Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Salamah dan Zakaria

27 Januari 2020   21:11 Diperbarui: 27 Januari 2020   21:14 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pernah ia berjumpa seorang lelaki yang membuat ruang dadanya bergetar. Mereka beradu pandang tanpa sengaja. Tatapan mata lelaki itu tajam, seperti yang selalu ia bayangkan. Ia bagaikan anak dara yang terpanah asmara. Asmara? Semudah itu? Aliran darahnya menggelegak. 

Berdesir seluruh permukaan kulitnya. Ia merasakan satu perasaan yang asing, tetapi nikmat. Ia tersenyum seketika. Spontanitas yang boleh jadi membahayakan. Untunglah lelaki itu tak menangkap senyumnya. Sebab, senyum itu memang tidak untuk siapa-siapa.

Semenjak perjumpaan tak sengaja itu, lelaki itulah yang selalu ia hadirkan dalam imaji liarnya. Lelaki itulah yang dibayangkannya mendayung sampan membawanya mengelilingi pulau-pulau kecil di sekeliling Bintan. Lelaki itulah yang ia bayangkan menggoncengnya naik sepeda menyusuri jalan tanah atau berlari di tepi pantai. Lelaki itulah yang dibayangkannya saat berdua dengan Zakaria. Lelaki itulah yang dibayangkannya saat Zakaria menyentuhnya.

Salamah mengumpat dirinya sendiri. Imaji liarnya kian hari kian nakal, menari-nari menghentakkan akal sehatnya. Bayangan lelaki itu menghangatkan pembuluh darahnya, memberikan nikmat yang menyiksa. Padahal, tak pernah lagi ia berjumpa dengan lelaki itu. Entah siapa dia. Entah macam apa tabiatnya. Tapi mungkin bukan di situ letak soalnya. Mungkin lelaki itu perantara saja baginya untuk tiba pada satu perasaan yang tak pernah dialaminya: jatuh cinta.

Perepmpuan beranak tiga yang belum lagi tigapuluh usianya itu akhirnya tak tahan. Ia merasa harus bicara dengan Zakaria. Entah apa akibatnya, biarlah nanti dipikirkan.  Atau tak perlu dipikirkan. Hadapi saja. Daripada tersiksa batin macam ini.

"Bang, Salamah nak cakap sikit." Perempuan itu memberanikan diri. Malam telah cukup larut. Anak-anak telah lelap di kamar sebelah.

Zakaria menghentikan bacaannya. Lelaki itu suka membaca. Setiap malam, menjelang tidur, ia membaca.

"Ada apa, Mah?" Ditatapnya wajah istrinya. Tatapan yang teduh, seperti biasa. Entah apa yang dapat membuatnya bermuka keruh. Mungkin, mungkin kenyataan pahit yang hendak disampaikan Salamah akan membuatnya keruh malam ini. Salamah bimbang. Terpikirkan olehnya untuk membatalkan. Apa yang hendak ia cari? Ia hanya akan merusak harmoni rumah tangganya yang telah terajut indah. Ia hanya akan melukai. Tak ada untungnya sama sekali. Kecuali mungkin terpuaskannya hati. Lantas, selepas itu apa?

"Tak, Bang. Tak jadi..."

"Apelah engkau ni? Cakaplah."

"Tak penting sangat, Bang. Lupakan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun