Atas kejadian tersebut, aku berjanji terhadap diri sendiri dan bermohon kepada Allah Swt. kiranya janjiku ini dapat menurun ke dalam diri keluarga, anak-cucu dan keturunannya.Â
Perbuatan apapun dari orang terhadap diriku, akan aku terima dengan ikhlas dan sabar, dan kesemuanya itu aku kembalikan kepada Allah Swt. Tuhan Yang Maha Kuasa. Namun sebaliknya, bila aku, keluarga, anak-cucu dan keturunannya akan berbuat hal serupa kepada orang lain, hendaklah berpikir 1000 kali terlebih dahulu sebelum berbuat.
Tiba saatnya aku akan pulang ke Yogyakarta, adik perempuan yang nomer 2 mau ikut dan ingin sekolah di Sekolah Asisten Apoteker (SAA). Karena diizinkan orang tua, selanjutnya aku pulang ke Yogyakarta bersama adik. Tahun 1971, bea hidup untuk kami berdua dikirim uang Rp 8.000,- setiap bulannya. Setiap menerima uang bulanan Rp 8.000,-, tidak aku bagi 2 masing-masing Rp 4.000,-. Karena kalau dibagi 2 sama, tentu aku akan banyak sisanya, sedangkan adik tidak mungkin memegang uang.
Begini cara aku membagikan. Bila menerima kiriman uang, aku rinci bersama adik kebutuhan berdua selama 1 bulan. Untuk membeli beras, lauk pauk, gula, sabun, pasta gigi, minyak tanah, uang sekolah adik dan lain-lain keperluan, ditotal berapa jumlahnya. Adik yang bertugas membeli barang-barang kebutuhan sesuai dengan rincian tadi. Sisa akhir dari uang itulah yang dibagi 2 sama. Uang sisa inilah yang aku gunakan untuk keperluan sehari-hari selama 1 bulan, dan yang jelas habis untuk membeli buku.
Setelah sekolah di Yogyakarta, pada liburan kuartal pertama adik minta diantarkan ke Pemalang untuk berkenalan dengan kerabat bapak. Aku menyanggupinya tetapi siang, karena pagi hari ada responsi parasitologi. Kami berangkat dari Yogyakarta sekitar pukul 13.00 wib. dan tiba di kediaman saudara sekitar pukul 21.00 wib. Karena tidak libur, maka pagi hari berikutnya aku pamit pulang ke Yogyakarta. Dan nanti setelah mendekati masa liburan berakhir, adik akan aku jemput.
Pulang dari Pemalang tanggal 15 April 1971, dengan naik bus. Sampai di tengah hutan jati yang dikenal dengan sebutan alas roban, sepertinya ada sesuatu yang aku terima. Lupa saat itu, apakah waktu itu aku dalam keadaan sadar atau tertidur di dalam bus. Sesuatu yang aku terima sesungguhnya berupa sebuah kalimat, dan agar tidak lupa lalu menulisnya. Kalimat tersebut aku tulis dengan cara tersamar sebagai cita-cita, sebagai berikut.Â
A Â Â D N G N Â T A Â A J Â P U T A U Â J Â E K A S A T M A
  K E A E  A  K D A T D R Y D  I  R G S G R N N P  R
  H U M K G N  R E  I  H K A R A N AN E A A A P  H IÂ
Penulisan disamarkan, agar tidak semua orang dapat mengetahui bunyi kalimat yang  sesungguhnya. Namun karena sudah lama terpendam, dan saat ini sudah purna tugas sebagai Pegawai Negeri Sipil, kiranya sudah saatnya aku harus membuka tabir yang menyelimuti cita-citaku selama ini. Dengan harapan, agar dapat diketahui dan menginspirasi anak-cucu dan keturunannya dalam arti luas.Â
Untuk dapat membunyikan 3 deretan huruf tersebut, berikut kunci cara membacanya, diawali dari hurup A serong kanan ke bawah, ke kiri. Terus serong kanan ke atas, ke kiri. Diteruskan serong kanan ke bawah, ke kiri. Serong kanan ke atas, ke kiri, dan seterusnya dan seterusnya, hingga hurup terakhir.