Banyak diantara kita yang terkadang malu dengan dialek atau kebudayaan yang kita miliki karena berbagai sebab. Â Tapi banyak pula diantara kita sangat bangga dengan dengan dialek atau kebudayaan yang kita miliki. Penulis pernah merasakan persoalan seperti itu, Â dimana pernah malu dan enggan menggunakan bahasa daerah sendiri.Â
Ada perasaan malu dicap sebagai anak daerah yang kampungan dan tidak gaul.  Perasaan itu disaat usia 18-20 tahun saat merantau di ibukota, masih berproses dalam pencarian jatidiri diusia muda. Dan masih minimnya kita pada, interaksi, pengenalan  pemahan,  pendalaman dan referensi kultur budaya kita sendiri.Â
Seiring perjalanan waktu, Â semakin seringnya berinteraksi dengan masyarakat dari berbagai kalangan dan daerah menyadarkan kita pada suatu identitas kedaerahan kita. Ketika mereka berbicara tentang seni, Â tradisi, kuliner, adat istiadat penulis hanya bisa melongo.Â
Apa yang mau dibanggakan kalau kita saja jauh dengan akar budaya kita, Â bagaimana mau berbicara tentang daerah kita kalau kita saja menutup identitas kita sendiri.Â
Mulai dari situ muncul rasa bangga dan ingin mengenalkan budaya dan seni tradisi daerah sendiri Brebes. Apa lagi setelah terjun kebawah melihat potensi yang dimiliki Brebes dengan segala keunikan dari budaya, Â bahasa dan tradisi membuat semuanya terbalik. Dari dulu yang malu sekarang malah bangga dan ada dibarisan depan untuk mengenalkan budaya Brebesan. Seperti kena karma atau terjebak omongan sendiri, Â dulu malu sekarang cinta.Â
(KBC-54|Kompasianer Brebes Jateng |)