Mohon tunggu...
Bangun Sayekti
Bangun Sayekti Mohon Tunggu... Apoteker - Sarjana, Apoteker

Pendidikan terakhir, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta: Sarjana lulus November 1975, Apoteker lulus Maret 1977. Profesi Apoteker, dengan nama Apotek Sido Waras, sampai sekarang. Pensiunan Pegawai Negeri Sipil tahun 2003, dengan jabatan terakhir Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Lampung Timur. Dosen Jurusan Farmasi, Fakultas MIPA Universitas Tulang Bawang Bandar Lampung, Januari 2005 sampai dengan Desember 2015.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menggapai Derajat Takwa Lanjutan 4

13 Agustus 2017   13:11 Diperbarui: 13 Agustus 2017   13:15 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Uraian dari sisi amal saleh atau perbuatan baik dalam artikel Menggapai Derajad Takwasebelumnya, baru dijelaskan beberapa topik dari harta tak berwujud yang dicintai. Selanjutnya silahkan para pembaca budiman untuk mengembangkannya sendiri, demi terwujudnya generasi penerus yang berakhlak mulia dan berbudi luhur.  

Sebagaimana difirmankan dalam surat Al Baqarah ayat 177 : Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.Mendirikan shalat merupakan topik kajian berikutnya. Karena itu mari kita mengedepankan roso pangroso atau rasa yang merasakan untuk mengkajinya, dan dijauhkan dari perasaan dalam mengkajinya agar tidak timbul rasa suka dan tidak suka ( like and dislike ).

Untuk itu mari kita ikuti pengalaman seorang kakek, yang lahir sekitar 69 tahun silam di tanah Lampung Sumatera, dalam mengkaji makna yang terkandung dalam mendirikan shalat. Si kakek berkesempatan menimba ilmu, di Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, namun dikala aktifnya, beliau mengawali tugas dinasnya di Balai Industri Semarang Jawa Tengah, lalu pindah ke Kantor Wilayah Departemen Perindustrian Propinsi Lampung. Purna tugas dari kedinasan, disamping memberi kuliah kefarmasian, si kakek juga banyak mencurahkan pikirannya untuk menulis dengan topik bahasan hakekatagama bagi manusia, yang terangkum dalam serial Kehidupan Manusia Menurut Islam. 

Karya tulisnya dimaksudkan sebagai sumbang sih si kakek kepada generasi penerus, dalam turut berperan serta membangun karakter bangsa.Kecuali sekitar 60 an artikel yang telah diunggah dalam kompasiana dengan akun bangsayekti, si kakek juga telah menulis beberapa buku dengan judul: 1. Perjalanan Seorang Muslim; 2. Satriyo Piningit atau Sang Suci; 3. Membangun Jalan Suci; 4. 100 tahun = 2,88 Menit (Urip nang alam ndonyo mung sedelo paribasan wong mampir ngombe); 5. Narkoba = Hidup Sia -- Sia; 6. Pengalaman Spiritualku.Buku-buku tersebut diberikan dengan ikhlas kepada teman-teman si kakek, dan dibaca oleh teman -- teman beliau baik yang penganut Islam, maupun non Islam, tanpa mau menerima biaya pengganti pembuatan bukunya. Sedangkan kepada teman-temannya yang punya alamat email, ya dikirimkan via email bila menginginkan. Temannya yang menganut Hindu suatu saat berkata, bahwa beliau menerima kiriman Bhagavat Gita dari anaknya, dan setelah dibaca kok isinya sama dengan tulisan bapak. Si kakek menjawab, yang berbeda, kalau kitab suci dikaji ditingkat sareat, tetapi bila dikaji ditingkatan tarekat, hakekat lebih-lebih makripat, akan sama maknanya, pak.

Pada kesempatan ini izinkan aku menceritakan kisah si kakek, sebagai berikut. Sebagaimana euphoria anak -- anak, sekitar 60 tahun yang silam si kakekpun tidak ketinggalan ikut ramai -- ramai pergi ke langgar untuk mengaji setiap malamnya. Di langgar( tempat mengaji) si kakek, beajar membaca dan menulis dalam bahasa Arab. Namanya masa kanak -- kanak, apapun yang dilakukan teman -- teman, si kakek juga mengikuti. Untuk penerang dalam perjalanan dimalam hari misalnya, waktu itu teman-teman membawa obor  terbuat dari blarak ( daun kelapa kering ), si kakek juga ikut membawa obor dari blarak.   

Dari kegiatan mengaji ini, si kakek dapat membaca dan menulis Arab, walau hanya sedikit. Waktu itu belajar membaca dan menulis Arab, menggunakan turutan istilahnya. Diawali dengan menulis dan menghafal alfabet Arab; alif, bak, tak dstnya. Kemudian diajari membunyikan, alif jabar a, alif jere i, alif domah u; a, i , u dstnya. Kecuali kegiatan belajar membaca kitab Al Qur'an dalam bahasa Arab, si kakekpun sudah terbiasa melakukan sembayang 5 waktu dan puasa. Baik puasa wajib dibulan ramadhan, maupun puasa senin -- kemis dan juga puasa selasa kliwon, jum'at kliwon. Walau sejujurnya, si kakek tidak mengerti atau tidak memahami apa makna dari puasa tersebut. Pokoknya asal ada orang menyarankan, si kakek laksanakan. Misal, biar hasil ujian baik, kamu puasa senin -- kemis, dilaksanakan. Ada lagi yang menyarankan, biar hasil ujian baik kamu puasa selasa kliwon -- jum'at kliwon, dilaksanakan juga. Sudah barang tentu, dibarengi dengan belajar lebih rajin.

Mendirikan shalat ( Mengingat Allah ).Singkat dan amat mudah sekedar mengucapkan mengingat Allah. Namun semudah itu pulakah mewujud-nyatakan kedalam tingkah laku, perbuatan dan tutur kata dalam kesehariannya? Tidak! Pada saat si kakek mengaji dahulu, belum dikenal istilah shalat wajib 5 waktu, yang dikenal sembayang wajib 5 waktu dalam sehari semalam. Sekarang ini, umumnya orang mengenal sembayang dengan shalat.

Sebenarnya bagaimana?  Karena pemahaman seperti itu, sudah berjalan secara turun temurun dari orang tua, walau orang tua tidak mendapat petunjuk-Nya? Mestinya sebagai generasi penerus, tidak lantas dengan serta merta mengikutinya? Tanpa mau peduli dan mengkaji kembali, makna pelaksanaan ritual tersebut?  Surat Al Maa-idah ayat 104: Apabila dikatakan kepada mereka : Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti rasul. Mereka menjawab : Cukuplah kami apa yang kami dapati bapak -- bapak kami mengerjakannya. Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa -- apa dan tidak ( pula ) mendapat petunjuk. Dan surat Al Baqarah ayat 170: Dan apabila dikatakan kepada mereka : Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab     ( Tidak ), tetapi kami  hanya  mengikuti   apa  yang telah kami dapati dari ( perbuatan ) nenek moyang kami. ( Apakah mereka akan mengikuti juga ), walau pun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?

Bila tidak ada kepedulian untuk mengkaji ulang dan hanya menerima apa adanya dari orang sebelumnya, alangkah malangnya hidup ini. Berarti hidup manusia sekarang ini, tidak ada bedanya dengan hidup orang di zaman ke Nabian dahulu. Atau dengan kata lain hidup manusia saat ini, tidak ada bedanya dengan hidup manusia di zaman jahiliah dahulu. Hendaklah mau peduli dan mengkaji kembali Al Qur'an, melalui rasa yang merasakan atau roso pangroso kita, untuk menemu-kenali kebenaran hakikinya. Bila memang pelaksanaan firman Allah yang dilakukan selama ini sudah benar, mari dijaga dan ditingkat - kembangkan kebenarannya. Tetapi bila belum benar dan belum tepat dalam memahami perintah dan petunjuk-Nya, mari dikaji ulang pelaksanaan firman Allah tersebut. Agar dapat diwariskan kepada generasi penerus, pemaknaan Al Qur'an sebagai pedoman hidup dengan benar dan tepat, tanpa harus menyalahkan orang atau kelompok lain.

Si kakek mengatakan, sesungguhnya ada persamaan dan perbedaan nyata antara sembayang dengan shalat. Mari kita kaji melalui roso pangroso, Andaikansembayang dimaknai sama dengan shalat. Umat Islam diwajibkan shalat dalam satu hari satu malam 5 waktu. Selama ini, kalau melaksanakan 1 kali shalat wajib memerlukan waktu 5 menit, misalnya. Diantara 2 shalat wajib, shalat atau tidak? Tidak. Kalau diantara 2 shalat wajib, shalat lagi, shalat lagi dan lagi, terus kapan waktu untuk bekerja mencari sandang, pangan dan papannya? Untuk membulatkan, kita sepakati saja. Setiap shalat wajib diperlukan waktu 12 menit. Jadi selama satu hari satu malam, umat Islam diwajibkan shalat selama 60 menit alias 1 jam. Mari dirasakan dan jujur mengatakan dalam diri sendiri. Apakah kiranya sudah mengandung kebenaran, dalam memahami perintah dan petunjuk Allah yang disampaikan Kanjeng Nabi Muhammad SAW. bahwa umat Islam dalam waktu satu hari satu malam (24 jam) hanya diwajibkan mengingat Allah selama 1 jam. Lalu yang 23 jam, tidak wajib ingat Allah? Karena itu pula waktu yang 23 jam hanya disia-siakan untuk ngrumpi, berbohong, memfitnah, melakukan demo dan melakukan perbuatan-perbuatan negatip lainnya, karena mereka beranggapan sudah tidak diwajibkan mengingat Allah lagi. 

Untuk memahaminya, mari kita mengedepankan kejujuran, bisa merasa ( bukan merasa bisa ) dan menurunkan gengsi, dalam memahami perintah dan petunjuk-Nya. Surat Thaahaa ayat 14 : Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.Dalam  ayat ini terdapat 2 ( dua ) perintah yaitu sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. Untuk jelasnya. Sembahlah Aku untuk mengingat Aku,ini perintah dan petunjuk-Nya yang pertama.Pelaksanaan atau tata cara sembayangnya orang Islam, bagaimana? Sebagaimana tuntunan Nabi. Diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Tata cara sembayang ini, pada hakekatnya merupakan pewujud-nyataan kesejatian manusia, sekaligus merupakan  pengakuan atau persaksian, bahwa ghaib manusia berasal langsung dan merupakan bagian dari Yang Maha Suci, serta kesanalah kita akan kembali. Kecuali itu juga mengingatkan, bahwa manusia sebagai khalifah atau wakil Allah dimuka bumi. Dari kenyataan ini, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya sembayang hakekatnya merupakan salah satu ritual dalam rukun Islam yang 5, dalam membangun hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Sering kita dengar dengan ungkapan "hablummin-Allah".  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun