Mohon tunggu...
Bangun Sayekti
Bangun Sayekti Mohon Tunggu... Apoteker - Sarjana, Apoteker

Pendidikan terakhir, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta: Sarjana lulus November 1975, Apoteker lulus Maret 1977. Profesi Apoteker, dengan nama Apotek Sido Waras, sampai sekarang. Pensiunan Pegawai Negeri Sipil tahun 2003, dengan jabatan terakhir Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Lampung Timur. Dosen Jurusan Farmasi, Fakultas MIPA Universitas Tulang Bawang Bandar Lampung, Januari 2005 sampai dengan Desember 2015.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sabar dalam Penderitaan

27 Agustus 2017   21:22 Diperbarui: 27 Agustus 2017   21:31 625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Judul Sabar Dalam Penderitaan,pada dasarnya adalah penggalan dari surat Al Baqarah Ayat 177, yang hendaknya diaktualisasikan dalam bentuk perbuatan nyata sebagai upaya nyata dalam menggapai derajat takwa. Mengapa demikian? Untuk memahami makna yang terkandung didalam judul dimaksud, izinkan aku menceritakan kisah nyata seorang kakek. Si kakek berusia sekitar 69 tahun, lahir di Metro Lampung, dan pernah menimba ilmu di Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta angkatan tahun 1969. Dimasa aktifnya, si kakek mengawali tugas dinasnya di Balai Industri Semarang Jawa Tengah, kemudian pindah ke Kantor Wilayah Departemen Perindustrian Lampung. 

Berikut kisah nyata si kakek. Dalam upaya menumbuh kembangkan Industri Kecil, Departemen Perindustrian menggulirkan program bapak angkat -- anak angkat. Program ini mewajibkan Badan Usaha Milik Negara ( BUMN ), menyisihkan laba bersihnya 3 sampai 5 % untuk pembinaan Industri Kecil. Program bapak angkat -- anak angkat, melibatkan beberapa institusi diantaranya Departemen Perindustrian, BUMN, Perbankan, Perdagangan dan lain -- lain. Seringnya bekerja secara berkoordinasi dengan perbankan dalam membina Industri Kecil, si kakek akrab dengan pemimpin Bank. Diantaranya Kepala Bank Pembangunan Indonesia ( Bapindo ) bapak Drs. S, inisial namanya.

Suatu saat, si kakek berkunjung ke kantor beliau membicarakan kemungkinan Bapindo berperan dalam program bapak angkat -- anak angkat, sampai hal -- hal yang bersifat pribadi. Tak luput pak S. bertanya kepada si kakek, kalau bapak bertugas sebagai apa? Tanya beliau. Mendengar pertanyaan ini, si kakek menjawab : sebagai kontraktor pak. Dengan nada terkejut, beliau lalu berkata, katanya di Perindustrian, kok kontraktor itu ceritanya bagaimana, pak? Betul Pak S. kalau dinas saya memang di Kanwil Perindustrian. Tetapi kalau setelah saya bekerja disini selama 6 tahun, rumah setiap tahunnya masih berpikir kotrak disana, pindah kontrak disini dan seterusnya, itu berarti saya seorang kontraktor. Sambil bergumam beliau berkata, pak, pak, bekerja ya bekerja, tetapi diri sendiri mbok ya dipikirkan, jangan hanya memikirkan orang lain saja. Masak sudah disini selama 6 tahun, rumah saja belum punya. Sudah sekarang saya akan memejamkan mata, bapak mau pinjam uang berapa untuk membangun rumah, asal dikembalikan dalam waktu 2 tahun dengan bunga 20 % per tahun. 

Terima kasih pak, tetapi bapak tentunya mengetahui bahwa peraturan pegawai negeri dari Sabang sampai Merauke sama. Jadi apa mungkin dengan gaji pegawai negeri yang saya terima, saya dapat mengembalikan pinjaman dalam waktu 2 tahun? Jawab si kakek. Ya sudah, potong pak S. Nanti saya kenalkan dengan Kepala Bank Tabungan Negara (BTN ), sambung pak S. Setelah dipicu dan dipacu oleh kata - kata pak S, si kakek bersama istri jalan -- jalan naik sepeda motor ke Perumnas Way Halim. Karena kendaraan si kakek selaku Kepala Bidang Industri Kecil, berupa sepeda motor si kakek sendiri yang dibawa dari Semarang, sedangkan kendaraan pribadi roda 4 bawaan dari Semarang sudah dijual untuk mengontrak rumah. Singkat ceritanya menemukan rumah yang mau dijual, lokasinya dekat dengan dokter, dekat dengan pasar perumnas dan dekat dengan masjid.

Selanjutnya  si kakek menemui pemilik rumah dan berembuk, akhirnya dicapai kesepakatan harga. Namun si kakek baru punya uang Rp 7.500.000,- sebagai uang muka, dan mengharap pemilik rumah berkenan membantu, agar dapat mendapat pinjaman Bank, pinta si kakek. Bersyukurnya pemilik rumah percaya dan bersedia membantu, sehingga beliau berkenan memberi kuitansi senilai harga kesepakatan, menyerahkan sertifikat  tanah dan bangunan aslinya, untuk dilampirkan dalam dokumen pengajuan pinjaman di BTN.

Apa yang telah dilakukan si kakek, kemudian diinformasikan kepada Pak S. Esok paginya pak S menghubungi lewat telepon dan mengatakan, bapak hari ini ditunggu pimpinan BTN di kantornya sebelum pukul 12.00 wib, kata beliau. Siap pak, jawab si kakek. Si kakek bergegas menuju BTN dan minta izin kepada petugas, untuk menemui pimpinannya. Setelah bertemu dengan pimpinan BTN, si kakek langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Mau pinjam berapa, pak? Tanya pimpinan BTN pak G inisial namanya. Si kakek menjawab, rumah itu ditawarkan Rp 40.000.000,-, tetapi kalau mungkin, saya mau pinjam lebih dari itu. Karena saya Apoteker, jadi berharap agar di rumah tersebut dapat membuka Apotek, jelas si kakek. Pak G lalu bilang, ya sudah diajukan saja Rp 50.000.000,-  dan memberi tahu realisasi pinjaman sekitar 1 bulan. Pulang dari BTN si kakek membawa form isian, yang harus diisi dan diserahkan kembali ke BTN. Form isian segera diisi, setelah berkas terisi lengkap, si kakek segera menyampaikannya ke BTN.

Singkat ceritanya, permohonan disetujui. Namun si kakek memperkirakan, pinjaman tidak mungkin dapat terealisasi dalam waktu 1 bulan. Padahal si kakek sudah mengatakan kepada pemilik rumah, insya-Allah tanggal 1 Oktober 1993 kekurangan pembayaran rumah dapat dilunasi. Dalam situasi seperti itu, tanpa diduga seorang pengusaha konveksi berkunjung ke kantor. Setelah saling kabar mengabarkan, si kakek menceritakan kronologis mau membeli rumah dan sekarang tinggal menunggu realisasi pencairan dana dari BTN. Karena saya perkirakan realisasi pinjaman akan melampaui tanggal yang saya janjikan kepada pemilik rumah, kalau mungkin dan berkenan tolong saya dibantu dana dulu untuk melunasinya pak? Pinta si kakek. Kapan pelunasannya  pak, tanya pak SA inisial nama pengusaha konveksi. 1 Oktober pak, jawab si kakek. Siap pak saya bisa bantu, toh masih ada waktu sekitar 10 hari lagi untuk kumpul -- kumpul uang.

Sesuai waktu yang direncanakan pak SA mengantarkan uang ke kantor, setelah diterima lalu berkata kepada Pak SA terima kasih, berkat bantuan bapak insya-Allah hari ini saya jadi punya rumah, kata si kakek. Setelah membawa uang pelunasan, si kakek bersama istrinya berangkat menemui pemilik rumah di Way Halim. Selanjutnya si kakek serahkan uang pelunasannya kepada pemilik rumah, dengan mengucapkan terima kasih atas kepercayaan dan bantuannya. Penyerahan uang ini tidak memakai tanda terima lagi, karena sertifikat tanah dan bangunan yang asli, serta kuitansi pembelian sudah diterima si kakek sebelumnya, untuk dilampirkan sebagai persyaratan dalam pengajuan pinjaman ke BTN.

Selang beberapa hari dari pelunasan pembayaran rumah, si kakek mendapat kabar kalau dana pinjaman dari BTN cair. Selanjutnya si kakek memberi tahu pak SA agar pada tanggal yang ditentukan, bersama si kakek ke BTN untuk mengambil dana pinjaman. Pada saatnya, si kakek dan pak SA ke BTN, untuk mengambil uang.  Dana pinjaman yang diberikan kepada si kakek seluruhnya Rp 35.000.000,-, yang Rp 32.500.000,- dengan mengucap terima kasih langsung diterimakan kepada pak SA, sebagai pelunasan pinjaman si kakek. 

Alhamdulillah, atas perkenan Allah Swt. Tuhan Yang Maha Kuasa, akhirnya si kakek dan keluarganya boyongan menempati rumah baru, pada bulan Oktober 1993. Beralamat di jalan Gunung Rajabasah Raya Blok E No. 06 Perumnas Way Halim, Bandar Lampung. Dan yang kebetulan, disebagian rumah ini sebelumnya digunakan sebagai mini market oleh pemilik lamanya. Sudah barang tentu, rak -- rak barang dari kayu dan sebuah etalase kaca berukuran panjang sekitar 1 meter dan  etalase lainnya sudah ada dan  sudah termasuk harga tanah dan bangunan. Karena memang, oleh pemilik lamanya tidak dibawa pindah ke Padang. Dirumah inilah, si kakek mengajukan izin Apotek dengan nama Apotek Sido Waras. Setelah diteliti secara administrative lengkap, dilanjutkan peninjauan ke lokasi. Karena dinilai semua persyaratan pendirian Apotek terpenuhi, maka terbitlah Surat Izin Apotek ( SIA ) dengan nomor : 055 / SIA / 1994, tanggal 5 Maret 1994. Si kakek bertindak selaku Apoteker Pengelola Apotek ( APA ) dan Pemilik Sarana Apotek ( PSA ).

Mengetahui kondisi keuangan si kakek, maka agar Apotek Sido Waras segera dapat melayani masyarakat, sejawat Drs. AM, Apt. Pemilik Sarana Apotek Gajah Mada yang beralamat di Jalan Gajah Mada Bandar Lampung, menyarankan agar si kakek ke Apoteknya, untuk mengambil obat -- obatan yang ada disana. Atas saran beliau tadi, si kakek dan keluarga lalu menyiapkan kotak -- kotak obat. Kotak obat, dibuat dari bahan lembaran karton yang biasa digunakan untuk kotak nasi. Sedangkan nama Apotek Sido Waras, dibuat sendiri oleh si kakek menggunakan kertas tempel berwarna merah. Setelah nama Apotek siap, kemudian ditempelkan pada dinding kaca. 

Obat -- obatan yang diambil dari Apotek Gajah Mada, total nilai uangnya sekitar Rp 8.000.000,- dibayar dengan mengangsur. Apotek Gajah Mada hanya mengambil keuntungan 5 % saja dari obat yang diambil. Karena niatnya memang, agar Apotek Sido Waras dapat segera melayani masyarakat. Demikian juga  sejawat Drs. IS, Apt. melalui PBF-nya Enggal Perdana, memberikan pengadaan obat kepada Apotek Sido Waras secara kredit, meski Apotek baru. Bahkan baru ditagihkan, setelah 8 bulan Apotek Sido Waras berjalan. Untuk jenis obat luar yang dijual bebas, pengadaannya melalui pembelian secara tunai. Total pembelian obat bebas dari Toko Obat, nilainya sekitar Rp 4.000.000,-. Sudah barang tentu masing -- masing obat, baru dapat menyediakan 2 sampai dengan 3 buah saja. Itupun belum lengkap, dan diperkirakan jenis obatnya yang sering dipakai masyarakat.

Setelah semua obat -- obat tersedia, kemudian ditata sesuai kelompoknya. Kelompok obat bebas, ditempatkan dietalase dan rak luar. Sedangkan obat yang dari Apotek Gajah Mada, ditata di rak dalam secara alfabetik untuk memudahkan pencariannya. Sungguh unik memang dalam satu Apotek semua kotak obatnya berwarna putih, dan setiap kotaknya diberi nama sesuai obat yang ada didalamnya. Puji syukur si kakek panjatkan kehadirat Allah Swt. Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas izin dan perkenan-Nya pada tanggal 4 April 1994 ( 4/4/94 ), APOTEK SIDO WARAS secara resmi dibuka dan dapat melayani masyarakat.

Pada awal buka, Apotek Sido Waras memberi servis antaran obat gratis ke rumah si pasien yang menebus resep di Apotek. Ternyata pasien umumnya malah tidak percaya, mana ada apotek mengantarkan obat ke rumah si pasien, kilah mereka. Sebenarnya ini hanya untuk resep, yang obatnya belum ada di Apotek Sido Waras. Si pasien, disarankan untuk menunggu obatnya di rumah, setelah diminta alamat rumah dan nomor teleponnya. Waktu itulah yang dipergunakan si kakek untuk mengambil obat ke Apotek Gajah Mada yang berjarak sekitar 6 km dari Apotek, menggunakan sepeda motor. Setelah si kakek datang membawa obat yang dibutuhkan, kemudian diracik sesuai dengan resep dokter. Setelah selesai diberi etiket, si kakek berangkat lagi mengantarkan obatnya ke rumah si pasien.             

Namanya Apotek baru, sudah barang tentu masih perlu banyak pembenahan disana sini. Rak -- rak yang kurang rapih, dirapihkan sendiri. Mengerjakan perapihan ini, tentunya hanya dapat dilakukan dihari minggu atau dihari libur. Hari minggu atau hari libur Apotek tetap buka dan melayani pasien, karena tempatnya menyatu dengan rumah tinggal. Suatu waktu terjadi hal yang menggelikan, saat si kakek bertindak sebagai tukang sedang membenahi rak-rak obat. Dalam posisi sebagai tukang, tentunya pakaian juga menyesuaikan. Waktu itu si kakek memakai topi kerja, celana pendek, kaos singlet saja dan sedang memegang palu. Datang tukang gerobak, yang saat itu di apotek hanya ada si kakek. Melihat ada orang datang, spontan si kakek berhenti bekerja dan dengan membawa palu menyapa. Mas apa yang bisa saya bantu? tidak dijawab. Si kakek mengulang lagi pertanyaannya, mas mau memerlukan obat apa? tetap tidak dijawab. Akhirnya si kakek masuk, memanggil istrinya. Setelah istri yang menemui, baru si tukang gerobak mau berkomunikasi. Setelah orangnya pergi, si kakek tertawa dan berkelakar. Si tukang gerobak tadi dalam benaknya pasti ngomong, tukang kayu saja tahu obat apa. Paling banter, tahunya paku dan palu. Tidak tahu dia, kalau si tukang itu adalah Apotekernya. Disini si kakek dapat memperoleh bukti, kebenaran akan peribahasa Jawa atau sanepan Jawa yang mengatakan : Ajining diri dumunung ono ing lati, ajining rogo dumunung ono ing busono. Arti harfiahnya kira -- kira demikian : Harga diri seseorang terletak pada tutur katanya, penampilan seseorang terletak pada busana yang dikenakannya. 

Alhamdulillah, walau si kakek seorang Apoteker, tetapi tidak merasa malu kepada siapapun, untuk melakukan pekerjaan kasar sebagai tukang, sebagai pesuruh, sebagai pengantar barang dan pekerjaan kasar lainnya. Hal itu semua dilakukan si kakek dengan iklas dan sabar, demi untuk kebahagiaan keluarga. Sebaliknya si kakek akan merasa malu terhadap diri sendiri, manakala perbuatan si kakek melanggar firman Tuhan dan atau melanggar peraturan perundangan yang berlaku di Negara yang sama -- sama kita cintai ini. Begitulah, prinsip hidup si kakek.

Si kakek selalu ingat dan sadar, bahwa apa yang diterima saat ini tidak terlepas dari ujian Allah Swt. Tuhan Yang Maha Suci. Oleh karena itu, melalui media Apotek ini, si kakek gunakan sebagai pembiasaan mengedepankan rasa syukur, atas semua nikmat yang telah dilimpahkan Allah Swt. kepada si kakek dan keluarganya. Apakah si kakek termasuk orang yang pandai bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya, atau justru sebaliknya si kakek termasuk orang yang mengingkari nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya.

Betapa tidak. Ada tidaknya si kakek dirumah, istri tidak usah repot -- repot mencari uang diluar rumah. Dapat diibaratkan, tidur malam saja ada orang yang datang mengantar uang, sekaligus membantu orang tersebut. Demikian pula saat bangun pagi, baru membuka pintu atau bahkan pintu belum dibuka, sudah ada orang yang memencet bel, mau membeli obat. Kasarnya ngomong, baru bangun tidur saja sudah ada orang yang datang mengantar uang, dan sekaligus membantu orang tersebut. Betapa nikmatnya hidup ini.

Bila dibandingkan dengan orang yang sejak subuh, dengan menuntun sepeda yang penuh dengan barang dagangan yang akan dijualnya, yang selalu dapat si kakek lihat dari rumah atau apotek. Dapat dibayangkan dari rumahnya di Desa, bisa -- bisa berangkat sebelum pukul 3 dini hari. Belum lagi sampai kapan barang dagangan berupa sayuran, buah -- buahan dan lain -- lain akan habis terjual. Setelah habis terjual, apakah nilai keuntungan yang didapat setara dengan jerih payahnya atau tidak. Bagaimana pula keadaan rumahnya, anak -- anak dan suami atau istri yang ditinggalkan sejak dini hari, hingga sore hari untuk berjualan mencari rizki. Betapa berat jalan yang harus dilalui orang -- orang yang tiap pagi hari si kakek lihat, dalam mengais rizki Allah Swt.

Si kakekpun tetap harus mengucap syukur, meski menggunakan uang untuk keperluan keluarga, saat kondisi keuangan Apotek mepet sekalipun. Karena mempunyai Apotek atau mempunyai kegiatan usaha produktif lainnya, pada hakekatnya adalah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dan bukan sebaliknya malah mengeluh, akibat uang Apotek terpakai untuk keperluan keluarga yang mendesak. Misal. Si kakek mendapat kabar duka dari Jawa, saat itupun dengan uang yang ada si kakek dan keluarga dapat berangkat ke Jawa. Apakah  mau membawa kendaraan roda 4 sendiri, atau mau naik pesawat terbang. Sepanjang si kakek dan keluarga ikhlas dan sabar dalam melaluinya, insya-Allah Tuhan Yang Maha Kuasa akan menggantinya, dengan pengganti yang jauh lebih berarti bila dibanding dengan uang Apotek yang digunakan. Betapa nikmatnya. 

Bila dibandingkan dengan orang lain, yang belum tentu mempunyai kegiatan seperti si kakek; Mendapat berita duka dari saudaranya, nun jauh disana. Karena dianggapnya penting, lalu menjual apa yang dimiliki, atau bisa saja meminjam uang kepada teman kesana -- kemari, yang belum tentu mendapatkannya dengan ikhlas. Betapa susahnya.

Dengan membandingkan kedua kondisi antagonis tersebut, ooh alangkah nistanya hidup si kakek, apabila atas semua limpahan nikmat dan rahmat seperti itu, masih dilalui dengan berkeluh kesah. Dengan membiasakan diri, mengedepankan rasa syukur terhadap segala derita yang terjadi atas diri si kakek, serta menerimanya dengan ikhlas dan sabar; Mudah -- mudahan Allah Swt. Tuhan Yang Maha Kuasa, memasukkan si kakek sekeluarga kedalam golongan orang -- orang yang pandai bersyukur. Insya-Allah, Amiin. Karena itu biasakanlah berlaku sabar dan iklas dalam menghadapi segala derita yang menimpamu hai anak-cucu, karena kita tidak tahu hikmah Allah apa yang ada dibalik itu. Selanjutnya, tahukah para pembaca, siapa kakek yang menceritakan kisah nyata tersebut? Kakek tersebut, tidak lain adalah aku yang menulis kisah nyata ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun