Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat yang Kutitipkan pada Media Sosial, Karena Tak Mungkin Langsung Kukirimkan Kepadamu

17 Maret 2019   12:39 Diperbarui: 17 Maret 2019   13:03 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kukatakan kepadamu tentang hijau huma; yang bakal kita kerjakan dengan sederhana; kita segera akrab dengan sinar pagi; nyanyikan kupu-kupu hinggap di rambutmu; tersenyumlah kamu, tertawalah aku; kenapakah waktu tertinggal jauh?"(Ebiet G Ade, Untukmu Kekasih, 1980)

 

Dinda, di tempat kini dikau berada. Setelah berpuluh tahun, aku merasa perlu menulis surat ini untukmu. Tentu kusembunyikan namamu. Kukaburkan beberapa bagian yang mungkin mengarahkan dugaan orang kepadamu. Tapi aku percaya, jika kebetulan kau membaca, kau akan tahu, surat ini untukmu.

Masih kau ingat pada sore ketika aku berpamitan? Umur kita baru lima belasan, baru saja lulus dari sekolah menengah pertama. Aku akan berangkat ke Jawa menyusul abang sulungku. Bersekolah di sana. Sore itu aku meminta sapu tanganmu sebagai kenang-kenangan. Sesuatu yang bisa membuatmu terasa di dekatku. Permintaan yang mungkin janggal dan lucu. Apa lagi romantis. Engkau tertawa kecil. Kau bilang, tak boleh memberikan sapu tangan bekas sebagai kenangan. Itu tanda nanti kita akan dipisahkan.

Esok harinya, sesaat sebelum aku berangkat kau memberiku sehelai sapu tangan. Sapu tangan baru. Aku tersipu. Pemberian paling berkesan di sepanjang hidupku.

Walau tak terucap, kurasa kau tahu aku mengasihimu. Akupun merasa kau mengasihiku. Hampir setiap hari kita bertemu dan berpisah di tikungan jalan, saban berangkat dan pulang sekolah. Di sepanjang jalan itu kita berbagi banyak cerita. Atau tepatnya, aku yang lebih banyak bercerita. Sementara kau lebih sering menanggapi dengan sahutan pendek, senyum dan juga tawa.

Kuceritakan kepadamu tentang mimpi-mimpiku, cita-citaku, kesangsianku bersekolah di kota kecil kita ini dapat membawaku ke masa depan yang kuimpikan. Itu sebab aku harus ke Jawa. Pendidikan terbaik ada di sana.

Pada hari keberangkatan itu, Dinda. Tak ada kata cinta yang terucap. Kupikir, perlu waktu untuk mendewasakan pikiran. Ada kebimbangan juga, siapalah tahu rasa itu sekadar cinta remaja yang tergesa-gesa. Biarlah ia mengendap beberapa waktu. Kalau benar cinta, maka jarak yang jauh pastilah akan membesarkannya. Masih kuingat tatapan matamu hari itu. Keteduhan yang menggoda. Berdesir sukma ragaku, Dinda. Tapi kutahankan. Bukankah cinta harus dirawat dengan kesabaran?

Kau ingat Dinda, sapu tangan pemberianmu itu. Bertahun-tahun ia menemaniku. Bersemayam nyaman di saku bajuku. Hingga kemudian waktu membuatnya pudar dan rapuh. Tapi tidak perasaanku. Semoga masih kau ingat surat-surat yang saling kita kirimkan itu. Perasaan yang tertuang dalam tulisan. Renjana yang berpendar dalam kata-kata. Itu adalah masa terindah dalam hidupku.

Masih kurasakan aroma kertas surat berwarna pastel itu. Masih dapat kurasakan debaran jantung menanti suratmu. Masih kuingat kebiasaanmu menyebut diri tidak dengan 'aku' melainkan dengan namamu. Kebiasaan orang kita yang menandakan kedekatan. Juga kesopanan.

Membaca surat-suratmu, selalu dapat kubayangkan kita duduk agak berdekatan, bercakap-cakap tentang banyak hal, nyaman dalam tatapan yang malu-malu tapi menentramkan. Tak lagi aku sangsi, inilah cinta seorang lelaki kepada perempuannya. Cinta seorang perempuan kepada lelakinya. Maka kupilih satu hari untuk menuliskan surat cinta kepadamu.

Kutuliskan huruf demi huruf dengan sepenuh. Kupilih kata-kata dengan seksama. Aku menaruh harap ini adalah surat cinta yang indah, artistik dan menggetarkan.

Berdebar-debar aku menanti balasanmu. Kuliahku di perguruan tinggi ternama, sesuai impianku, berjalan agak kacau. Beberapa nilai ulangan terjun bebas. Hari berganti hari, suratmu tak kunjung tiba. Biasanya dalam tujuh delapan hari datang surat darimu. Mungkin ada sedikit kendala di kantor pos? Minggu berganti, balasanmu tak ada.

Aku mulai gelisah dan bertanya-tanya. Adakah suratku tak sampai? Selalu ada kemungkinan sepucuk surat menyasar entah ke mana. Atau aku telah salah sangka? Apakah angan dan harapanku mengaburkan pikiranku sehingga keliru menafsirkan kata-kata dalam suratmu? Bahwa perhatianmu, senyum manis yang tersampaikan lewat kata-kata itu adalah benar tanda sayangmu kepadaku, tapi sayangnya seorang kawan atau sahabat? Dinda, aku tergolong yang tak percaya seorang lelaki dan perempuan dapat menjadi sahabat dekat. Entahlah.

Berbagai fragmen berlompatan di dalam benakku. Ribuan kata berebutan mengintimidasi pikiranku. Aku merana.

Kutulis sekali lagi surat untukmu, dengan semangat yang telah turun puluhan derajat. Berharap bahwa suratku terdahulu tak sampai kepadamu. Tapi yang terjadi beberapa hari kemudian, pahit nian. Suratku kembali dengan catatan: pindah alamat. Dinda, dikau di mana?

Tidaklah perlu kurasa di surat ini kuceritakan betapa remuk-redamnya aku. Apa yang lebih baik untuk menyembuhkan luka daripada berlapang dada? Yang telah berlalu sudah suratan. Sementara hidup haruslah berlanjut. Perlu beberapa tahun untukku akhirnya tahu kabarmu. Engkau pindah dari tanah kelahiran kita ke Belitung, kampung halaman orangtuamu.

Selepas itu, dua tiga tahun kemudian, kau pulang. Teraduk-aduk perasaanku ketika tahu kau menikah dengan seseorang yang juga aku kenal. Jadi, benarlah kalau begitu. Masa lalu itu sekadar cinta kanak-kanak bagimu yang kemudian berkembang menjadi perasaan sayangnya seorang sahabat. Barangkali kau berpikir akupun seharusnya begitu. Maka surat cintaku itu membuatmu kecewa dan boleh jadi juga bercampur marah sehingga tak kau balas. Kau abaikan. Tapi bukankah lebih elok jika kau jawab dengan terus terang? Kau tahu, Dinda. Kabar buruk selalu lebih baik daripada tak ada kabar.

Sepanjang yang dapat kuikuti dari kejauhan, engkau bahagia. Anakmu dua, perempuan semua. Sudah ada satu cucu pula. Akupun bahagia, kurasa. Kucapai sudah mimpi yang pernah kuceritakan kepadamu pada sore itu. Kini aku seorang pengusaha dengan lebih dari seribu karyawan. Akupun sudah ada keluarga. Sama, anakku dua. Lelaki semua. Tetapi mereka masih di sekolah dasar, sebab aku terlambat menikah. Entah karena aku terus mengingatmu atau sibuk bekerja.

Kelihatannya, semua berjalan baik untuk kita. Jadi, apa perlunya kutulis surat ini untukmu? Biarlah kukisahkan kepadamu. Beberapa hari lalu abang sulungku yang membiayai pendidikanku, berpulang. Selepas pemakaman, aku masih tinggal beberapa hari di rumah abang, rumah tempat aku tinggal semasa sekolah di Jawa.

Aku membantu kakak ipar dan kemenakan-kemenakanku membereskan rumah, memeriksa isi lemari-lemari, memilih mana yang bisa dibagi atau dipertahankan. Ada sebuah lemari berisi kertas-kertas lama. Macam-macam berkas. Ada hasil ulangan murid-murid abangku dulu. Ada coretan-coretan. Dan yang membuat darahku menggelegak, ada amplop surat yang sudah tersobek. Seketika aku tahu, itu surat darimu. Surat yang manakah gerangan itu? Dengan terburu-buru kukeluarkan surat dan kubaca. Balasan darimu atas surat cintaku dulu.

Pening kepalaku tiba-tiba. Aku bagaikan terhisap oleh mesin waktu kembali kepada sore itu. Kembali kepada hari yang kupilih untuk menuliskan surat cinta itu. Kembali kepada tahun-tahun yang berat. Lalu dengan sangat cepat sang mesin waktu menghempaskan aku kembali hari ini yang tiba-tiba menjadi pekat dan berat. Ya, Dinda, kau tahu. Surat itu adalah curahan hatimu yang bahagia menerima cintaku. Di dalamnya juga kau kabarkan kepindahanmu ke Belitung beserta alamat barumu.

Aduhai, Dinda. Siapakah yang lebih remuk redam hatinya? Ingin sekali aku untuk tiba-tiba sudah berada di hadapanmu, memelukmu dan meminta maaf atas luka yang telah tersayatkan di hatimu. Perih sungguh aku membayangkan dirimu yang bingung, gundah, hancur, sekaligus marah.

Bagaimana bisa seorang lelaki menyatakan cinta, diterima oleh sang perempuan dengan rasa bahagia, lalu tiba-tiba sang lelaki menghilang tanpa kabar berita? Lara hatiku membayangkan dirimu bertahun-tahun linglung, mungkin merasa bodoh karena dengan sangat telak dipermainkan.

Aduhai, Dinda. Selama beberapa waktu aku jadi mempertanyakan haruskah kita terima suratan ini dengan lapang dada? Aku menggugat kenyataan sangat getir ini. Aku menangis untukmu. Tangisan pertama di usia dewasaku. Selama beberapa saat aku gelap. Persetan dengan hikmah. Seseorang telah membuka suratmu untukku dan menyembunyikannya dariku. Entah siapa, dan entah karena sebab apa. Kejam Nian.

Ada sisi batinku yang murka. Tapi, apa ada yang lebih baik ketimbang berlapang dada? Apakah ada yang lebih tentram daripada melepaskan yang telah lalu dengan lega dan rela? Bukankah kini kau bahagia, dan akupun begitu pula? Apakah ada kepastian bahwa kalaupun bersama, kita akan jauh lebih bahagia?  Tak ada. Kepada kita, umat manusia, Tuhan selalu memberikan kepingan yang tak lengkap. Hidup akan selamanya menjadi teka-teki. Itulah yang menjadikannya akan selalu dijalani dengan berdebar-debar. Selalu ada kejutan. Tak semuanya menyenangkan.

Dinda, kutuliskan surat ini sebagai permintaan maafku yang dalam kepadamu. Sesungguhnya ada pilihan lain untukku, yaitu tidak perlulah mengisahkan kembali masa lalu itu kepadamu. Tak ada gunanya. Tak akan mengubah apapun jua. Tapi aku tak sanggup. Sayangku kepadamu itu sungguh-sungguh. Bukan seperti burung yang hinggap, kemudian terbang. Ia terus bersemayam, sampai sekarang. Walau kita sama-sama paham, jodoh tidaklah bisa dipaksakan.

Aku tetap ingin kau mengenaliku bagaikan dulu. Aku adalah lelaki yang baik bagimu. Masih belum sampai derajatku untuk menjalani hidup dengan kemungkinan dibenci olehmu karena surat yang tak sampai itu. Kau tahu, sejak puluhan tahun lalu itu kita tak pernah bercakap-cakap lama? Pada beberapa kali perjumpaan di reuni sekolah, kita hanya saling sapa dengan tutur yang terasa kering dan kaku. Itu menyiksaku. Aku menaruh harap kisah ini bisa lebih menghangatkan, sekiranya nanti ada lagi perjumpaan.

Dinda, kutuliskan surat ini sebagai bentuk sesalku, sekaligus juga kerelaanku. Tentu tak bisa langsung kukirimkan padamu, mesti kutahu di mana alamatmu. Ada perasaan yang perlu dijaga. Ada harmoni masa kini yang perlu kita pelihara. Karenanya, kutitipkan surat ini di media sosial. Beberapa bagian kusamarkan, agar siapapun yang membaca -- kecuali dirimu -- tak dapat memastikan bahwa surat ini untukmu. Menduga-duga, mungkin. Salah duga, malah lebih mungkin. Sebab, ada satu hal lagi yang perlu kau tahu. Aku bukanlah sang penulis cerita ini. Ia hanya kumintakan pertolongan untuk mengisahkan.

Meskipun begitu, jika kau membaca surat ini, kau akan tahu siapa aku.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun