Mohon tunggu...
Bang Kemal
Bang Kemal Mohon Tunggu... -

Acuan kerangka awal, pelajaran SD/SMP, berpancasila. Hehe...seorang awam yang mau belajar. Terima kasih Kompasiana, Terima kasih Netter se-Indonesia. Mari berbagi........... dalam rumah yang sehat dan SOLID.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mimbar Rumah Kita, Terima Kasih Indonesiaku

9 Januari 2012   20:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:07 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Rumbai-rumbai selendang pawana mengusap roma di wajah dengan liuk lembut
Iringan tarian maharani biru selaras debur-debur ombak membuai dalam ritme
Nyiur hijau tak hiraukan senja memaksa berlalu, tatkala rindu pun enggan membiar
Decak bagai rengek anak kecil, haru mengembunkan kenangan di kaca-kaca hati
Untuk pesona pantai, betapa hamparanmu memencar di ronaku tuk tertegun kagum

Karunia ia makin indah direnungkan, seakan-akan berkelimpahan cuma-cuma
Aditama ia makin berarti memberi pilihan, selayaknya ganjarkan kasih Sang Khalik
Nyatalah indah seluruh anugerahNya, seindah bukti kasih itu tidak berhingga
Kehendak diri merekat di telapak kaki, karna butiran pasir yang menyapa halus
Adalah pilihan diri jua meluruhkan dayanya, karna terhempas ombak di bibir pantai

Meski acap bidal pusaka dan larik-larik pujangga berlinang-linang tinta air mata darah
Penderitaan mengusung hakekat kebersamaan dalam keranda sejuta mimpi
Ujaran syukur takkan berujung selamanya di mimbar yang pasrah memugar batin

Negeri berbudaya citrakan keabadian ruby, flora khas khatulistiwa keasrian zamrud
Gelora di lanskap alam milik bakti diri generasi, hening tajamkan pilihan dalam kredo
Haluan seyogianya di depan gugusan dwipa yang terlahir dari rahmat dan diberkatkan

---

Aku dan kita yang kecil tempo hari masih merekam amanat dari trah leluhur yang tiada ternilaikan, tiada lebih pun sekarung bekal berprestise,
Lenterakan penanda betapa alpanya kita mengintergrasikan makna riwayatnya, dalam pigura perjuangan di era pendewaan kepemimpinan kapitalis.

Aku dan kita yang kecil tempo hari masih mendengar suara satu, dan takjub melihat dedikasi oleh cucuran peluh serta harta dari kekurangan mereka agar tegaklah berdiri,
Masjid dengan kaligrafi berestetika bersama kapel dan gereja yang unik, pura yang mencuar bersama klenteng megah dan indahnya wihara.

Aku dan kita sekarang bersyukur dan mengatakan lebih baik kita tinggal di rumah sendiri dalam damai, bangkit kembali mengadvokasi seraya melayakkan perbuatan mulia melandasi wahana kehendak,
Nyaring ia terdengar ke lubuk hati bagi insan-insan yang tahu akan siapa dirinya di atas maha karya, pesan itu takkan pernah surut nilai, sampaikan harga bangsa milikmu adalah juga milikku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun