Mohon tunggu...
Bangun Sayekti
Bangun Sayekti Mohon Tunggu... Apoteker - Sarjana, Apoteker

Pendidikan terakhir, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta: Sarjana lulus November 1975, Apoteker lulus Maret 1977. Profesi Apoteker, dengan nama Apotek Sido Waras, sampai sekarang. Pensiunan Pegawai Negeri Sipil tahun 2003, dengan jabatan terakhir Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Lampung Timur. Dosen Jurusan Farmasi, Fakultas MIPA Universitas Tulang Bawang Bandar Lampung, Januari 2005 sampai dengan Desember 2015.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ayat Tak Terbaca

13 Juni 2020   12:27 Diperbarui: 13 Juni 2020   12:24 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Namun demikian, adakah diantara kita yang terbersit dalam pikiran untuk membaca dan memahami makna keberadaan udara bagi pembangunan akhlak kita? Kita sepakat, kalau di daratan ini ada udara. Kita sepakat, kalau di atas gunung itu ada udara. Kita sepakat, kalau di atas samudera itu ada udara. Kita sepakat, kalau di lembah dan ngarai itu ada udara. Dari sederet kesepakatan tadi, hendaklah dapat mengingatkan kita, bahwa udara itu dapat berada di mana saja. Dan dapat menempati ruang kosong di manapun berada, serta menempatkan diri sesuai bentuk ruang di mana dia berada. Lalu apa makna semua itu, dan apa kaitannya dengan kita?

Salah satu maknanya, manusia hendaklah memiliki sifat -- sifat layaknya udara. Artinya, manusia itu hendaklah dapat dan mau bergaul dengan sesama. Tanpa membeda -- bedakan derajat, pangkat dan jabatan, serta tanpa membeda - bedakan agama, ras, suku, golongan dan status sosial ekonominya. Hendaklah tidak mentang -- mentang menjadi pejabat apakah formal atau non formal, maunya hanya bergaul dengan sesama pejabat yang setingkat dan atau pejabat yang lebih tinggi saja. Tidak mau bergaul, dengan masyarakat luas pada umumnya. Mari introspeksi dan bergegas hijrah, mumpung masih punya waktu untuk memperbaiki diri.

Tanah. Sejak zaman dahulu Indonesia dikenal sebagai Negara agraris, yang kaya akan sumber daya alamnya. Sehingga di zaman kerajaan dahulu, Indonesia khususnya pulau Jawa dijuluki dengan sebutan Jawa Dwipa (kaya akan beras) dan Swarna Dwipa (kaya akan emas) dan lain -- lain. 

Atas kekayaan alam tadi oleh para pendahulu bangsa, Indonesia digambarkan sebagai satu Negara dalam jagad pewayangan yang dideskripsikan sebagai berikut; Indonesia kadyo nagari ingkang: panjang, punjung, pasir, wukir, loh jinawi. Panjang dowo pocapane, punjung luhur kawibawane, pasir samodro, wukir gunung, loh subur kang sarwo tinandur, jinawi murah kang sarwo tinuku.

Panjang dowo pocapane, artinya gema negara kita sangat luas dan jauh sampai ke manca negara. Punjung luhur kawibawane, artinya disegani oleh negara di dunia ini. Pasir samodro, artinya negara kita adalah negara maritim yang memiliki lautan sangat luas dan kaya akan sumber daya laut. 

Wukir gunung, artinya negara kita juga dikenal dengan kesuburan tanah dan panorama alam pegunungan nan indah sebagai obyek wisata. Loh subur kang sarwo tinandur, artinya semua tanaman yang ditanam tumbuh subur dan menghasilkan. Serta jinawi murah kang sarwo tinuku, artinya apapun yang diperjual belikan di Negara kita murah atau daya beli masyarakatnya tinggi. Dan atau barang yang dihasilkan melimpah, melebihi kebutuhan masyarakat atas kemampuan sendiri ( berdikari ). 

Singkatnya, kondisi sebagaimana digambarkan dalam jagad pewayangan tadi, tidak lain adalah cita - cita yang ingin diwujudkan oleh para pendahulu atau para pendiri bangsa kita. Yaitu masyarakat yang adil dan makmur, materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila dan Undang - Undang Dasar 1945, dengan direkat semboyan Bhineka Tunggal Ika, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kaitan dengan pokok bahasan ini, ingin menunjukkan betapa suburnya tanah Indonesia yang kita cintai ini. Dan yang harus tetap kita jaga kelestariannya, walau diolah dengan cara apapun dan sampai kapanpun. Kalau dibandingkan cara pengolahan tanah dikala itu, dengan pengolahan tanah saat ini tentunya sudah mengalami perubahan. 

Kalau dulu untuk mengolah tanah mungkin hanya menggunakan cangkul, ganco, garpu, luku, garu dan lain sebagainya yang masih sederhana dan tradisional. Saat ini tentunya dengan kemajuan teknologi, sudah berubah dengan menggunakan mesin, walau prinsipnya sama, yaitu untuk mengolah tanah hingga lahan siap ditanami.

Mari kita bayangkan, andaikan tanah mempunyai syaraf perasa layaknya manusia. Kira -- kira kita dapat tidak membayangkan, betapa sakit dan menderitanya sang tanah tadi. Setiap harinya, oleh pak tani dicangkul atau diluku atau  dibajak, digaru dan lain - lain. Kemudian ditanami, yang pada dasarnya juga disakiti dengan memasukkan benih kedalamnya?

Kita semua kiranya dapat membayangkan, akan pekaklah telinga manusia yang setiap harinya mendengar jerit tangis, atau raungan sang tanah yang merasakan sakit akibat perbuatan pak tani tadi. Tetapi sampai detik ini, kita tidak pernah mengetahui atau mendengar, ada petani yang menderita sakit atau sekarat, akibat perbuatannya dibalas dengan timpukan bongkahan tanah, oleh tanah yang disakiti pak tani? Tidak pernah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun