatasi aktivitas. Lebih dari itu, hari-hariku adalah tentang bertahan dari rasa takut akan kambuh yang bisa datang kapan saja. Aku bisa saja sedang tertawa bersama teman, duduk di kelas, atau bahkan sedang berjalan di tengah keramaian—lalu tubuhku jatuh dan menggigil tanpa kendali.

Aku sering merasa malu. Tak jarang aku menahan air mata ketika orang memandangku dengan tatapan kasihan, atau lebih buruk lagi, tatapan curiga. Aku bukan gila. Aku hanya sakit. Tapi tak semua orang bisa memahami itu. Dan itu menyakitkan.

Setiap pagi, siang, dan malam, aku minum obat. Tiga kali sehari, tanpa henti. Tidak boleh lupa. Tidak boleh terlambat. Obat-obat itu seperti rantai yang mengikatku dengan realitas. Kadang aku muak. Kadang aku ingin memberontak dan berhenti. Tapi aku tahu... aku tak bisa. Jika aku lengah, satu serangan bisa membawa lebih dari sekadar kejang—itu bisa merenggut kehidupanku.

Namun, di balik semua kesulitan itu, aku mulai mengenal diriku sendiri lebih dalam. Aku belajar untuk lebih menghargai setiap detik ketika tubuhku tenang. Aku belajar untuk tidak mengeluh pada hari-hari yang biasa, karena hari biasa itu adalah anugerah bagi orang sepertiku.

Aku juga belajar untuk mencintai diriku, bukan meskipun aku sakit, tetapi karena aku tetap berdiri meski aku sakit. Aku kuat. Aku berani. Aku istimewa bukan karena aku bebas dari penyakit, tetapi karena aku tidak menyerah.

Ada malam-malam yang masih kulalui dengan air mata. Ada pagi-pagi yang dimulai dengan rasa takut. Tapi di balik semua itu, aku memilih untuk terus melangkah. Mungkin langkahku tidak secepat dulu. Mungkin aku lebih sering berhenti untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Tapi aku melangkah. Dan itu cukup.

Epilepsi mengajariku bahwa hidup bukan tentang seberapa sempurna kita, tapi tentang bagaimana kita menghadapi kekurangan dengan kepala tegak. Aku mungkin hidup dalam bayang-bayang kejang, tapi aku juga hidup dalam cahaya harapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun