Siang itu, suasana Kelurahan Karang Mekar terlihat ramai dengan aktivitas ekonomi warganya. Di pinggir jalan berdiri stand ayam goreng krispi kaki lima, paman penjual  pentol gerobakan yang sering mangkal di depan masjid, hingga kedai es yang  di halaman rumah. Ada juga toko buku, pedagang beras, dan rumah makan di tepi jalan raya yang terlihat banyak pengunjung. Dari sektor jasa, ada tempat pandai besi masih, dan di pinggir jalan raya depan komplek ada beberapa tukang ojek pangkalan menunggu penumpang.
Untuk melihat perkembangan ekonomi masyarakat disini, saya mewawancarai sepuluh warga dengan latar belakang usaha yang berbeda-beda. Dari cerita mereka, jelas ada tantangan, peluang, dan harapan masyarakat kecil di tengah perkembangan kota besar ini.Â
Kebanyakan warga yang saya temui Kelurahan Karang Mekar bekerja di sektor informal. Ada pedagang kaki lima, penjual makanan, pemilik kedai rumahan, hingga jasa transportasi. Dari 10 responden, enam orang mengaku bergerak di bidang perdagangan kecil, tiga orang di sektor jasa, dan satu orang menjalankan industri rumahan tradisional.
Keragaman ini menunjukkan bagaimana masyarakat perkotaan tetap mengandalkan usaha kecil untuk bertahan hidup. Meski sederhana, usaha mereka jjuga menjadi penggerak ekonomi lokal.
Kendala yang Sering Muncul
Hampir semua responden menyebut persaingan ketat sebagai hambatan utama. Penjual ayam goreng krispi di pinggir jalan misalnya, harus bersaing dengan banyak usaha serupa. Tukang pentol mengeluh cuaca tak menentu yang membuat dagangannya sepi. Pedagang sembako bahkan bersaing langsung dengan minimarket modern yang semakin banyak berdiri.
Selain persaingan, modal usaha juga menjadi kendala. Pandai besi membutuhkan biaya besar untuk peralatan, sementara pedagang rumah makan harus siap menanggung risiko bahan baku yang tidak terpakai. Keuntungan pun bervariasi: ada yang cukup untuk sehari-hari, ada pula yang hanya bisa dicukup-cukupkan. Saya tersentuh melihat kerja keras mereka untuk hidup.
Dukungan yang Masih Terbatas