Mohon tunggu...
Antonius Along
Antonius Along Mohon Tunggu... Praktisi

Menulis dan mengispirasi

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Kehidupan Setelah Media Sosial Apa yang Kita Cari, dan Apa yang Kita Tinggalkan

22 Juli 2025   21:03 Diperbarui: 22 Juli 2025   21:56 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bayangkan pagi tanpa notifikasi. Tidak ada dering pesan WhatsApp, tidak ada badge merah di ikon Instagram, tidak ada rasa gatal untuk membuka Twitter dan melihat dunia terbakar lagi. Hanya matahari pagi, secangkir kopi, dan pikiran yang belum terkontaminasi algoritma. Mungkin terasa asing, bahkan canggung. Tapi di situlah letak pertanyaannya, Apa sebenarnya yang kita cari di balik layar itu, dan apa yang tanpa sadar telah kita tinggalkan?

Media sosial menjanjikan koneksi, tapi di baliknya ada keinginan manusia yang jauh lebih purba diakui. Kita unggah foto, menulis status, membagikan opini bukan semata-mata untuk berbagi, tapi juga untuk dilihat. Disukai. Direspons.

Kita mengejar "like" dan komentar seperti anak kecil mengejar tepuk tangan. Bedanya, kali ini panggungnya lebih besar, audiensnya lebih tak terbatas dan tekanannya lebih sunyi. Validasi kini datang dalam bentuk angka, dan ketika angka itu tak memuaskan, kita merasa gagal, bahkan tak terlihat.

Dulu, sepi adalah ruang untuk merenung, menulis, atau berjalan tanpa arah. Kini, kesendirian adalah celah yang segera kita tambal dengan scroll tanpa henti. Ketika otak mulai diam, tangan bergerak membuka Instagram, TikTok, YouTube. Kita takut hening, karena di sanalah kita harus berhadapan dengan diri sendiri.

Namun kebisingan digital tak menyelesaikan apa pun. Ia hanya menunda. Seperti menutup luka dengan stiker lucu.

Media sosial tidak lagi sekadar tempat kita melihat dunia, ia telah menjadi lensa yang membentuk cara kita memahami dunia. Kita tidak lagi hidup dalam satu kenyataan bersama, melainkan dalam gelembung yang dipersonalisasi algoritma menyiapkan dunia yang sesuai dengan keyakinan kita, memperkuat bias, dan mempersempit pandangan.

Yang hilang bukan hanya objektivitas, tapi juga keingintahuan. Kita lebih cepat menghakimi daripada memahami, lebih suka membentuk opini daripada mendengar. Kita kehilangan seni mendengarkan.

Ironisnya, di dunia yang katanya paling terkoneksi ini, kita merasa semakin kesepian. Kita tahu siapa yang baru menikah, siapa yang liburan ke Jepang, siapa yang sedang "healing" di Bali. Tapi kita tidak tahu siapa yang diam-diam menangis semalam, siapa yang sebenarnya butuh teman bicara, atau siapa yang perlahan-lahan merasa tak berarti.

Koneksi yang kita punya sering kali dangkal, tersaji dalam caption dan emoji, tapi miskin kehadiran. Kita semakin sering berbicara, tapi jarang benar-benar mendengar.

Lalu, Apa yang Bisa Kita Temukan Setelah Media Sosial? Kehidupan setelah media sosial bukan berarti kehidupan tanpa teknologi. Tapi mungkin, ini tentang kesadaran. Tentang memilih kapan hadir secara digital, dan kapan benar-benar hadir secara nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun