Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat yang Kutitipkan pada Media Sosial, Karena Tak Mungkin Langsung Kukirimkan Kepadamu

17 Maret 2019   12:39 Diperbarui: 17 Maret 2019   13:03 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aduhai, Dinda. Siapakah yang lebih remuk redam hatinya? Ingin sekali aku untuk tiba-tiba sudah berada di hadapanmu, memelukmu dan meminta maaf atas luka yang telah tersayatkan di hatimu. Perih sungguh aku membayangkan dirimu yang bingung, gundah, hancur, sekaligus marah.

Bagaimana bisa seorang lelaki menyatakan cinta, diterima oleh sang perempuan dengan rasa bahagia, lalu tiba-tiba sang lelaki menghilang tanpa kabar berita? Lara hatiku membayangkan dirimu bertahun-tahun linglung, mungkin merasa bodoh karena dengan sangat telak dipermainkan.

Aduhai, Dinda. Selama beberapa waktu aku jadi mempertanyakan haruskah kita terima suratan ini dengan lapang dada? Aku menggugat kenyataan sangat getir ini. Aku menangis untukmu. Tangisan pertama di usia dewasaku. Selama beberapa saat aku gelap. Persetan dengan hikmah. Seseorang telah membuka suratmu untukku dan menyembunyikannya dariku. Entah siapa, dan entah karena sebab apa. Kejam Nian.

Ada sisi batinku yang murka. Tapi, apa ada yang lebih baik ketimbang berlapang dada? Apakah ada yang lebih tentram daripada melepaskan yang telah lalu dengan lega dan rela? Bukankah kini kau bahagia, dan akupun begitu pula? Apakah ada kepastian bahwa kalaupun bersama, kita akan jauh lebih bahagia?  Tak ada. Kepada kita, umat manusia, Tuhan selalu memberikan kepingan yang tak lengkap. Hidup akan selamanya menjadi teka-teki. Itulah yang menjadikannya akan selalu dijalani dengan berdebar-debar. Selalu ada kejutan. Tak semuanya menyenangkan.

Dinda, kutuliskan surat ini sebagai permintaan maafku yang dalam kepadamu. Sesungguhnya ada pilihan lain untukku, yaitu tidak perlulah mengisahkan kembali masa lalu itu kepadamu. Tak ada gunanya. Tak akan mengubah apapun jua. Tapi aku tak sanggup. Sayangku kepadamu itu sungguh-sungguh. Bukan seperti burung yang hinggap, kemudian terbang. Ia terus bersemayam, sampai sekarang. Walau kita sama-sama paham, jodoh tidaklah bisa dipaksakan.

Aku tetap ingin kau mengenaliku bagaikan dulu. Aku adalah lelaki yang baik bagimu. Masih belum sampai derajatku untuk menjalani hidup dengan kemungkinan dibenci olehmu karena surat yang tak sampai itu. Kau tahu, sejak puluhan tahun lalu itu kita tak pernah bercakap-cakap lama? Pada beberapa kali perjumpaan di reuni sekolah, kita hanya saling sapa dengan tutur yang terasa kering dan kaku. Itu menyiksaku. Aku menaruh harap kisah ini bisa lebih menghangatkan, sekiranya nanti ada lagi perjumpaan.

Dinda, kutuliskan surat ini sebagai bentuk sesalku, sekaligus juga kerelaanku. Tentu tak bisa langsung kukirimkan padamu, mesti kutahu di mana alamatmu. Ada perasaan yang perlu dijaga. Ada harmoni masa kini yang perlu kita pelihara. Karenanya, kutitipkan surat ini di media sosial. Beberapa bagian kusamarkan, agar siapapun yang membaca -- kecuali dirimu -- tak dapat memastikan bahwa surat ini untukmu. Menduga-duga, mungkin. Salah duga, malah lebih mungkin. Sebab, ada satu hal lagi yang perlu kau tahu. Aku bukanlah sang penulis cerita ini. Ia hanya kumintakan pertolongan untuk mengisahkan.

Meskipun begitu, jika kau membaca surat ini, kau akan tahu siapa aku.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun