Mohon tunggu...
Bang Doel
Bang Doel Mohon Tunggu... Freelancer - Hallo, semua

Cuma suka lihat orang pada menulis, jadi kadang ikut-ikutan nulis. Buat mampir selain disini, silakan kemari: https://www.doel.web.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tiga Pelajaran Toleransi dari Masa Abu-abu Putih

14 September 2016   17:54 Diperbarui: 14 September 2016   18:33 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mural berjudul 'Toleransi di Bawah Batu' karya seniman Eko Nugroho di dinding kolong Tol Bintaro, Jakarta. (Kompas.com)

1. Kami saling menjaga perasaan.

Jika saya dibilang kafir dan bakal masuk neraka oleh kawan yang non-muslim, saya mungkin naik pitam juga. Ya buat apa sholat dan puasa jika kelak masuk neraka? Padahal itu bagian dari keyakinan mereka. Saya kafir bagi mereka, dan mereka kafir bagi saya. Its fair. Tapi jadi masalah ketika keyakinan itu diutarakan pada sekonyong-konyong percakapan di kelas.

Sama halnya ketika tiba-tiba seseorang mengungkapkan hal semacam ini di media sosial. Bahkan meski di beranda Facebook-nya sendiri. Kalau kita sakit hati dikatakan demikian, maka jangan pernah melakukan hal yang sama pula. Saling menjaga perasaan adalah kunci.

2. Ada tujuan bersama yang dicapai.

Kami punya tujuan bersama yang hendak dicapai. Ya apalagi tujuan dari pelajar selain lulus dengan nilai bagus. Kami terlalu sibuk mengejar tujuan kami, sehingga tak sempat membiarkan kebencian tumbuh di hati kami. Tujuan itu jauh lebih indah daripada berdebat seputar keyakinan. Biarkan keyakinan damai di hati kami masing-masing, dan termanifestasi dalam sebuah kesuksesan hasil belajar yang hendak kami capai.

Saya pun berpikir, jika kerusuhan berbasis SARA sering meletup di negeri ini, mungkin kita melupakan untuk apa kita hidup bernegara. Kita lupa tujuan dari berdirinya negara ini, kita lupa untuk apa Indonesia hadir. Ini darurat kebangsaan.

3. Kami tak mengenal politik.

Saat tragedi 9/11 meletus, kami masih kelas 1 di SMA. Itu berarti usia kami berada pada kisaran 15 hingga 16 tahun. Belum ada KTP berarti belum terlibat pemilihan umum. Tak ada politik diantara kita, dan tak ada politisasi di tengah-tengah kami. Mungkin itu menjadi sebab mengapa kami adem-ayem saja menjalani hari-hari kami bertoleransi.

Namun politik yang saya maksud memang politik yang diartikan oleh banyak orang saat ini. Definisi politik menurut keumuman. Politik yang sekarang 'membelah' Indonesia menjadi dua. Namun jika politik adalah niat membangun negeri menjadi lebih baik, maka tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan 'mengenal' politik.

Penutup

Tradisi merawat perbedaan keyakinan memang bukan perkara mudah, terlebih di era dimana semua orang bisa melepaskan hasratnya berpendapat. Namun semuanya bisa teratasi saat watak bertoleransi yang secara alami sudah menjadi gen dalam diri bangsa Indonesia, muncul dan mengemuka mengalahkan efek negatif dari media sosial ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun