Poligami, Antara Teori dan Praktek
Pernikahan itu bertujuan untuk mendapatkan ridho, berkah dan karunia dari Allah SWT. Bukan sekedar untuk mencari kebahagiaan. Apalagi pelampiasan hawa nafsu. Walau pun, nafsu tetap penting.
Ada lumayan banyak penulis di dumay ini yang mencoba mengupas tentang poligami alias ta'adud. Sayangnya, sebagian besar mereka masih sebatas teori. Prakteknya, belum. Penulisnya masih monogami. Masih berusaha mengumpulkan keberanian. Sambil belajar ilmu kebal. Takutnya nanti tengkuknya ada yang membalang dengan palang pintu. Dari belakang.
Ada juga tulisan tentang poligami yang bisa dimasukkan sebagai golongan tulisan halu. Karena penulisnya, melihat perempuan pun belum pernah. Alias masih bujangan. Masih polos. Masih planga plongo. Mendadak demam puyuh kalau melihat perempuan cantik berbodi aduhai. Sambil ngences.
Nah, sekarang, anda bisa membaca penuturan soal poligami dari pakarnya. Dari masternya. Tokoh utamanya. Bukan dari sang planga plongo. Bukan pula sekedar halu.
Menurut pengalaman saya, modal utama seorang suami yang ingin sukses berpoligami adalah pemahaman tentang seni berpoligami itu sendiri. The art of polygyni. How to make your wifes can lives together in love, peace; and respect each other.
Musuh terbesar poligami adalah rasa cemburu antar isteri. Pertikaian berkepanjangan sering terjadi karena hal ini. Karena itu, suami wajib mampu meredam semua itu. Dengan bersikap adil. Dalam bermalam dan berhubungan.
Suami harus pandai mengatur strategi. Bagaimana agar para isteri bisa saling mengerti, saling menghormati. Bahkan, jika bisa, jadi saling menyayangi, bahkan saling mendukung. Resepnya sederhana saja. Bawa mereka sering-sering menghadap kiai pelaku poligami juga. Yang mampu menasehati mereka.
Mendinginkan hati mereka yang panas. Dan mengisi jiwa mereka dengan keimanan yang mantap. Menyadarkan mereka bahwa sejatinya seorang suami itu bukanlah milik isteri. Tapi milik Allah SWT. Juga milik ummat. Di mana setiap lelaki yang mampu, wajib menjadi pengayom para perempuan yang membutuhkan. Misalnya para janda penanggung yatim. Atau para perawan tua yang jauh jodohnya.
Mentablighkan kepada para isteri, bahwa para janda tua itu baiknya disantuni, dan para janda muda itu dinikahi. Karena mereka, selain memiliki kebutuhan materi, kebutuhan bathin berupa pendidikan agama dan moral; juga kebutuhan biologis yang masih sangat aktif.
Jika sampai para kaum hawa itu jatuh ke dalam lembah hitam, demi  menghidupi dirinya dan anak-anaknya, maka akan dituntutlah kelak pertanggung jawaban dari para lelaki sekitar, yang sebenarnya mampu untuk membantu. Tapi tak dilakukan. Karena lebih takut kepada isteri. Dari pada kepada Tuhan.
Harus juga dijelaskan kepada para isteri, bahwa fungsi utama suami itu sebenarnya bukanlah sebagai pemenuh nafkah. Tetapi sebagai tameng dari neraka. Karena isteri yang taat kepada suaminya, sepanjang tidak dalam hal yang munkar, maka tiada balasan baginya kecuali syurga.